Schoolgirls sit at desks in a classroom

“Aku Ingin Lari Jauh”

Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia

Sebuah sekolah dasar di Padang, Sumatra Barat, Indonesia, Januari 2021. © 2021 Antara Foto/Iggoy el Fitra/ via REUTERS

Ringkasan

Selama dua dekade terakhir, perempuan dan anak perempuan di Indonesia menghadapi tuntutan hukum dan sosial, yang belum pernah ada sebelumnya, untuk mengenakan pakaian yang dianggap Islami sebagai bagian dari upaya lebih luas untuk memberlakukan Syariat Islam, di banyak daerah di negeri ini. Tekanan ini meningkat secara kuat dan cepat dalam beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan peraturan tentang seragam sekolah, yang secara luas, ditafsirkan guna mewajibkan siswi Muslim mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah negeri. Sebelum dan sejak peraturan tersebut, banyak pemerintah daerah mebuat ratusan peraturan bernuansa Syariat, termasuk aturan dengan sasaran perempuan dan anak perempuan serta pakaian mereka. Di Indonesia, istilah “jilbab” –dalam bahasa Arab artinya “sekat”-- digunakan untuk merujuk pada kain yang menutupi kepala, leher, dan dada. Hijab –dalam bahasa Arab artinya “penutup”-- biasanya merupakan kain yang menutupi rambut, telinga dan leher, terkadang juga menutupi dada. Banyak dari aturan ini mewajibkan jilbab atau hijab dilengkapi kemeja lengan panjang dan gaun panjang.

Laporan ini mencermati bermacam aturan diskriminatif dan tekanan sosial terhadap perempuan dan anak perempuan agar mengenakan jilbab di sekolah negeri, di kalangan pegawai negeri sipil, dan di kantor pemerintah. Sejumlah anak perempuan, perempuan dewasa, dan keluarga mereka dari berbagai daerah di Indonesia menjelaskan kepada Human Rights Watch dampak dari aturan busana ini dan bidang lainnya, mulai soal jam malam hingga larangan duduk mengangkang sepeda motor.[1]

Seorang ibu di Yogyakarta menggambarkan dampak dari aturan seragam sekolah tahun 2014 pada putrinya yang masih remaja sejak masuk ke sekolah negeri pada 2017: “Meskipun sekolah dan para gurunya tidak secara eksplisit mengatakan bahwa dia harus mengenakan jilbab, mereka memberikan komentar yang tidak diinginkan atau merendahkan pilihannya untuk tidak memakai jilbab. Tekanannya implisit, tapi terus-menerus.”

Dia mengatakan putrinya mampu mengatasi tekanan pada tahun pertama, tapi tahun kedua, wali kelasnya seorang guru pendidikan agama Islam, dan tekanan pakai jilbab menjadi tak tertahankan. Si ibu memutuskan bertanya ke sekolah:

Ketika bertemu saya, pak guru itu menjawab, "Oh, saya hanya mengikuti peraturan sekolah.” “Bisakah saya melihat buku aturannya?” Dia kemudian memberikan buku itu kepada kami. Kami pulang dan mempelajarinya. Saat itulah saya mengetahui bahwa meski aturan itu tidak menyebutkan siswi wajib memakai jilbab, dari cara mereka mengucapkannya, aturan itu memberi kesan bahwa jika seorang siswi beragama Islam ia harus memakai jilbab. Itulah yang tersirat.[2]

Aturan jilbab juga memengaruhi pegawai negeri perempuan di Indonesia. Seorang dosen sebuah universitas negeri di Jakarta, yang tak mau namanya disebut, kepada Human Rights Watch mengatakan ia berada di bawah tekanan untuk mengenakan jilbab meski tidak ada aturan kampus terkait itu. Dia menunjuk ke arah papan besar di kampus yang mengingatkan semua pengunjung untuk mengenakan “busana Muslim”. Itu mewujudkan tekanan yang dia hadapi setiap hari yang membuatnya merasa tak nyaman. Dia mengatakan pihak universitas hanya mengamanatkan "pakaian yang sopan" dalam aturan. Tekanan tiada henti akhirnya mendorong ia untuk mengundurkan diri pada Maret 2020. Ia lantas bekerja di universitas swasta tanpa dihakimi karena mengajar tanpa jilbab.

Saya menerima komentar mengapa tidak menutupi “aurat” sebagai seorang Muslimat? Saya trauma dengan komentar dan pertanyaan dan merasa kecil hati [jadi saya berhenti bekerja].”[3]

Desakan atau persetujuan pemerintah untuk menekan perempuan dan anak perempuan memakai jilbab, dengan dalih kewajiban dalam Islam, adalah serangan terhadap hak asasi mereka atas kebebasan beragama, berekspresi, dan privasi. Bagi banyak orang, ini adalah bagian dari serangan yang lebih luas terhadap kesetaraan gender dan kemampuan perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan berbagai hak, seperti untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial. Ancaman ditolak mendapatkan pendidikan atau pekerjaan adalah cara efektif untuk membujuk seorang perempuan atau anak perempuan agar mengenakan jilbab, dengan korban psikologis yang tak main-main.

Aturan berpakaian ini bahkan telah membuat perempuan dan anak perempuan terkena bahaya fisik yang tak perlu. Di beberapa daerah dengan perempuan yang ditekan atau dipaksa mengenakan jilbab besar dan rok panjang –alih-alih celana panjang– dapat risiko lebih besar jika pakaian mereka tersangkut di roda sepeda motor, terutama kalau juga diharuskan duduk menyamping, seperti di Aceh.[4] Pada Februari 2020, 10 anggota Pramuka yang mengenakan rok panjang tewas tersapu arus air saat melakukan susur sungai di Yogyakarta. Tim Search And Rescue di Yogyakarta mengatakan bahwa rok panjang membatasi gerakan dan kemampuan fisik para korban untuk menyelamatkan diri dan tidak tenggelam.[5]

Seorang pegawai negeri di Cianjur, yang diwajibkan memakai jilbab dan gamis saat bekerja di kantor sebuah kelurahan, mengatakan kepada Human Rights Watch: “Saya tidak setuju dengan campur tangan pemerintah dalam hal jilbab. Saya khawatir akan makin berkepanjangan, dengan tuntutan agar [jilbab] lebih panjang dan makin membatasi [gerakan]. [Saya takut] mereka akan menambah aturan lain seperti jam malam.”[6]

Dahlia Madanih, yang bertahun-tahun memantau aturan berpakaian di daerah untuk Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mengatakan ketika pemerintah sebuah daerah mulai memberlakukan kewajiban berjilbab, “… daerah lain meniru, memaksa PNS [pegawai negeri sipil] perempuan dan anak sekolah untuk berjilbab. Jilbab dipandang sebagai simbol kesalehan perempuan, akhlak yang tinggi. Di Indonesia, semakin banyak daerah wajib berjilbab tapi jelas ini tidak bisa disamakan dengan meningkatnya kesalehan dan moralitas.”[7]

Dari Pancasila ke “Syariat Islam”

Presiden Soekarno, dan penerusnya, Soeharto, melihat gerakan Islam politik, yang menafsirkan “Syariat Islam” identik dengan negara Islam, merupakan rival dari kesepakatan negara Indonesia: Pancasila.[8] Pada tahun 1999, Presiden B.J. Habibie, yang menggantikan Soeharto, dituntut mengakhiri pertikaian bersenjata selama dua dekade di di Aceh. Habibie menandatangani Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang untuk kali pertama dalam sejarah Indonesia, mengizinkan sebuah provinsi menjalankan apa yang ditafsirkan sebagai Syariat Islam.[9]

Meski provinsi dan daerah lain tak punya kesamaan hukum untuk memberlakukan Syariat, namun berbagai aturan daerah dibuat setara dengan apa yang dilakukan di Aceh, seiring dengan menguatnya kalangan konservatif Islam. Pada tahun 2001, tiga kabupaten di Jawa Barat dan Sumatra Barat mulai mewajibkan jilbab di sekolah-sekolah. Sejumlah kabupaten lain, di Pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi, membuat peraturan serupa, yang mewajibkan para guru dan siswi berjilbab.

Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1999 dan 2004 mengesahkan undang-undang otonomi daerah yang memberi kewenangan pada pemerintah provinsi serta kabupatan/kota untuk mengatur sektor pendidikan dan pelayanan publik. Ini bagian dari desentralisasi yang lebih besar. Beberapa partai politik dan politisi Muslim, termasuk dari partai nasionalis, memakai desentralisasi ini untuk mengeluarkan keputusan dan peraturan daerah, yang secara umum disebut “perda syariah,” di berbagai provinsi dan daerah.

Padahal undang-undang desentralisasi mengatakan bahwa urusan agama tetap ranah pemerintah pusat. Dalam dua dekade berikutnya, peraturan yang diskriminatif tersebut bertambah, sasaran utama tubuh perempuan, kerap kali atas nama ketertiban umum.

Hingga 2016, Komnas Perempuan telah mengumumkan 421 peraturan daerah yang disahkan antara 2009-2016, yang mendiskriminasi perempuan dan agama minoritas.[10] Sebuah studi akademis menemukan bahwa hingga April 2019 ada lebih dari 700 peraturan daerah bernuansa syariat.[11] Perempuan dan anak perempuan paling sering jadi sasaran.

Pada Juni 2014, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka pintu lebih lebar ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengeluarkan peraturan nasional yang menyiratkan, dan ditafsirkan para pejabat pendidikan dan sekolah di seluruh negeri, untuk mewajibkan semua siswi Muslim, dari sekolah dasar negeri sampai menengah atas, untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam.[12] Meski peraturan soal pakaian perempuan di ranah lain tetap terbatas di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, sekolah negeri sekarang menjadi subjek kebijakan nasional de facto.

Peraturan tahun 2014 tersebut muncul menyusul aturan seragam untuk Pramuka (Praja Muda Karana). Undang-Undang No. 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka mewajibkan seluruh provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia untuk menjadikan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Hukum ini menyebutkan Gerakan Pramuka berada di bawah pengawasan Menteri Pemuda dan Olahraga. Praktiknya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berperan lebih besar karena sebagian besar anggota Pramuka adalah pelajar.[13] Gerakan Pramuka tidak mewajibkan siswa sekolah untuk mengenakan seragam Pramuka di sekolah, namun banyak kepala daerah, yang sering menjadi ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka dan membawahi dinas pendidikan setempat, mewajibkan para siswa untuk mengenakan seragam Pramuka setidaknya seminggu sekali di sekolah.[14]

Pada Desember 2012, Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Azrul Azwar menerbitkan instruksi setebal 50 halaman untuk Pramuka putra dan putri. Ini termasuk seragam khusus untuk “perempuan Muslim” yang mewajibkan jilbab, rok panjang atau celana panjang, dan kemeja lengan panjang. Instruksi resmi ini dilengkapi dengan gambar detail tentang panjang dan model pakaian dan tutup kepala dan menentukan penggunaan kain berwarna cokelat gelap dan muda.[15]

Dua tahun kemudian, Juli 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menetapkan bahwa semua sekolah, dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, harus memasukkan Gerakan Pramuka sebagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler mereka dan bahwa semua siswa seyogianya bergabung. Ia juga menyatakan bahwa semua guru harus terakreditasi sebagai “Pembina Pramuka”. Alhasil, hampir semua siswa sekolah negeri, dari kelas 1 hingga kelas 12, rutin mengenakan seragam Pramuka.[16] Terlepas dari apakah para siswi memilih untuk ikut atau tidak dalam kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, mereka diwajibkan untuk mengenakan seragam dan, karenanya, jilbab.

Dalam wawancara dengan Human Rights Watch, Mohammad Nuh, yang kini menjadi Ketua Dewan Pers, menekankan bahwa ia tidak memasukkan kata “wajib” dalam peraturan itu. Dia menjelaskan bahwa peraturan tersebut memberikan dua pilihan seragam kepada siswi Muslim: kemeja lengan panjang, rok panjang, dan jilbab, serta seragam biasa tanpa jilbab. Dia mengatakan:

Ada aspirasi masyarakat yang genuine agar para murid memakai jilbab. Saya tidak keberatan. Saya menulis peraturan itu. Tapi itu tidak wajib. Saya tidak menulis kata "wajib". Anak perempuan Muslim manapun, setiap siswi pada dasarnya, mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah, boleh memilih, mengenakan jilbab atau tidak.
Jika seorang siswi memilih untuk tidak mengenakan jilbab seragam berjilbab ya tidak masalah. Dia bisa memilih. Dia seharusnya tidak dapat sanksi apa pun. Ini pilihan. Saya masih melihat banyak anak perempuan [Muslim] yang tidak memakai jilbab. Tidak apa-apa. Jika ada sekolah negeri yang mewajibkan siswi Muslim untuk memakai jilbab, laporkan sekolah tersebut ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[17]

Dalam praktik, peraturan Menteri Pendidikan tahun 2014 dipahami banyak sekolah sebagai kewajiban memakai jilbab untuk semua anak perempuan Muslim. Di sejumlah daerah yang memakai tafsir ini, anak perempuan dari keluarga Muslim yang ingin dibebaskan dari kewajiban mengenakan seragam “busana Muslimah" praktis harus memberi tahu guru atau kepala sekolah bahwa dia bukan seorang Muslim --sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh keluarga Muslim. Mereka menganggap diri mereka Muslim meskipun mereka tidak ingin memakai jilbab.

Peraturan ini mendorong dinas pendidikan provinsi dan kabupaten untuk menulis berbagai peraturan baru, yang pada gilirannya mendorong ratusan ribu sekolah negeri, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, untuk menulis buku tata tertib sekolah mereka guna mewajibkan jilbab bagi para anak perempuan beragama Islam, terutama di daerah mayoritas Muslim. Di sekolah-sekolah, gadis Muslim diharuskan mengenakan kemeja lengan panjang dan rok panjang, bersama dengan jilbab.[18]

Saat ini, sebagian besar dari hampir 300.000 sekolah negeri di Indonesia, terutama di 24 provinsi yang mayoritas besar penduduknya Muslim, mewajibkan gadis Muslim untuk mengenakan jilbab sejak sekolah dasar.[19] Meski pejabat sekolah mengakui bahwa peraturan tersebut tak ada kata wajib jilbab, peraturan tersebut bisa dipakai untuk menekan anak perempuan dan orang tua mereka agar membuat siswi memakai jilbab.

Komnas Perempuan sudah berkali-kali menyampaikan keprihatinan atas sejumlah peraturan diskriminatif, termasuk soal jilbab. Mereka terus-menerus minta pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri, untuk membatalkan aturan yang diskriminatif.[20] Pemerintahan Yudhoyono membantah bahwa perda-perda itu bertentangan dengan hukum nasional karena mewakili “kearifan lokal”.<[21] Pemerintahan Yudhoyono juga membiarkan penerapan unsur-unsur syariah di tingkat provinsi dan kabupaten, termasuk peraturan anti-Ahmadiyah dan peraturan-peraturan lain yang menyasar minoritas agama.[22] Pemerintahan Jokowi yang memerintah sesudahnya juga gagal untuk mengambil tindakan.[23]

Komnas Perempuan telah mengenali 32 kabupaten dan provinsi yang punya peraturan wajib jilbab dikenakan di sekolah negeri, layanan sipil, dan di beberapa tempat umum, termasuk Provinsi Bengkulu, Sumatra Barat, dan Kalimantan Selatan.[24] Beberapa provinsi mayoritas Islam, seperti Yogyakarta, juga menjalankan kebijakan wajib jilbab tanpa peraturan tertulis, melainkan “himbauan” atau “nasihat” anak perempuan dan perempuan Muslim agar memakai jilbab.

Sebuah laporan Alvara Research Center di Jakarta pada 2019 mengungkap bahwa 75 persen perempuan Muslim di Indonesia, atau sekitar 80 juta orang, mengenakan jilbab.[25] Tidak jelas berapa banyak yang melakukannya secara sukarela dan berapa banyak dengan tekanan sosial atau paksaan hukum.[26] Kebanyakan dari mereka memakai salah satu dari tiga gaya penutup kepala: kerudung (masih memperlihatkan rambut), yang secara tradisional dipakai di banyak tempat di Asia Tenggara; jilbab (pakaian yang menutupi rambut, telinga, dan leher), sekarang menjadi gaya paling umum di Indonesia; dan abaya ala Saudi (menutupi seluruh tubuh dengan jubah panjang). Abaya kadang dipadukan dengan niqab, kerudung wajah yang hanya menampilkan mata,[27] pakaian yang semakin banyak dikenakan di Indonesia.[28] Para pendukungnya mengatakan bahwa niqab (istilah yang digunakan di Indonesia untuk menyebut abaya atau abaya dan cadar) adalah “hijab kaffah” karena menutupi sepenuhnya bentuk tubuh dan wajah perempuan.[29]

Para pendukung wajib jilbab mengajukan berbagai pembenaran untuk berbagai aturan ini. Mereka menegaskan bahwa ia diperlukan untuk mengatasi masalah seperti kemiskinan, kehamilan remaja, dan pornografi di internet.[30] Dalam beberapa tahun ini ada kampanye untuk mengesahkan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang konservatif termasuk sebuah pasal yang dapat ditafsirkan memberi wewenang kepada pemerintah daerah untuk menerapkan “hukum adat,” yang aspek-aspeknya bisa diskriminatif.[31] Banyak politisi Muslim berpendapat bahwa jilbab adalah wajib dalam Islam dan anak perempuan Muslim seharusnya dipaksa untuk memakai jilbab sejak usia belia. Beberapa dari mereka mengkritik penentangan terhadap kewajiban ini sebagai "Islamofobia."[32]

Dewi Candraningrum, dalam bukunya Negotiating Women's Veiling: Politics and Sexuality in Contemporary Indonesia, menulis bahwa sebagian besar perempuan berjilbab melakukannya atas nama Islam serta "... diminta orang tua dan sekolah, serta hukum." Dia berpendapat bahwa sekolah sangat berpengaruh, sesuatu yang ia simpulkan berdasarkan survei terhadap anak perempuan dan perempuan di Jawa dan Sumatera bahwa peraturan sekolah adalah cara paling efektif untuk mendorong anak perempuan mulai pakai jilbab.[33]

Inkonsistensi dalam Kebijakan Pemerintahan Jokowi

Setelah Joko Widodo terpilih sebagai presiden pada 2014, muncul harapan di kalangan pembela hak perempuan ketika Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berjanji akan meninjau kembali sejumlah peraturan diskriminatif di negeri ini. Saat menemui para pemimpin kelompok agama minoritas pada November 2014, Tjahjo mengatakan kepada mereka, “Indonesia bukan negara yang didirikan berdasarkan satu agama, Negara ini didirikan berlandaskan UUD 45, yang melindungi semua umat beragama.”[34] Ditekan Komnas Perempuan terkait aturan jilbab, Kementerian Dalam Negeri mengatakan ada 139 perda yang melanggar hak-hak perempuan dan berjanji akan mencari cara untuk membatalkan aturan-aturan itu.[35]

Itu tidak terwujud. Presiden Jokowi mengumumkan pada Juni 2015 bahwa pemerintahannya mencabut 3.143 dari 3.266 perda bermasalah karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, mendorong intoleransi, atau menghalangi investasi. Ternyata tak ada perda soal jilbab atau perda diskriminatif lain yang dicabut.[36]

Menyusul usaha pembunuhan oleh sepasang suami-istri terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, pada Oktober 2019, Menteri Agama Fachrul Razi mengusulkan niqab di tempat kerja bagi pegawai negeri perempuan. Si isteri memakai niqah ketika si suami menusuk Wiranto. Setelah menuai kritik terbuka dari kalangan konservatif, Fachrul minta maaf dan tidak menindaklanjuti usulan pelarangan itu.[37]

Bulan berikutnya Fachrul Razi dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru diangkat, Nadiem Makarim, menandatangani Surat Keputusan Bersama dengan beberapa menteri lain untuk melarang pegawai negeri menggunakan media sosial mereka “untuk menyebarkan ujaran kebencian dan radikalisme.” Pegawai negeri harus setia pada Pancasila walau surat keputusan ini tak secara langsung menyebutkan radikalisme atau ekstremisme Islam, dan tidak membahas perda yang mewajibkan jilbab.[38]

Pada November 2019, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang meneruskan Tjahjo Kumolo, mengimbau gubernur dan para pejabat daerah untuk membuat peraturan yang berdasarkan Pancasila. Dia mengatakan para pejabat seharusnya tidak mengesahkan aturan berpakaian bagi pegawai negeri yang menyimpang dari ideologi Pancasila.[39]

Pada 21 Januari 2021, Elianu Hia, seorang ayah, merekam pertemuan dengan wakil kepala sekolah putrinya, SMKN 2 di Padang, di mana sang guru memaksa dia untuk minta putrinya, yang beragama Kristen, untuk memakai jilbab. Dia bertanya kepada guru itu, “Kalau [anak] saya pakai jilbab, seakan-akan saya membohongi identitas agama saya. Ya kan? Di mana hak agama saya? Hak asasi saya? Satu pertanyaan saya, apakah ini hanya imbauan atau kewajiban?” Guru itu menjawab, “Bagi SMKN 2, ini adalah kewajiban.” Elianu Hia mengunggah video dan surat dari sekolah di Facebook. Ia jadi viral. Ia diberitakan banyak media dan televisi nasional, memicu protes dari warganet terhadap pihak sekolah dan dinas pendidikan di Sumatra Barat.[40]

Pada 24 Januari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menanggapi dalam sebuah video. Makarim mengecam pelanggaran di SMKN2 Padang dan mengatakan bahwa “peraturan wajib jilbab” di sekolah, atau sekolah negeri mana pun di Indonesia, bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan tahun 2014. Dia minta pemerintah Kota Padang agar memerintahkan sekolah itu mengubah aturannya. Sekolah mematuhi, Jeni Hia bisa sekolah tanpa paksaan jilbab, tapi pada saat laporan ini ditulis, peraturan tersebut belum resmi diubah. Pekan itu, lima siswi beragama Kristen masuk kelas tanpa memakai jilbab. Namun, hampir 20 siswi Kristen lain tetap memakai jilbab. Alasannya, takut masuk sekolah tanpa jilbab karena kepala sekolah belum mengubah peraturan.[41]

Pada 3 Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang mengizinkan setiap siswi atau guru perempuan untuk memilih apa yang akan dikenakan di sekolah, dengan atau tanpa “atribut keagamaan”. Keputusan tersebut memerintahkan pemerintah daerah dan kepala sekolah untuk meninggalkan peraturan yang mewajibkan jilbab, yang digunakan di ribuan sekolah negeri di Indonesia. Pada 10 Februari, Majelis Ulama Indonesia mengirim surat kepada pemerintah dan minta agar keputusan tersebut direvisi agar para guru Muslim diperbolehkan untuk “mendidik” siswi Muslim bahwa “pantas” bagi anak perempuan untuk memakai jilbab. Keputusan tersebut sebenarnya tak melarang anak perempuan Muslim mengenakan jilbab. Surat itu juga mengkritik keputusan karena mengarah ke “kegaduhan.”[42]

Perlunya Reformasi Hukum

Setelah pemerintah mencabut ribuan perda untuk mempromosikan program ramah bisnisnya, berbagai rumor dan spekulasi beredar luas bahwa yang dicabut itu termasuk “perda syariah” lebih khusus lagi perda wajib jilbab. Nahi Munkar, sebuah blog Islam, secara keliru membuat berita bahwa pemerintahan Jokowi telah “mencabut” perda-perda syariah, dengan mencantumkan beberapa peraturan wajib jilbab.[43] Tjahjo Kumolo segera mengeluarkan pernyataan bahwa tak ada satupun dari 3.143 perda itu yang merupakan perda bernuansa syariah dan minta masyarakat mengabaikan rumor tersebut.[44]

Tapi, pembatalan perda terkait investasi itu membuat geram Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi).[45] Apkasi mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar lembaga peradilan tersebut mencabut kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan perda. Apkasi mohon pasal dalam UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan kepada Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan perda, dicabut.

Pemerintah mempertahankan posisi agar pusat bisa tetap punya wewenang. Pada tahun 2017, MK memutuskan bahwa keputusan Kementerian Dalam Negeri dalam membatalkan perda telah melanggar UUD 1945 dan bahwa pembatalan perda hanya dapat dilakukan melalui uji materi di Mahkamah Agung.<[46]

Komisioner Komnas Perempuan, Khariroh Ali, menjelaskan dampak putusan MK tersebut: “Dengan mengakhiri kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan peraturan yang inkonstitusional, MK membuat pemerintah daerah lepas kendali. Perda-perda yang tidak terkontrol ini akan menjadi sumber peraturan yang diskriminatif terhadap minoritas.”

Pemerintah pusat tak pernah membawa kasus ke Mahkamah Agung untuk menyatakan keberatan atas berbagai perda diskriminatif. Meski pihak swasta bisa mengajukan kasus, aturan Mahkamah Agung tak mengizinkan saksi, ahli atau pihak terkait lainnya untuk bersaksi di pengadilan.[47]

Tim Lindsey, seorang ahli hukum Indonesia di Melbourne University, menggambarkan situasi tersebut sebagai “lubang konstitusional”. Mahkamah Konstitusi hanya bisa menguji konstitusionalitas undang-undang buatan parlemen namun bukan peraturan yang dibuat berdasar undang-undang. Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan apakah prosedur pembuatan sebuah peraturan dilakukan dengan dengan benar, bukan menguji konstitusionalitasnya. Ini berarti tidak ada ruang yudisial untuk menentukan konstitusionalitas ratusan, bila tidak ribuan, peraturan di Indonesia, termasuk peraturan soal jilbab. Ini problem raksasa di Indonesia karena peraturan pelaksaan undang-undang di Indonesia bisa lebih berpengaruh daripada undang-undangnya sendiri. Peraturan wajib jilbab misalnya bisa lebih berpengaruh, bahkan bertentangan, dengan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Lindsey menyarankan Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kembali posisinya untuk menutup lubang hukum ini.[48]

Jika Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung membiarkan peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif dijalankan, pemerintah pusat hanya akan dapat mengatasi dengan menggantikan peraturan-peraturan tersebut dengan undang-undang nasional yang tegas melarang pakaian diskriminatif dan sejumlah ketentuan lainnya.

Berbagai sinyal kontradiktif dari pemerintahan Jokowi mempertegas kesimpulan bagaimana pertarungan atas hak perempuan adalah salah satu masalah terpenting yang harus diperjuangkan di Indonesia, yang berdampak besar pada masa depan sosial, ekonomi, dan politik negara ini. Devi Asmarani, pemimpin redaksi dan salah satu pendiri Magdalene, majalah perempuan daring di Jakarta, menangkap resonansi publik yang lebih luas bila terkait isu jilbab: “Tidak ada laporan soal perempuan, dari pemerkosaan hingga gerakan #MeToo, dari profil selebriti hingga berbagai feature panjang kami, yang bisa bersaing dengan cerita jilbab. Semua cerita pro dan kontra seputar jilbab banyak dibaca di web kami, seringkali dengan jumlah pembaca tertinggi.”[49]

Mewajibkan perempuan dan anak perempuan pakai jilbab adalah bagian dari gerakan politik dan keagamaan konservatif untuk mengubah perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Ini merongrong hak anak dan perempuan untuk terbebas dari “kekerasan dan diskriminasi” berdasarkan konstitusi Indonesia. Perempuan berhak atas hak yang sama sebagaimana laki-laki, termasuk hak untuk mengenakan busana yang mereka pilih. Hukum hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas mewujudkan keyakinan agama seseorang dan hak atas kebebasan berekspresi. Setiap pembatasan terhadap hak ini hanya bisa dilakukan tujuan yang sah, diterapkan dengan cara yang tak sewenang-wenang dan non-diskriminatif.

Rekomendasi Kunci

Human Rights Watch menentang baik pemaksaan jilbab maupun pelarangan cadar atau pemakaian penutup kepala apapun kepada umat agama apapun karena ia merupakan campur tangan yang tidak proporsional dan diskriminatif terhadap hak-hak dasar dan telah berulang kali mengkritik berbagai pemerintah karena aturan cara berpakaian secara berlebihan.

Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia:

  • Secara aktif menegakkan keputusan 3 Februari 2021, yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama, yang melarang aturan seragam sekolah yang kasar dan diskriminatif bagi siswi dan guru perempuan di sekolah-sekolah negeri di Indonesia.
  • Mengeluarkan pernyataan publik bahwa semua peraturan nasional dan daerah yang mewajibkan jilbab dan pakaian wanita lainnya bersifat diskriminatif, tidak boleh ditegakkan, dan harus dicabut.
  • Memerintahkan pejabat pemerintah, termasuk gubernur, walikota, bupati, dan pejabat daerah lainnya, untuk mencabut peraturan yang diskriminatif dan berhenti menekan perempuan dan anak perempuan untuk mengenakan jilbab atau pakaian keagamaan lainnya. Mengambil tindakan disipliner terhadap kepala pemerintah daerah dan pegawai pemerintah yang melanggar perintah ini.
  • Mengirimkan rancangan undang-undang kepada parlemen guna mencabut peraturan provinsi dan daerah yang mendiskriminasi berdasarkan gender, termasuk peraturan yang mewajibkan perempuan dan anak perempuan untuk mengenakan jilbab atau pakaian sejenis lainnya, dan melarang peraturan diskriminatif baru di masa depan.
  • Menginstruksikan Gerakan Pramuka untuk mencabut ketentuan peraturan seragam 2012 yang selama ini diartikan secara luas mewajibkan anggota Pramuka dan siswi perempuan untuk mengenakan jilbab dan pakaian keagamaan lainnya di sekolah dan selama kegiatan di luar ruangan termasuk rok panjang.
  • Bekerja dengan organisasi-organisasi Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, untuk membuat kampanye guna melarang pemaksaan dan tekanan pada anak dan perempuan mengenakan jilbab atau pakaian Islami lainnya, dan mempromosikan toleransi dan kebhinnekaan.

Glosarium

Abdurrahman Wahid (1940-2009)

Seorang ulama dan presiden keempat Indonesia (1999-2001). Kakeknya salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Wahid, biasa dipanggil “Gus Dur,” memimpin organisasi tersebut pada 1984-1998.

Ahmadiyah

Sebuah gerakan reformasi Islam, didirikan di Qadian, Punjab, yang dari ajaran Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908). Dalam bahasa Arab, Ahmadiyah berarti “pengikut Ahmad.” Pertama kali muncul di Indonesia di Sumatra pada 1925 dan secara resmi terdaftar di Jakarta pada 1953.

Bacharuddin Jusuf Habibie (born lahir 1932)

Presiden ketiga Indonesia, seorang pakar pesawat terbang lulusan Jerman dan menjadi wakil presiden pada Maret 1998, yang lantas menggantikan Presiden Soeharto pada Mei 1998. Ia gagal terpilih kembali pada 1999.

Cadar

Dari bahasa Arab cador. Di Indonesia, cadar dimaksudkan sebagai kain penutup wajah, kepala, leher dan dada, hanya memperlihatkan mata.

Darul Islam

Gerakan bersenjata yang didirikan di Garut, Jawa Barat, pada 1949 untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Dalam Bahasa Arab, Dar al-Islam berarti rumah atau kediaman Islam dan biasanya digunakan untuk menyebut negara Islam.

Hidayah

Dari bahasa Arab yang artinya “petunjuk dari Tuhan”. Biasa digunakan untuk secara sopan meminta perempuan Muslim agar memakai jilbab.

Hijab

Dari bahasa Arab hijab (الحجاب) yang berarti “penutup kepala.” Ia mengacu pada kain yang dikenakan perempuan Muslim untuk menutupi kepala, leher dan dada. Biasanya dikenakan sebagian perempuan Muslim di luar rumah atau di hadapan lelaki di luar keluarga mereka. Kata ini juga dipakai dalam bahasa Inggris namun kurang populer dalam bahasa Indonesia.

Jilbab

Dari bahasa Arab jalb (الجلب) yang berarti "sekat". Ia mengacu pada kain yang menutupi kepala, leher, dan dada perempuan. Istilah ini lebih populer di Indonesia dibandingkan kata hijab.

Joko Widodo (lahir 1961)

Presiden ketujuh Indonesia dari tahun 2014 hingga sekarang. Dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, dari keluarga orang kebanyakan. Sebelum terjun ke dunia politik, dia berkecimpung di bisnis mebel. Dia satu-satunya presiden Indonesia yang tidak berasal dari kalangan elite politik atau punya latar belakang militer.

Kebaya

Kombinasi atasan asal Pulau Jawa dan secara tradisional dikenakan oleh perempuan di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei. Kebaya biasanya dihiasi sulaman warna-warni dan dikenakan biasanya dengan jarit atau kain batik tanpa jahitan.

Kerudung atau tudung

Potongan kain yang menutupi kepala perempuan namun masih memperlihatkan rambut.

Komnas Perempuan

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, sebuah lembaga negara independen yang didirikan pada 1999 di masa Presiden B.J. Habibie.

Muhammadiyah

Organisasi reformis Muslim Sunni yang didirikan pada 1912 di Yogyakarta. Salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia ini mengoperasikan ratusan rumah sakit dan sekolah di seluruh Indonesia. Dalam bahasa Arab, Muhammadiyah berarti “pengikut Muhammad”.

MUI

Majelis Ulama Indonesia adalah organisasi semi-resmi, didirikan di Jakarta pada 1975, terdiri dari organisasi Muslim Sunni termasuk Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan kelompok-kelompok yang lebih kecil.

Nahdlatul Ulama

Sebuah organisasi Islam Sunni tradisionalis yang didirikan pada 1926 di Jombang, Jawa Timur. Organisasi ini setidaknya 60 juta anggota, menjadikannya organisasi sosial Muslim terbesar di dunia. NU memiliki 20,000 lebih pesantren yang kebanyakan berada di Pulau Jawa.

Niqab

Dari bahasa Arab niqab (نقاب), terkadang di Indonesia disebut hijab kaffah (“hijab yang sempurna”), gabungan dari jilbab, cadar dan baju panjang.

Pancasila

Dasar negara Indonesia yang disepakati pada pembahasan Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945, sehari sesudah proklamasi kemerdekaan. Ia terdiri dari lima prinsip tak terpisahkan: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Demokrasi; dan Keadilan Sosial. Pancasila terus menjadi titik acuan dalam diskusi seputar agama dan kebhinnekaan di Indonesia.

PKS

Partai Keadilan Sejahtera adalah partai politik dengan bendera Islam di Indonesia yang mencontoh Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Qanun

Dari bahasa Arab yang berarti hukum. Di Indonesia, kata ini dipakai di Aceh untuk merujuk pada semua peraturan daerah dengan dasar Syariah Islam.

Kabupaten, Kota

Indonesia terdiri dari 34 provinsi dan terbagi menjadi 514 kabupaten dan kota. Kabupaten berada dengan banyak daerah pedesaan. Kota di wilayah urban.

Syariat

Hukum Islam, atau sejumlah badan peraturan (fiqh dalam bahasa Arab), yang sudah dan sedang dibahas oleh ahli hukum di dunia Islam. Ia dianggap oleh banyak dari umat Islam sebagai seluruh pedoman dan aturan untuk mengatur kehidupan dunia, termasuk non-Muslim, yang mencakup hukum pidana (qanun jinayah), hukum status pribadi, dan banyak aspek kehidupan lain seperti keagamaan, budaya, dan kehidupan sosial. Ada beberapa mazhab pemikiran yang berbeda dan bermacam tafsir tentang ketentuan-ketentuan Syariat.

Islam Syiah

Mazhab Islam terbesar kedua. Dalam bahasa Arab, Syiah adalah kependekan dari frasa Shiʻatu Ali atau “pengikut Ali” --mengacu pada Ali ibn Abi Talib (656-661) menantu Nabi Muhammad. Warga Syiah percaya bahwa Ali adalah penerus sah Muhammad.

Soeharto (1921–2008)

Presiden kedua Indonesia (1966-1998).

Soekarno (1901–1970)

Presiden pertama Indonesia (1945-1968). Ia merumuskan Pancasila sebagai ideologi negara, tapi ia juga menandatangani hukum penodaan agama (blasphemy law) pada 1965.

Islam Sunni

Mazhab terbesar dalam Islam. Dalam bahasa Arab, Sunni kependekan dari Ahlus-Sunnah wal Jama'ah atau "golongan yang menjalankan keteladanan (Muhammad)." Warga Sunni percaya bahwa para penerus Nabi Muhammad adalah empat khalifah: Abu Bakar, Umar al-Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali ibn AbiTalib. Kebanyakan Muslim Indonesia adalah penganut mazhab ini.

Susilo Bambang Yudhoyono (lahir 1949)

Presiden keenam Indonesia (2004-2014).

Wahabisme

Sebuah mazhab Islam yang berpusat dan berasal dari Arab Saudi. Nama ini berasal dari khatib Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703–1792) yang bekerja sama dengan Dinasti Saud dan mendirikan kerajaan Saudi Arabia.

 

Metodologi

Human Rights Watch melakukan penelitian untuk laporan ini sejak dari 2014 hingga Februari 2021, termasuk wawancara mendalam dengan 142 siswi, orang tua atau wali mereka, pegawai negeri perempuan, guru, dosen, pejabat pemerintah, dan aktivis hak perempuan. Wawancara dilakukan di Pulau Jawa, termasuk Bandung, Banyuwangi, Boyolali, Cianjur, Cibinong, Cirebon, Jabodetabek, Parapat, Rangkasbitung, Serang, Sukabumi, Surakarta, dan Yogyakarta; di Pulau Sumatra, termasuk Banda Aceh, Bandar Lampung, Medan, Padang, Pekanbaru, Solok dan Sijunjung; di Pulau Kalimantan, termasuk Penajam Paser Utara, Pontianak, dan Banjarmasin; di Pulau Sulawesi termasuk Makassar, Maros, dan Gorontalo; di Pulau Lombok di Praya; dan Denpasar di Pulau Bali.

Kami melakukan wawancara dengan para siswi dan anggota keluarga mereka di lokasi yang aman, terkadang dekat dengan sekolah. Demi alasan keamanan, termasuk ketakutan para narasumber akan adanya pembalasan berupa perundungan atau intimidasi, kami merahasiakan nama dari hampir semua siswi yang dipaksa memakai jilbab meski mereka sekarang sudah beranjak dewasa, dan, jika mereka masih anak-anak, kami juga merahasiakan nama orang tua mereka. Saat kami menyebut usia, kota, atau organisasi seseorang, kami melakukannya dengan persetujuan mereka. Kami menggunakan nama asli hanya jika individu tersebut bersikeras agar kami menggunakan nama mereka, dan hanya setelah kami yakin itu aman untuk dilakukan. Dalam kebanyakan kasus, orang-orang yang kami sebutkan namanya telah bicara sebelumnya dalam sejumlah laporan media atau menuliskan pengalaman mereka di blog atau media sosial.

Wawancara dengan siswi atau narasumber perempuan lain dilakukan secara tatap muka, kecuali masa pandemi, dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, oleh pewawancara perempuan. Kami memberitahu narasumber bagaimana informasi yang dikumpulkan akan digunakan dan memberi tahu bahwa mereka bisa menolak atau menghentikan wawancara kapan pun. Kami juga menjelaskan tidak akan ada kompensasi atas partisipasi mereka.

Cerita soal perundungan atau intimidasi didapat dari wawancara murid dan guru, dan bila ada sumber sekunder, kami verifikasi dengan saksi. Kami meninjau kejadian di sebuah sekolah di Bandar Lampung. Siswi korban menceritakan pengalaman perundungan di ruang guru, selama 19 menit direkamnya dengan telepon. Seorang perempuan memberi surat 30 halaman tentang perundungan. Seorang siswi di Solok, memberikan buku peraturan sekolah, yang menjelaskan hukuman bagi mereka yang tidak mengenakan jilbab atau tidak mengenakannya dengan benar.

I. Hak-Hak Perempuan dan Syariat dari Zaman Hindia Belanda hingga Rezim Soeharto

Pada 22 Desember 1928, sekitar 1.000 orang menghadiri kongres perempuan Hindia Belanda di kota Yogyakarta, dengan 15 pembicara mewakili berbagai organisasi. Para pesertanya sebagian besar guru berpendidikan Belanda, yang menulis dan menyampaikan pidato mereka dalam bahasa Melayu. Mereka membahas berbagai masalah selama konferensi empat hari itu: peraturan tentang pernikahan dan perceraian, pendidikan anak perempuan, buruh perempuan, dan gerakan hak perempuan di Eropa. Poligami dan pernikahan anak memicu debat sengit ketika para peserta menganjurkan pandangan yang berbeda.[50] Kuatnya pengaruh gelombang nasionalisme Indonesia kala itu memberi semangat kongres untuk “melawan atau mengelola beragam ideologi dan kepentingan yang ada dengan tujuan utama memperoleh kemerdekaan dari penjajahan Belanda.”[51]

Debat soal hak perempuan dan “Syariat Islam” berlanjut dalam beberapa dekade berikutnya. Tiga kongres perempuan terjadi pada tahun 1935, 1938, dan 1941. Perempuan dengan beragam pandangan Islam memperdebatkan poligami, pernikahan anak, dan angka kematian anak –namun mereka tak pernah menyebut soal jilbab. Susan Blackburn, seorang peneliti Australia yang menulis soal sejarah pergerakan perempuan di Indonesia, berpendapat bahwa selama periode kolonial Belanda, lebih mudah untuk memuluskan perbedaan dalam dunia Islam dengan mengacu pada tujuan bersama: melawan kolonialisme. Semua aktivis ingin merdeka, mendukung Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bekerja memperkuat organisasi masyarakat sipil. [52] Perpecahan antara pandangan Islam radikal dan moderat, termasuk busana perempuan, menjadi lebih sulit untuk dijembatani setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945. [53]

Presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang memimpin sejak tahun 1945 hingga 1965, menghadapi tekanan yang meningkat dari kalangan konservatif Islam. Pada tahun 1965, pemerintahannya mengeluarkan hukum penodaan agama, yang berisi pengakuan hanya pada enam agama: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, dengan hukuman penjara maximal lima tahun pada siapa pun yang “menghina agama.” Namun berbagai organisasi Muslim tidak pernah menganjurkan formalisasi jilbab.[54]

Para pimpinan Muhammadiyah di Istana Negara di Jakarta menghadiahkan medali yang disebut Bintang Muhammadiyah kepada Presiden Soekarno, 10 April 1965. © 1965 Bintang Muhammadiyah

Sebuah foto para pemimpin Muhammadiyah pada 1965 menunjukkan mereka berpose bersama Soekarno di Istana Negara di Jakarta. Muhammadiyah adalah organisasi Muslim yang berdiri sejak 1912 dan Soekarno sudah menjadi anggota sejak ia masih muda. Mereka menganugerahkan Bintang Muhammadiyah kepada Soekarno, sebuah penghargaan untuk kontribusi Soekarno dalam perkembangan organisasi. Mereka termasuk 12 perempuan pemimpin tertinggi Muhammadiyah. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa, berbahan sarung batik panjang tanpa jahitan plus kebaya warna-warni, dan kerudung, yang memperlihatkan rambut mereka.[55]Itu adalah pakaian khas perempuan Jawa.

Alissa Wahid, seorang aktivis Nahdlatul Ulama, mengatakan bahwa ibu dan neneknya, yang juga ulama, pun mengenakan kebaya, jarit, dan kerudung, rutin mengajar Al-Qur'an. Nahdlatul Ulama adalah organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Alissa Wahid adalah putri tertua mantan presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid dan Sinta Nuriyah:

Nenek saya [Solichah], ibu dari Gus Dur, mengenakan jilbab yang tidak dipakai oleh kebanyakan perempuan Muslim di Indonesia saat ini. Dia dulu mengenakan apa yang saya kenakan. Saya memakai kerudung ini sebagai penghormatan untuk nenek saya. Nenek saya putri seorang ulama besar dan menantu dari ulama besar lainnya. Suaminya juga seorang ulama besar. Putranya, Gus Dur, bapak saya, juga seorang ulama besar. Jilbab secara historis memiliki beberapa tafsir. Saya mengkhawatirkan tafsir tunggal hari ini.<[56]

Soeharto dan Peminggiran Golongan Islam

Pada 30 September 1965, sebuah kudeta gagal terhadap Presiden Soekarno merenggut nyawa enam jenderal Angkatan Darat. Peristiwa seputar upaya kudeta itu masih belum jelas dan beberapa orang yang terlibat menggambarkan ini sebagai urusan internal milite. Mayor Jenderal Soeharto segera mengambil alih kekuasaan dan pemerintahannya menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas upaya kudeta tersebut. Antara 1965 hingga 1967, militer dan milisi yang main hakim sendiri melakukan pembantaian terhadap kalangan kiri dan mereka yang diduga simpatisan, termasuk banyak feminis sayap kiri, di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, dan daerah lain di Indonesia. Perkiraan jumlah orang yang dibunuh berkisar mulai ratusan ribu hingga tiga juta jiwa.[57]

Selama tiga dekade berkuasa, Soeharto menggunakan Pancasila, untuk mengontrol negara, termasuk berbagai organisasi yang dianggap pendukung “Islam politik”. Dia menolak gagasan untuk menghidupkan kembali Masyumi, sebuah partai Islam yang dilarang zaman Soekarno, serta menekan organisasi dan partai Islam untuk menjadikan Pancasila sebagai platform mereka -bukan Islam .[58]

Pada 17 Maret 1982, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengeluarkan surat keputusan tentang seragam sekolah negeri. Ini kali pertama pemerintah di Indonesia mengatur seragam sekolah secara nasional. Ada tiga kategori seragam: merah dan putih untuk siswa sekolah dasar (kelas satu sampai enam); biru dan putih untuk siswa sekolah menengah pertama (kelas tujuh sampai sembilan); dan abu-abu dan putih untuk siswa sekolah menengah atas (kelas 10 sampai 12). Kategori tersebut didasarkan pada sistem sekolah yang ada di Indonesia. Keputusan tersebut menghapus otonomi sekolah negeri untuk mengatur seragam mereka sendiri. Ini juga secara tersirat melarang para siswi mengenakan jilbab karena aturan ini tidak memasukkan jenis penutup kepala apapun ke dalam semua kategori ini.[59]

Siyohelpiyanti, seorang pengawas sekolah, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa ketika ia duduk di bangku SMA di Jakarta pada tahun 1980-an seorang temannya dilarang memakai jilbab. “Guru memaksa para siswi melepas jilbab mereka,” tuturnya.[60] Beberapa sekolah mengeluarkan siswa yang tetap memakai jilbab.[61]

Peraturan tahun 1982 itu berlaku tiga tahun setelah Revolusi Islam tahun 1979 di Iran, serta perebutan Masjidil Haram, tempat suci bagi umat Islam, pada tahun yang sama. Dua peristiwa yang bikin geger dunia Islam pada 1979 tersebut memicu persaingan antara Iran dan Arab Saudi. Ia menyulut apa yang disebut “politik kesalehan” di dunia Islam, satu dan yang lain berlomba lebih saleh, termasuk dalam berlomba lebih berbusana Islami. Di Indonesia, meningkatnya jumlah pelajar Muslim yang belajar di Arab Saudi dan Timur Tengah, lantas pulang dan menganjurkan pakaian bagi perempuan Muslim, berdasarkan norma-norma Timur Tengah, serta pembatasan konservatif lainnya pada perempuan yang diberlakukan di wilayahTeluk Persia. [62]

Wartawan mahasiswa dan aktivis Universitas Islam Negeri Yogyakarta usai sebuah diskusi kampus pada 1970-an. Pada masa pemerintahan Soeharto, jilbab jarang dipakai di sekolah negeri seperti perguruan tinggi Islam ini. © 1976 Arena

Sejumlah aktivis Muslim menentang aturan seragam sekolah 1982 dan menggunakannya sebagai titik temu untuk melancarkan protes terhadap rezim militer Soeharto. Beberapa pelajar berjilbab di Jawa dan Sumatra dan mengutip dua ayat Al-Qur'an yang mereka tafsirkan sebagai keharusan anak perempuan dan perempuan Muslim untuk memakainya.[63] Beberapa penulis berpendapat bahwa peraturan tersebut punya andil mempersatukan berbagai kelompok Muslim yang sebelumnya tersebar.[64]

Pada tahun 1991, Soeharto putar arah dalam pendekatannya terhadap Islam politik. Dia menunaikan ibadah haji ke Mekah, memamerkan identitas Islam, merangkul Islam politik, dan mendukung Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, wadah dari aktivis-aktivis Muslim yang sejak awal rezim Soeharto dibatasi ruang geraknya.[65] Pada 16 Februari 1991, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan pedoman tentang seragam sekolah yang memperbolehkan “pakaian khas” namun tak memakai istilah “jilbab” atau “hijab” seperti yang diminta oleh beberapa organisasi Muslim. Namun jilbab sudah tak dilarang lagi.[66]

Pada Mei 1998 Soeharto dipaksa turun dari jabatannya menyusul demonstrasi besar-besaran saat krisis ekonomi Asia. Ini membuka sebuah era kebebasan yang lebih besar di Indonesia. Pemilihan umum digelar dengan jujur dan adil untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan, termasuk presiden.

Pandangan yang lama ditekan mencuat ke permukaan. Banyak kelompok etnis dan agama menuntut lebih banyak suara dalam ranah politik, ekonomi, dan budaya. Beberapa terlibat dalam konflik mematikan, termasuk di Aceh, di mana Gerakan Acheh Merdeka telah memperjuangkan kemerdekaan sejak 1970-an. Serangkaian militansi Islam juga muncul di berbagai daerah. Di Kalimantan, minoritas dijadikan sasaran kebencian. Di kepulauan Maluku terjadi kekerasan sektarian hingga 25,000 meninggal. Setidaknya 90.000 orang terbunuh dalam sebagian besar kekerasan etnis dan agama, dari Sumatra sampai Papua, dalam satu dekade setelah Soeharto mundur.[67]

II. Kebangkitan Islam Politik dan Aturan Bernuansa Syariat Sejak Era Soeharto

Preseden Aceh

Dalam upaya mengakhiri gerakan separatis dan konflik bersenjata di Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat pada 1999 memberikan otonomi luas kepada Aceh, termasuk mengizinkan provinsi itu mengadopsi sejumlah peraturan yang diturunkan dari Syariat Islam, satu-satunya provinsi yang diberi kewenangan untuk melakukan ini di Indonesia.[68] Pada 2002, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan Qanun No.11/2002 tentang penerapan syariat dalam aspek “kepercayaan (aqidah), ritual (ibadah), dan penyebaran (syiar) Islam”, yang berisi jilbab wajib dan ketentuan lain yang bernuansa Syariat, seperti kejahatan melakukan hubungan seks antara orang dewasa yang belum menikah dan khalwat (laki-laki dan perempuan berduaan di tempat tertutup). Pada 2003, Aceh mendirikan Mahkamah Syar’iyah sendiri dan Polisi Syariah (wilayatul hisbah).[69] Pada tahun 2004, DPR Aceh mengesahkan hukum pidana Islam (Qanun Jinayah).[70]

Status istimewa ini punya konsekuensi yang tak diinginkan. Ia memberanikan berbagai kelompok konservatif Islam di daerah lain di Indonesia. Pada tahun 2001, Kabupaten Indramayu di Jawa Barat menerbitkan “peraturan wajib berpakaian Islami dan literasi Al-Qur'an untuk siswa sekolah”. Ini menjadikan Kabupaten Indramayu sebagai salah satu daerah pertama yang menerbitkan aturan wajib jilbab.[71] Tidak lama kemudian Provinsi Banten menyusul, mengeluarkan peraturan sendiri.[72] Di Provinsi Sulawesi Selatan, enam dari 24 kabupaten mendeklarasikan penerapan Syariat: Bulukumba, Enrekang, Gowa, Maros, Takalar, dan Sinjai.[73] Provinsi Sumatra Barat dan Riau juga mengesahkan aturan dari Syariat. Di Jawa Timur, Kabupaten Pamekasan di Pulau Madura mendeklarasikan peraturan daerah Syariat, yang mewajibkan perempuan dan anak perempuan Muslim memakai jilbab di tempat umum.[74]

Pada 14 Oktober 2002, Gubernur Aceh Abdullah Puteh menandatangani qanun tentang aqidah, ibadah, dan syiar Islam, yang mewajibkan semua Muslim di provinsi tersebut untuk pakai busana Islami. Ini diartikan sebagai pakaian yang menutupi aurat bagi laki-laki, dari lutut hingga pusar. Bagi perempuan, pakaian harus menutupi seluruh tubuh kecuali tangan, kaki, dan wajah. Qanun menetapkan bahwa “busana Islami” tidak boleh transparan atau memperlihatkan lekuk tubuh.[75] Human Rights Watch mendokumentasikan bahwa beberapa dari mereka yang diduga melanggar aturan ini mengalami kekerasan atau rumahnya dibobol oleh milisi yang main hakim sendiri, yang sebagian besar bertindak dengan impunitas alias tak pernah dihukum.[76]

Aceh sontak menjadi contoh bagi para politisi konservatif di belahan Indonesia lain yang mendukung penerapan sejumlah perda Syariat, termasuk aturan wajib jilbab, memulai politik kesalehan guna meraih dukungan politik.

Peraturan Diskriminatif Mulai Menyebar

Sejumlah pemerintah daerah mulai mengeluarkan aturan jilbab baru pada masa kepresidenan Megawati Soekarnoputri. Di Jawa, pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia, beberapa peraturan wajib jilbab muncul di beberapa kabupaten Jawa Barat pada 2001. Salah satu daerah pertama di Sumatra adalah Solok di Provinsi Sumatra Barat. Juga pada tahun 2001, Zainal Bakar dari Sumatra Barat menjadi gubernur pertama yang mengeluarkan “himbauan” wajib jilbab untuk semua pegawai negeri perempuan.[77]

Pada 11 Maret 2002, Bupati Solok Gamawan Fauzi mengeluarkan peraturan berisi 15 pasal tentang busana Muslim yang ditujukan bagi pelajar putri dan pegawai negeri. Aturan itu mengharuskan perempuan serta anak perempuan untuk memakai jilbab. Peraturan tersebut menyatakan bahwa ini hanya berlaku untuk Muslim dan menetapkan sanksi dan tindakan disipliner terhadap Muslim yang tidak mematuhinya.[78] Sejumlah kabupaten lain di Sumatra Barat, seperti Pesisir Selatan, Tanah Datar, Sijunjung, Pasaman dan Agam, juga menerbitkan peraturan serupa.

Pada Juni 2004, Maman Sulaiman, Bupati Sukabumi, kabupaten terbesar di Jawa, menerbitkan sebuah aturan jilbab bagi siswi Muslim. Maman tak hanya meminta siswi Muslim untuk mengenakan jilbab, baik di sekolah negeri maupun swasta, tapi juga mewajibkan jilbab untuk murid taman kanak-kanak. Peraturan ini juga memperingatkan “sekolah non-Muslim” – merujuk ke sekolah swasta Katolik dan Protestan– agar tidak menghalangi para gadis Muslim dalam memakai jilbab.[79]

Peningkatan Aturan Jilbab Selama Pemerintahan Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, dilantik pada Oktober 2004. Ia terpilih kembali pada 2009 dan menjabat hingga 2014. Selama dua masa jabatan, wajib peraturan jilbab makin menyebar di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama Jawa, Sumatra, dan Sulawesi.[80]

Pemerintahan Yudhoyono menutup mata terhadap kekerasan, ancaman, dan intimidasi yang dilakukan militan Sunni terhadap kalangan minoritas agama --Kristen, Hindu, Buddha, agama lokal, serta Syiah, Ahmadiyah, dan Muslim non-Sunni lainnya.[81]

Pada Maret 2005, Fauzi Bahar, Wali Kota Padang, menerbitkan sebuah instruksi berjudul, “Pelaksanaan Wirid Remaja Didikan Subuh dan Anti Togel/Narkoba serta Berpakaian Muslim/Muslimah Bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS Dan SLTA/SMK/MA Di Padang”. Pasal 10 dari aturan tersebut menyatakan bahwa bagi murid/siswa SD/MI,SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MAN se-kota Padang diwajibkan berpakaian Muslim/Muslimah yang beragama Islam; dan bagi non-Muslim dianjurkan “menyesuaikan” pakaian (memakai baju kurung bagi perempuan dan memakai celana panjang bagi laki-laki)”.[82]

Secara sepintas, aturan itu tampaknya netral gender. Namun, karena pelajar laki-laki sudah mengenakan celana panjang ke sekolah, hanya pelajar perempuan yang terimbas. Para gadis Muslim sekarang diharuskan mengenakan jilbab, kemeja lengan panjang, dan rok panjang, dan gadis non-Muslim diharuskan mengenakan rok panjang. Pada 30 Maret 2005, Dinas Pendidikan Kota Padang mengirimkan surat edaran kepada semua sekolah negeri dan swasta melampirkan Fauzi Bahar dan memerintahkan semua kepala sekolah untuk menerapkan aturan jilbab bagi siswi Muslim.[83]

Pada Agustus 2005, Gamawan Fauzi, Gubernur Sumatra Barat, mengeluarkan surat edaran untuk semua Muslim mengenakan busana Islami, termasuk perempuan dan anak perempuan di tempat umum.[84] Pada 2009, Yudhoyono mengangkatnya menjadi Menteri Dalam Negeri. Gamawan kemudian mendorong penerapan sejumlah ketentuan syariat Islam di provinsi-provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di seluruh Indonesia.

Pada tahun 2005, Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin mengeluarkan sebuah Peraturan Gubernur yang mewajibkan pegawai negeri perempuan mengenakan jilbab dan rok panjang.[85] Pada 30 Desember 2005, Nadjamuddin Aminullah, Bupati Maros, Sulawesi Selatan, menandatangani peraturan tentang pakaian Muslim yang menyatakan bahwa sanksi akan dijatuhkan terhadap pegawai negeri Muslim dan pelajar yang tidak mengenakan jilbab.[86] Sebagaimana di Sumatra, peraturan ini menyebar ke daerah sekitarnya. Lima kabupaten lain di Sulawesi Selatan — Bulukumba, Enrekang, Gowa, Takalar, dan Sinjai — mengikutinya dan mengesahkan peraturan serupa. Belakangan menyebar ke kabupaten-kabupaten di provinsi lain di Sulawesi, seperti Gorontalo.

Peraturan Tahun 2014 soal Seragam Sekolah Negeri

Peraturan tentang seragam sekolah negeri di Indonesia ditandai dengan kasus seorang siswi Muslim dilarang memakai jilbab di Bali.[87]

Pada Januari 2014, SMA Negeri 2 Denpasar di Bali, pulau mayoritas Hindu, melarang siswi Anita Wardhani pakai jilbab. Sekolah beralasan menegakkan aturan seragam sekolah yang setara bagi semua siswa dan tidak memperbolehkan penutup kepala apapun.[88] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerima pengaduan dari siswi Anita Wardhani. Liputan media mereda setelah sekolah mengizinkan Anita mengenakan jilbab.

Kepala sekolah Ida Bagus Sweta Manuaba mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa Anita saat itu sudah berada di semester terakhir. Ida Bagus Sweta mengatakan, “Kami tidak melarang jilbab tetapi meminta untuk menunda memakai [sampai dia lulus].” Larangan itu mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memanggil pejabat sekolah ke Jakarta. Ida Bagus Sweta mengatakan kementerian memerintahkan agar sekolah mengubah aturan tersebut. “Sekarang lihat para siswi Muslim di sekolah ini bisa paka jilbab,” katanya.[89]

Lima bulan kemudian, pada 9 Juni 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, anggota kabinet Presiden Yudhoyono, mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 45 Tahun 2014 tentang “Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah,” termasuk sebuah ketentuan yang menguraikan persyaratan seragam sekolah yang mencakup jilbab bagi siswi Muslim.

Peraturan Menteri Pendidikan tahun 2014 itu menetapkan pakaian seragam nasional dan variasi bagi para siswi Muslim. Tidak ada referensi ke agama lain atau identitas kelompok lain yang mungkin memberikan variasi pada seragam sekolah standar.

Ilustrasi pada lampiran, yang merupakan bagian dari peraturan, memperlihatkan dua pilihan untuk pelajar laki-laki, satu dengan celana panjang dan satu dengan celana pendek. Untuk pelajar perempuan, ilustrasi menunjukkan pilihan rok panjang dan rok biasa, tapi memasukkan ilustrasi ketiga, “seragam sekolah khas Muslimah” yaitu pilihan rok panjang dan kemeja lengan panjang dengan tambahan jilbab. Peraturan tersebut berlaku untuk semua sekolah negeri di Indonesia, dan masing-masing sekolah tidak diperbolehkan menggunakan seragam yang berbeda atau menghapus semuanya sama sekali.[90]

Lampiran I.A.3. Ilustrasi Pakaian Seragam Nasional Sekolah Dasar – termasuk Pakaian Seragam Sekolah Khas Muslimah A. Kemeja putih lengan panjang sampai pergelangan tangan, dengan satu saku di sebelah kiri dan dimasukkan ke dalam rok B. Jilbab putih C. Rok panjang warna merah sampai mata kaki, tanpa saku, dengan ikat pinggang D. Ikat pinggang dengan lebar 3 cm E. Kaus kaki putih minimal 10 cm di atas mata kaki F. Sepatu hitam © 2014 Republic of Indonesia Ministry of Education and Culture

Peraturan tersebut mencakup bahasa melindungi kebebasan beragama (misalnya, "Pakaian seragam sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agama mereka masing-masing,") dan bahkan definisi pakaian seragam siswi Muslim pada “keyakinan pribadi” siswi tersebut (“Pakaian seragam khas Muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik Muslimah karena keyakinan pribadinya…”).

Lampiran I.B.3. Ilustrasi Pakaian Seragam Nasional Sekolah Menengah Pertama – Termasuk Seragam Sekolah Khas Muslimah A. Kemeja putih lengan panjang sampai pergelangan tangan, dengan satu saku di sebelah kiri B. Jilbab putih C. Rok panjang sampai mata kaki, warna biru tua dengan lipit hadap di kiri dan kanan bagian muka, ritsluiting di tengah belakang, saku dalam di bagian sisi rok, di pinggang disediakan tali gesper untuk tempat ikat pinggang D. Ikat pinggang ukuran lebar 3 cm, warna hitam E. Kaus kaki putih minimal 10 cm di atas mata kaki F. Sepatu hitam © 2014 Republic of Indonesia Ministry of Education and Culture

Dalam wawancara tahun 2019 dengan Human Rights Watch, Mohammad Nuh, menteri yang meneken aturan ini, dan sekarang menjabat Ketua Dewan Pers, menekankan bahwa ia tidak ada kata “wajib” dalam Peraturan Menteri Pendidikan No.45 tahun 2014 itu, dan menjelaskan bahwa peraturan tersebut memberikan dua pilihan seragam: kemeja lengan panjang, rok panjang, dan jilbab, serta seragam biasa tanpa jilbab. Dia mengatakan:

Ada aspirasi masyarakat yang genuine agar para murid memakai jilbab. Saya tidak keberatan. Saya menulis peraturan itu. Tapi itu tidak wajib. Saya tidak menulis kata "wajib". Anak perempuan Muslim manapun, setiap siswi pada dasarnya, mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah, boleh memilih, mengenakan jilbab atau tidak.
Jika seorang siswi memilih untuk tidak mengenakan jilbab seragam berjilbab ya tidak masalah. Dia bisa memilih. Dia seharusnya tidak dapat sanksi apa pun. Ini pilihan. Saya masih melihat banyak anak perempuan [Muslim] yang tidak memakai jilbab. Tidak apa-apa. Jika ada sekolah negeri yang mewajibkan siswi Muslim untuk memakai jilbab, laporkan sekolah tersebut ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[91]

Namun, dalam praktiknya, peraturan tahun 2014 ini dipahami di banyak kabupaten dan provinsi sebagai kewajiban memakai jilbab untuk semua anak perempuan Muslim. Di sejumlah daerah yang telah mewajibkan jilbab, seorang anak perempuan dari keluarga Muslim yang ingin dibebaskan dari kewajiban mengenakan “seragam khas Muslimah" ini harus memberi tahu otoritas sekolah bahwa dia bukan seorang Muslim, sesuatu yang sangat tidak mungkin dilakukan– hampir semua menganggap diri mereka Muslim meskipun mereka tak ingin memakai jilbab.

Lampiran I.C.3. Ilustrasi Pakaian Seragam Nasional Sekolah Menengah Atas - Termasuk Pakaian Seragam Sekolah Khas Muslimah A. Kemeja putih, lengan panjang sampai pergelangan tangan, dengan satu saku di sebelah kiri B. Jilbab putih C. Rok abu-abu panjang sampai mata kaki, dengan lipit hadap pada tengah muka, ritsluiting di tengah belakang, saku dalam pada bagian sisi rok, di pinggang disediakan tali gesper untuk ikat pinggang; D. Ikat pinggang ukuran lebar 3 cm E. Kaus kaki putih minimal 10 cm di atas mata kaki F. Sepatu hitam © 2014 Republic of Indonesia Ministry of Education and Culture

Peraturan ini mendorong dinas pendidikan tingkat provinsi dan kabupaten/kota memperkenalkan peraturan baru, yang pada gilirannya mendorong ribuan sekolah negeri, dari tingkat dasar hingga menengah, untuk menulis ulang kebijakan seragam sekolah mereka untuk mewajibkan jilbab bagi siswi Muslim, terutama di daerah mayoritas Muslim. Di sekolah seperti itu, gadis Muslim diharuskan mengenakan jilbab juga kemeja lengan panjang dan rok panjang.[92]

Sejumlah Pramuka putri mengenakan seragam jilbab wajib pada kegiatan mereka pada hari Minggu pagi di Jakarta. Banyak siswi yang mengeluh bahwa seragam cokelat yang tebal membuat aktivitas di luar ruangan menjadi panas dan tidak nyaman.  © 2019 Andreas Harsono/Human Rights Watch

III. Jilbab di Sekolah

Guru memegang gunting. Mereka memotong pakaian para siswi jika kemeja mereka dianggap tidak memenuhi ketentuan sekolah, terlalu ketat atau terlalu pendek. Juga para murid mendapatkan poin di buku disiplin mereka. Mereka kehilangan beberapa poin. Tidak ada siswi yang berani tidak memakai jilbab ke sekolah. Seorang teman sekelas dikeluarkan dari sekolah ketika dia memprotes seorang guru.
— Murid berusia 16 tahun di sebuah sekolah negeri di Solok, Sumatra Barat, Agustus 2019

Indonesia punya lebih dari 297.000 sekolah negeri. Sekolah-sekolah itu dibagi menjadi lima kategori pendidikan: sekitar 85.000 TK; 147.000 SD; 37.000 SMP; 12.000 SMA; dan 12.000 SMK.[93] Kementerian Agama juga mengelola sekolah negeri Islam sendiri – dari SD hingga SMA – khusus untuk pelajar Muslim.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta mengawasi sekolah-sekolah di seluruh Indonesia melalui pengaturan yang rumit dengan pemerintah daerah. Perguruan tinggi di Indonesia sebagian besar merupakan lembaga swasta, meskipun Kemendikbud dan Kementerian Agama bersama-sama mengelola 550 perguruan tinggi negeri.[94]

Tidak jelas berapa banyak sekolah negeri, terutama di 24 provinsi yang mayoritas penduduknya Muslim, yang memiliki peraturan wajib jilbab untuk siswi Muslim. Jumlah daerah dan sekolah yang mewajibkan hijab terus bertambah, begitu pula jumlah yang mewajibkan pakaian yang menutupi lebih banyak rambut dan tubuh anak perempuan.

Di sekolah-sekolah di beberapa daerah konservatif, tidak hanya siswi Muslim yang diwajibkan memakai hijab. Human Rights Watch mewawancarai puluhan anak perempuan non-Muslim, kebanyakan beragama Kristen, yang mengatakan bahwa mereka dipaksa memakai seragam berjilbab meski mereka tidak mau memakainya dengan alasan keyakinan.[95]

Peraturan terkait pemakaian jilbab ini melanggar kewajiban Indonesia berdasarkan hukum HAM internasional untuk melindungi hak kebebasan beragama dan berekspresi, hak atas privasi dan otonomi pribadi, kepentingan terbaik anak, dan hak atas pendidikan, seperti dalam banyak kasus siswi ditekan tidak hanya untuk mengenakan pakaian yang tidak mereka sukai tetapi juga untuk meninggalkan sekolah, untuk sementara atau selamanya, jika mereka tak bisa mematuhi. Para siswi yang tidak dipaksa meninggalkan sekolah masih menggambarkan bahaya pada pendidikan mereka, termasuk perundungan, hinaan, dan nilai buruk karena tidak mengenakan hijab.

Tekanan dan Perundungan di Sekolah

Sekolah negeri di Indonesia menggunakan kombinasi tekanan psikologis, penghinaan di depan umum, dan sanksi untuk membujuk anak perempuan pakai hijab. Suasana ini mendorong tekanan dari teman sebaya serta perundungan oleh guru dan sesama pelajar untuk memastikan bahwa “Muslimah yang baik” mengenakan jilbab. Human Rights Watch menemukan contoh-contoh di mana pejabat sekolah membatalkan kewajiban berjilbab menyusul keluhan orang tua kepada pemerintah. Tapi, sebagian besar sekolah negeri paling tak berhasil melindungi anak perempuan dari pelecehan dan perundungan yang mengganggu pendidikan mereka dan, yang terburuk, mendorong dan melakukannya.

Nadya Karima Melati, kini seorang aktivis berusia 24 tahun, bercerita tentang tiga tahun sulit yang harus ia lalui menghadapi perundungan dan tekanan dari para guru untuk mengenakan jilbab setelah ia mendaftar di SMA Negeri 2 Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dia berasal dari sekolah menengah swasta di mana pelajar perempuan tidak mengenakan jilbab atau rok panjang sehingga, sebelum mendaftar di SMA Negeri, dia berbicara dengan para guru di sana tentang seragam sekolah. Dia diberitahu bahwa sekolah punya dua pilihan untuk pelajar perempuan, satu dengan jilbab dan satu tanpa jilbab, dan dia dapat memilih pilihan kedua. Namun, ketika dia membeli seragam di sekolah, dia menemukan hanya ada satu pilihan: “Saya merasa seperti sedang ditipu. Semua murid baru mengenakan jilbab. Faktanya, seluruh murid di sekolah ini mengenakan jilbab. Itu wajib."[96]

Pada tahun pertamanya, Nadya mengenakan jilbab saat memasuki halaman sekolah namun melepasnya di dalam kelas. Dia mengatakan bahwa para guru tidak menerima ini dan “menasihati” dia untuk mengenakan jilbab dalam kelas. Dia enggan mengikuti permintaan itu. Pada tahun kedua, Nadya mengatakan dia memberontak dengan melepas jilbabnya setelah melangkah keluar dari gerbang sekolah.

Sekolah Nadya punya cabang Rohani Islam (Rohis), kegiatan ekstrakurikuler yang terkait dengan afiliasi Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Apakah seorang siswi memakai jilbab atau tidak adalah salah satu cara pertama Rohani Islam mengukur kesalehan mereka.[97]

Seorang guru dan para siswa di SMA Negeri 2 di Cibinong, Bogor. © 2018 Michelle Winowatan/Human Rights Watch

Rohis bermula pada akhir tahun 1970 di Jawa Barat, secara bertahap membuka cabang di banyak sekolah di seluruh Jawa dan Sumatra. Rohis biasanya beroperasi di bawah bimbingan guru pelajaran agama Islam di tiap sekolah.[98] Para analis menggambarkan Rohis sebagai pendorong radikalisasi siswa sekolah menengah di Indonesia.[99]

Nadya menghadapi tekanan serius dari teman-teman sebaya dari Rohis, di mana para anggotanya sering mengkritik Nadya karena tidak selalu mengenakan jilbab. Guru pelajaran agama Islam, yang bahkan menentang pelajaran menyanyi di sekolah, adalah suara dominan dalam jaringan ini.[100]

Nadya menuturkan bahwa perjuangannya dengan jilbab juga terjadi di rumah. Ibunya, seorang aktivis Islam yang berjuang melawan pelarangan jilbab pada 1990-an, menggunakan pendekatan kaku sekolah untuk menekan Nadya agar mengenakan jilbab secara penuh di ruang publik. Nadya hanya bisa melepas jilbabnya di rumah: “Ibu saya tidak memahami bahwa kini berjilbab dan tidak berjilbab adalah pilihan. Peraturan SMA memberi ibu kesempatan untuk menekan saya agar memakai jilbab, sesuatu yang menimbulkan perselisihan di antara kami selama bertahun-tahun.”[101]

Seorang mantan siswi SMAN 1 Solok mengatakan pernah dihukum pada tahun 2012 karena menyanggul rambut di balik jilbabnya. Sanggul rambut dianggap modis dan tidak sopan oleh beberapa kelompok konservatif dan dilarang di sekolah itu. Dia dipermalukan dengan dipaksa pakai helm di atas sanggul dan jilbabnya di dalam kelas.[102]

Majalah Tempo memberitakan bahwa dua sekolah Yogyakarta, SMPN 7 dan SMPN 11, mewajibkan siswi beragama Islam mengenakan kemeja lengan panjang, rok panjang, dan jilbab. Kepala salah satu sekolah itu bahkan mencantumkan persyaratan tersebut dalam surat edaran tertanggal 13 Juli 2017. Beberapa orang tua protes, membuat pernyataan ke media dan menuntut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memeriksa sekolah-sekolah tersebut. Kepala sekolah membantah ada kewajiban jilbab meski ada surat tertulis. Dia berkilah itu hanya “anjuran” dan bahwa “tidak ada sanksi” yang dikenakan pada para siswi yang menolak, meskipun ia menambahkan bahwa “Muslimah yang baik” seharusnya berjilbab.[103]

Seorang ibu di Yogyakarta, yang putrinya bersekolah di SMPN 11 pada 2017, menjelaskan tekanan jilbab ini terjadi berkat peraturan Menteri Pendidikan tahun 2014:

Meskipun sekolah dan para gurunya tidak secara eksplisit mengatakan bahwa dia harus mengenakan jilbab, mereka cenderung memberikan komentar yang tidak diinginkan atau mengolok-olok pilihannya tidak memakai jilbab. Tekanannya implisit, tapi terus-menerus. Anak saya mampu menangani situasi ini pada tahun pertama, tetapi pada tahun kedua, wali kelasnya adalah seorang guru agama [Islam]. Dan tekanannya makin eksplisit.
Ketika bertemu saya, pak guru itu berkata, "Oh, saya hanya mengikuti peraturan sekolah di sini.” “Bisakah saya melihat buku aturannya?” Saya bertanya. Dia kemudian memberikan buku itu kepada kami. Kami pulang dan mempelajarinya. Saat itulah saya mengetahui bahwa meskipun aturan itu tidak menyebutkan bahwa siswi harus memakai jilbab, dari cara mereka mengucapkannya, aturan itu memberi kesan bahwa jika seorang siswi beragama Islam, ia harus memakai jilbab. Itulah yang tersirat.[104]

Ia melaporkan SMPN 8 Yogyakarta ke Kantor Ombudsman RI karena kepala sekolah, guru agama Islam, dan siswa lainnya secara rutin merundung putrinya agar mengenakan jilbab sejak masuk sekolah:

Setiap ada pelajaran agama, dan kapanpun pak guru agama Islam menghampiri, dia bertanya kenapa anak saya tidak berjilbab.” Guru itu bahkan bertanya “Besok jilbabnya dipakai ya?” Putri saya hanya menjawab “Ya, baik.” Tapi begitu dia pulang, dia cerita pada saya soal ketidaknyamanannya, “Mengapa mereka seperti itu ya, Ma?” Saya menyadari bahwa pihak sekolah telah menekan para siswi untuk memakai jilbab meskipun kepala sekolah menyangkalnya.
Pada kunjungan tahun pertama, serta setiap pertemuan orang tua-guru, ibu kepala sekolah bilang, “Tidak, itu tidak wajib.” Tapi saat kunjungan berikutnya [pada tahun kedua] kepala sekolah tidak secara persis mengatakan tidak. Dia menyiratkan bahwa saya seharusnya paham. “Apa susahnya untuk lakukan itu?” katanya.[105]

Remaja ini sudah tiga tahun menyelesaikan pendidikannya di SMPN 8 tapi masih menghadapi perundungan karena menolak berjilbab. Ibu dan ayahnya, yang adalah Muslim Sunni, terus membela hak putri mereka. Kadang-kadang putri mereka itu mengenakan jilbab selama pelajaran agama Islam dan salat, tetapi dia hampir selalu menolak untuk berjilbab.

Kantor Ombudsman Republik Indonesia mendatangi sekolah tersebut dan mendapati pada Februari 2019 bahwa peraturan sekolah tidak secara gamblang mewajibkan jilbab bagi anak-anak perempuan yang beragama Islam tetapi menciptakan tekanan pada mereka. Juga dicatat bahwa kepala sekolah dan guru agama Islam telah “menekan” siswi Muslim untuk mengenakan jilbab. Ombudsman meminta pihak sekolah untuk mengoreksi peraturan tersebut.[106] Namun, beberapa orang tua siswa lain, yang mendukung aturan berjilbab itu, meminta pihak sekolah untuk mengeluarkan siswi yang memprotes. Ibu siswi itu mengatakan, “Putri saya akhirnya berkompromi. Dia terkadang memakai jilbabnya. Kadang tidak, tergantung situasinya. Jika situasinya tidak bersahabat, dia akan berjilbab.”[107]

Pada Januari 2020 di Sragen, Jawa Tengah, seorang ayah melaporkan sekolah putrinya SMAN 1 Gemolong ke kepolisian dan pemerintah daerah setelah putrinya dirundung karena tidak mengenakan jilbab. Agung Purnomo mengatakan bahwa anggota Rohis di sekolah tersebut mengirim pesan lewat telepon, "Hampir setiap hari pesan itu masuk ke nomor ponsel, sehingga anak saya merasa terganggu." Keluhannya tersebut membuat pemerintah meminta kepala sekolah menemui Purnomo dan minta maaf kepada anaknya serta berjanji menghentikan Rohis intimidasi para siswi.[108]

Di Padang, seorang siswi berusia 19 tahun mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia berusaha menolak memakai jilbab, tapi pihak sekolah memaksa dengan ancaman dan intimidasi. Ia bilang, “Saya sebenarnya menolak, tapi apa lagi yang bisa saya lakukan? Banyak teman sekelas saya yang tidak suka memakai jilbab. Ketika keluar dari sekolah, mereka melepas jilbab mereka.”[109]

Di Bandung, Mida Damayanti, mantan siswi SMKN 2 Baleendah menjelaskan bahwa para gurunya — terutama guru perempuan dan guru pelajaran agama Islam— memberlakukan aturan jilbab dan menegur para siswi yang tidak berjilbab dengan cara tertentu selama dia bersekolah tahun 2005-2008. Dia mengatakan “tidak beruntung” jika mereka ada pelajaran agama Islam atau kelas dengan guru pemarah tiap hari Jumat. Itu berarti tidak ada ruang bagi mereka untuk melepaskan jilbab atau memakai kerudung yang lebih tradisional. Sekolah mewajibkan penutup kepala menutupi leher dan para siswi juga mengenakan kemeja lengan panjang dan rok lebar. “Pakaian yang kami pakai secara langsung akan mempengaruhi nilai [akademik] guru itu,” katanya.[110]

Seorang mahasiswi Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, terkejut saat ditegur karena tak berjilbab saat mengikuti program pekan orientasi pada Agustus 2016. Seorang mahasiswa senior menanyakan agamanya. Dia menjawab, “Islam”. Senior tersebut mengatakan perempuan Muslim wajib memakai jilbab jika “ingin masuk surga”. Kepada sang senior dia mengatakan bahwa ini adalah universitas negeri dan tak ada peraturan seperti itu. Beberapa senior lain bergabung, mengancam untuk tidak meluluskannya dari program orientasi. Mahasiswi itu menjelaskan bahwa dua perempuan Muslim lainnya juga tidak mengenakan jilbab. Para senior yang menjalankan program tersebut mengancam ketiganya akan dikeluarkan dengan paksa. Mereka bertiga akhirnya mengalah, berencana melepas jilbab mereka setelah program orientasi berakhir. Tetapi mereka kemudian mengetahui bahwa beberapa dosen di universitas itu menentang para mahasiswi yang tidak berjilbab di kampus. “Hanya mahasiswi Kristen yang memiliki kebebasan untuk tidak mengenakan jilbab,” katanya. Mereka akhirnya memutuskan untuk tetap memakai jilbab di kampus tapi melepasnya begitu mereka keluar kampus.[111]

Seorang psikolog dari Yogyakarta berbicara tentang keprihatinannya pada putrinya yang remaja:

Keluarga saya adalah keluarga Nahdlatul Ulama, tetapi bapak dan ibu tidak pernah memaksa saya untuk mengenakan jilbab. Dan saya tidak ingin menekan anak saya. Teman-teman anak saya, orang Tionghoa, cerita tentang bagaimana mereka dipaksa memakai jilbab di sekolah negeri… [Aturan] wajib jilbab dengan semua tekanannya ini memengaruhi kesehatan mental anak-anak perempuan kita. Bagaimana kita mengukur [stres psikologis]?
Saya ingin melindungi anak saya. Suami saya bahkan menyuruhnya masuk sekolah Katolik. Saya tidak setuju karena sekolah Katolik juga bisa menciptakan kesan bahwa Islam adalah ancaman. Banyak orang Katolik takut dengan Islam di Indonesia…. Kami tidak punya banyak pilihan di Yogyakarta. Kami ingin menyekolahkannya ke sekolah internasional atau sekolah multikultural swasta. Biaya mahal. Saya khawatir melihat tren ini di Indonesia. … [112]

Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog di Bandung, yang sering membantu siswi korban “perundungan jilbab” dan menderita suatu kondisi yang disebutnya “body dysmorphic disorder,” bicara tentang tekanan emosional yang dihadapi siswi Muslim, khususnya di sejumlah kabupaten konservatif seperti Indramayu, Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya di Jawa Barat. Dia berpendapat bahwa demi “kepentingan-kepentingan terbaik” anak-anak, pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan kembali berbagai kebijakan dan praktik yang mengarah pada pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah: “Jika tubuh kita terluka, kita dapat mendiagnosis masalah dan menyembuhkan mereka. Tetapi jika kesehatan mental kita terluka, bagaimana kita menanganinya? Kita tidak pernah tahu bekas luka yang kita ciptakan dengan berbagai tekanan sekolah dan kantor yang intens ini.”[113]

Seorang remaja putri berusia 18 tahun mengatakan dipaksa memakai jilbab sejak dia masuk TK di Solok: “Guru saya beralasan, ‘Ini untuk mendidik sejak kecil wajib jilbab, menutupi aurat.’ Bisa bayangkan menjadi seorang anak kecil, memakai jilbab; hal yang menakutkan ketika guru mulai memeriksa jilbab kami.”[114]

Seorang ibu di Banyuwangi berkeluh kesah kepada Human Rights Watch bahwa putrinya yang berusia 6 tahun dipakaikan jilbab di TK negeri pada tahun 2012.[115] Para guru, tanpa bertanya kepada orang tua, memakaikan jilbab pada semua gadis kecil untuk foto kelas. “Saya protes, memberi tahu para guru bahwa gadis-gadis kecil ini seharusnya tidak dipaksa memakai jilbab.”[116]

Hukuman Siswi dengan Poin, Spidol, dan Gunting

Banyak sekolah mengatur jilbab hingga detail terkecil, dengan merinci bahwa kainnya tidak boleh tembus pandang, tidak ada rambut yang terlihat, dan anak perempuan tidak dibolehkan menyanggul rambut. Beberapa sekolah menerapkan tindakan yang memberi stigma pada anak perempuan, merusak pakaian mereka, dan bahkan mengancam dengan pengusiran karena tidak berjilbab. Namun banyak anak perempuan sengaja memakai tutup kepala yang tipis dan pendek sebagai bentuk perlawanan sehari-hari.

Di banyak sekolah, setiap kali seorang siswi dianggap melanggar peraturan sekolah –termasuk peraturan jilbab– dia kehilangan beberapa poin. Jika poin seorang siswi mencapai level tertentu, dia akan mendapatkan peringatan resmi. Saat jumlah poin bertambah, orang tua dipanggil ke sekolah. Pada akhirnya, seorang siswi bisa dikeluarkan, kata seorang pengawas sekolah di Solok, Sumatra Barat, kepada Human Rights Watch, sambil menunjukkan contoh dari peraturan sekolah tersebut.[117]

Sebagai contoh, sebuah peraturan di SMAN 3 Solok memuat beberapa sanksi, termasuk dua poin jika seorang siswi memakai “jilbab transparan” dan dua poin lagi jika dia memakai “rok ketat, rok mini atau rok dengan belahan”. Peraturan tersebut secara khusus menyebutkan bahwa pakaian perempuan harus menutupi “pinggul dan tidak ketat…. Jilbab tidak boleh transparan”. Seragam olahraga pelajar perempuan “tidak boleh ketat, tidak boleh menggunakan celana berbentuk pensil, dan jilbab tidak boleh transparan.”[118]

Seorang perempuan di Solok, sekarang berusia 27 tahun, mengingat kembali pengalamannya dengan sistem poin ini:

Jika kami mencapai pelanggaran 100 poin, kami akan diminta mengundurkan diri dari sekolah. Kerudung haruslah tebal, tidak ada rambut yang terlihat, dan jilbab harus cukup lebar untuk menutupi dada. Baju harus cukup panjang untuk menutupi pinggul. Mereka yang memakai jilbab yang lebih pendek, lebih tipis, memperlihatkan rambutnya, akan ditegur, dipanggil ke kantor BK, kemudian mendapat poin penilaian. Jika kerudung terlalu tipis atau terlalu pendek, guru akan [menggambar] tanda silang dengan spidol di baju atau jilbab. Begitu pula kemeja yang tidak menutupi pinggul akan dicoret.[119]

Sekolah sering ragu untuk mengeluarkan siswa karena Bantuan Operasional Sekolah terkait dengan jumlah siswa di sekolah tersebut. Untuk menghindari hilangnya pendapatan dan potensi perselisihan birokrasi yang berkepanjangan dengan orang tua yang protes, banyak sekolah menggunakan spidol pada pakaian para siswi untuk memberi stigma pada mereka yang jilbab dianggap tak sesuai tata tertib sekolah. Kata seorang siswi di Padang:

Ada sistem poin. Jika murid melanggar aturan, murid itu bisa mengumpulkan maksimal 100 poin lalu dikeluarkan dari sekolah. Yang berani melanggar wajib jilbab ini biasanya teman-teman [Muslim] saya. Mereka akhirnya mengenakan kerudung [kebanyakan] karena peraturan sekolah. Di luar sekolah kami tidak memakai jilbab. Untungnya, tidak ada teman sekelas saya yang dikeluarkan dari sekolah.[120]

Di Tasikmalaya, Jawa Barat, seorang siswi SMAN 9 berusia 16 tahun mengatakan ia dan teman-teman sekelasnya terpaksa memakai jilbab di sekolah. Para siswi yang mengenakan rok sekolah tetapi membiarkan kaus kakinya terlihat di sekitar pergelangan kaki mendapatkan 40 poin. Jika seorang siswi mengumpulkan poin 500, sekolah bisa mengeluarkan siswi tersebut. “Semua orang terpaksa memakai jilbab,” katanya. “Tidak ada pilihan lain.” Dia menjelaskan bahwa ketika tidak berada di sekolah dia tidak berjilbab dan memakai celana pendek saat bepergian.[121]

Human Rights Watch mendokumentasikan lima kasus terpisah di mana sistem poin ini mendorong para orang tua memindahkan anak perempuan mereka ke sekolah-sekolah lain; biasanya ke sekolah swasta, yang berbayar. Hal ini tidak hanya membebankan biaya ekonomi bagi keluarga, tetapi berdampak negatif pada pembelajaran dan persahabatan. Banyak yang melaporkan adanya stigma sosial.

Di Solok, seorang ibu mengatakan tidak punya pilihan selain memindahkan putrinya, Fifi (nama samaran), setelah nilainya mencapai 75 dari maximal 100 poin pada semester satu. Fifi kemungkinan besar akan dikeluarkan dari sekolah. Kata sang ibu:

Pada tahun 2013, anak perempuan saya sering memakai jilbab warna cokelat sebagai bagian dari seragam Pramuka, tapi dianggap terlalu tipis. Setiap kali dia memakai jilbab tipis, dia dapat lima poin. Jilbab tipis itu nyaman. Sekolah mewajibkan jilbab tebal, tidak nyaman. Di semester pertama dia sudah mendapat 75 poin. Saya khawatir dia akan dikeluarkan. Saya memutuskan untuk memindahkannya ke sekolah swasta.[122]

Pada 19 Oktober 2017, seorang siswi berusia 16 tahun di SMKN 4 Bandar Lampung, dipanggil untuk menemui para gurunya setelah berkali-kali melepas jilbab saat berada di sekolah. Dia mengatakan bahwa dua guru bimbingan konseling, keduanya perempuan, sebelumnya mengancam akan mencukur rambutnya. Dia menggunakan telepon untuk merekam kecaman, intimidasi, dan ancaman yang dia alami dan bercerita kepada Human Rights Watch:

Saya dipanggil ke ruang konseling sekolah. Saya nyalakan perekam saya. Ada beberapa guru di dalam ruangan termasuk para guru BK sekolah. Saya hanya ingat beberapa guru – Pak [nama disimpan], Bu [nama disimpan], Bu [nama disimpan]– ditambah seorang guru perempuan dan empat guru laki-laki. Salah satu guru laki-laki adalah guru BK. Mereka semua mengomentari penolakan saya terhadap jilbab. Pak [nama disimpan] menyarankan agar sekolah mengeluarkan saya. Bu [nama disimpan] dan Bu [nama disimpan] menyangkal pernah mengancam akan mencukur rambut saya. Mereka bertanya apakah saya punya rekaman ancaman?
Saya membela diri, “Ini sekolah negeri atau madrasah?” Seorang ibu guru mendekati saya dan dengan kasar memegangi wajah saya. Dia bilang, semoga saya akan mati dalam tiga bulan ke depan jika saya mengarang cerita tentang ancaman para guru. Akhirnya, saya dilepaskan.[123]

Siswi itu menelepon orang tuanya di Jakarta dan memohon agar mereka mengeluarkannya dari SMKN 4 Bandar Lampung. Mereka berusaha menghibur, memintanya agar tenang dan berjanji akan meminta paman dan bibinya, yang tinggal di Bandar Lampung, untuk mendatangi sekolah. Mereka juga memintanya bersabar karena dia akan lulus dalam empat bulan. Kata siswi itu:

Pada 27 Oktober 2017, paman dan bibi saya datang ke sekolah. Ibu guru BK enggan menemui karena mereka karena “bukan orang tua yang sebenarnya.” “Kamu bilang orang tuamu yang akan datang ke sini, bukan paman dan bibimu,” katanya. Tapi paman dan bibi saya bersikeras. Mereka masuk ke ruangan dan memberi tahu Bu [nama ditahan] … mereka hanya ingin bicara. Bu [nama ditahan] dan Bu [nama ditahan] akhirnya setuju berbicara dengan mereka. Para guru itu mengatakan tidak membuat ancaman apapun. Mereka bilang saya mengada-ada. Akhirnya, saya tunjukkan rekaman suara itu. Mereka tidak bilang apa-apa.[124]

Siswi tersebut mengirimkan rekaman audio 19 menit berisi pertemuannya dengan para guru itu ke Human Rights Watch. Bibinya melakukan verifikasi atas rekaman itu dan kepada Human Rights Watch mengatakan mereka rencana melaporkan sekolah ke Polisi Resor Bandar Lampung tapi mengurungkannya setelah mempertimbangkan “emosi” dari masyarakat di Bandar Lampung. Keponakannya juga akan segera lulus. Dia dan sekolah sepakat keponakannya takkan diintimidasi lagi.[125]

Kata seorang siswi sekolah menengah berusia 16 tahun di Solok, beberapa gurunya memotong kemeja para murid jika ukurannya terlalu pas dengan badan: “Pertama, murid kehilangan beberapa poin. Kemudian guru meminta [siswi] untuk melepas bajunya dan memotong bajunya. [Siswi] kemudian menjahitnya lagi, tapi lebih longgar, dan keesokan harinya guru akan memeriksanya.”[126]

Di Solok, seorang siswi SMAN 3 bercerita tentang bagaimana para guru menggunakan gunting untuk memotong pakaian para siswi:

Jika celananya pensil [untuk olahraga], mereka memotongnya sepanjang ini [menunjuk ke lutut] … dekat jahitannya. Sekarang dari kelas 10, murid perempuan harus pakai rok celana. Ini peraturan baru untuk olahraga. Di dalam mereka pakai celana panjang tapi di luarnya rok panjang, terbuka agar bisa berlari.
Mereka memotong celana panjang karena terlalu ketat, karena bentuknya seperti pensil. Tapi banyak teman saya menjahitnya lagi. Guru ingin mereka membeli celana baru, celana longgar, bukan celana ketat. Guru akan memotong celana lagi dan murid akan dapat poin. Poin akan semakin tinggi dan lebih tinggi. Setiap pemotongan mendapat lima poin.[127]

Di Muara Enim, Sumatra Selatan, seorang guru laki-laki dilaporkan menggunakan gunting untuk memotong jilbab beberapa siswi setelah upacara sekolah ketika dia memutuskan bahwa jilbab mereka tak memenuhi aturan sekolah. Setelah memotong jilbab para murid, dia menyuruh para siswi itu pulang untuk mengganti hijab mereka.[128]

Setelah Wali Kota Padang Fauzi Bahar memperkenalkan peraturan wajib jilbab pada 2005, para siswi yang tidak memakai jilbab mengatakan disuruh menghadap ke guru Bimbingan Konseling, yang mengurusi “murid bermasalah”. Setiap hari Senin setelah upacara, para guru menunggu murid-murid mereka itu di depan ruang kelas, terkadang dengan gunting, dan memotong bagian samping baju siswi yang terlalu ketat. Mereka juga akan memotong rambut poni para siswi jika helaian rambut terlihat dari pinggiran jilbab. Kata seorang mantan siswi sekolah menengah:

Tiap pagi, seorang guru berdiri di luar gerbang sekolah, memeriksa para murid yang tiba. Para murid harus mencium tangan guru, menunjukkan kesopanan, rasa hormat atau apapun.
Jika guru yang bertugas melihat siswi tidak memakai jilbab yang pantas atau bajunya terlalu terbuka, maka guru itu akan meminta siswi tersebut untuk memperbaiki jilbab atau bajunya. Ada seorang ibu guru yang sangat berlebihan. Dia terkadang membawa gunting untuk memotong rambut yang menonjol dari jilbab –tidak banyak tapi itu memalukan. Mencium tangannya memungkinkan dirinya melihat jilbab dari dekat. Ini tidak nyaman.[129]

Siswi Non-Muslim Dipaksa Memakai Jilbab

Di banyak daerah mayoritas Muslim di Jawa dan Sumatra, dua pulau terpadat di Indonesia, para siswi Kristen dan non-Muslim lainnya, terkadang dipaksa memakai jilbab.

Pada Juli 2008, majalah Tempo melaporkan Wali Kota Padang Fauzi Bahar menetapkan bahwa jilbab adalah kewajiban di Padang. Fauzi mengatakan “non-Muslim harus menyesuaikan diri”. Semua siswi di Padang, termasuk pemeluk Kristen dan Buddha, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah, diharuskan mengenakan jilbab. Fauzi mengakui instruksi itu kontroversial. Dia bilang ini sempat dibahas dalam rapat kabinet Yudhoyono di Jakarta, tapi kabinet tak mengambil tindakan apa pun. Fauzi berpendapat, keputusan itu harus tetap berlaku karena “tidak menimbulkan keresahan.”[130]

Pada 16 Juli 2017, harian Kompas memberitakan bahwa Yenima Swandina Alfa, siswi baru di SMP Negeri 3 Genteng di Banyuwangi, Jawa Timur, membatalkan pendaftarannya setelah diminta menandatangani dokumen yang menyatakan bersedia mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolahnya meski dia beragama Katolik. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas minta maaf kepada Yenima dan orang tuanya serta minta pihak sekolah mencabut aturan tersebut. Azwar mengakui itu adalah diskriminasi.[131]

Pada Juli 2018, Human Rights Watch mempelajari bahwa Yenima pindah ke sekolah negeri lain yang menjamin takkan ada perundungan jilbab. Banyak sekolah negeri di Banyuwangi memiliki persyaratan serupa dengan sekolah Yenima sebelumnya.[132]

Di Banyuwangi pula, Human Rights Watch mengetahui seorang siswi lain, juga beragama Katolik berusia 16 tahun, memutuskan berhenti dari sekolah negeri setelah dia berulang kali diintimidasi karena tak berjilbab. Pada 2017, ia mulai masuk SMAN 1 Wongsorejo. Sekolah itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari rumahnya. Karena beragama Katolik, dia menolak untuk memakai jilbab. Kepala sekolah setuju dan dia menjadi satu-satunya murid dari sekitar 100 siswi di angkatannya yang tidak berjilbab. Namun guru biologi, seorang laki-laki, memintanya untuk memakai jilbab saat perayaan Hari Kemerdekaan pada bulan Agustus 2017. Dia keberatan dan melaporkan permintaan tersebut kepada guru lain, yang setuju dengannya, namun enggan menyelesaikan masalah itu dengan guru biologi. Dia mengatakan:

Guru biologi itu tidak berhenti. Ketika mengajar, dia selalu mengakhiri pelajaran dengan bicara soal Islam. Dia mengulang-ulang bahwa non-Muslim adalah kafir dan akan masuk neraka. Saya tidak tenang. Guru biologi ini juga selalu kritik Presiden Jokowi dan minta murid, yang punya hak pilih, tidak memilih Jokowi [pemilihan 2019].[133]

Bapak anak ini, seorang buruh tani, mendatangi sekolah tiga kali, namun guru biologi menolak bertemu. Si anak trauma dengan guru biologi. Dia tak mau sekolah selama dua minggu. Empat guru laki-laki, secara terpisah mengunjunginya dan membujuk agar kembali bersekolah. Guru biologi akhirnya menemui si bapak. Guru biologi mengakui apa yang dia bicarakan dalam kelas dan mengatakan dirinya tak tahu bahwa anak tersebut beragama Katolik. “Tentu saja, dia tahu saya bukan Muslim. Saya adalah satu-satunya yang tidak berjilbab,” kata anak ini kepada Human Rights Watch, seraya menambahkan bahwa dia akhinya sadar bahwa sekolah SMAN 1 Wongsorejo takkan pernah mengaku salah dan minta maaf. Keluarga ini memutuskan si anak keluar dari SMAN 1 Wongsorejo, pindah ke sekolah swasta, sekitar 16 kilometer dari rumah. Dia mengatakan kesulitan menyesuaikan diri dengan sekolah baru. Transportasi makan waktu lebih lama dan mahal, karena Banyuwangi tak memiliki sistem angkutan umum yang berkesinambungan. Bapaknya buruh tani dengan penghasilan terbatas untuk menanggung biaya tambahan. Belakangan, ada sekelompok warga Katolik, yang mengetahui kesulitan si anak, menyewa sebuah kamar kos dekat sekolah. Dia lebih dekat dengan sekolah namun tak bisa lagi tinggal bersama orang tuanya.[134]

Seorang perempuan Katolik usia 24 tahun dari Solok, Sumatra Barat, menceritakan masalahnya soal jilbab. Ia berawal ketika dia duduk di bangku kelas 6 SDN 3 Solok pada tahun 2005 —tahun berlakunya peraturan wajib jilbab dari Bupati Gamawan Fauzi di Solok:

Saya mulai memakai jilbab di kelas 6 ketika saya berumur 11 tahun. Kelas kami hanya punya tiga murid Kristen: dua laki-laki dan satu perempuan. Saya satu-satunya murid perempuan itu. Total ada 33 murid …. Sekolah juga memiliki pelajaran agama Islam wajib setiap hari. Murid yang Kristen tidak diharuskan ikut tapi diminta untuk duduk di dalam kelas.
Sering saya dengar penghinaan ketika guru agama Islam bicara tentang agama Kristen. Dia mengatakan bahwa Yesus tidak naik ke surga. Teman-teman saya mengejek saya karena sebagai seorang Katolik, yang punya tiga Tuhan, bukan satu.
Orang tua saya berkonsultasi dengan pastor yang mendampingi paroki kami. Dia mengatakan [memakai jilbab] itu bertentangan dengan iman Katolik tapi kami tidak berdaya. Kami minoritas kecil di Solok. Kita harus kompromi, anggap jilbab hanya sebagai seragam sekolah.[135]

Di Padang, seorang perempuan berusia 22 tahun, mengenang pengalamannya saat dipaksa berjilbab sejak kelas 1. Dia beragama Katolik dan merupakan siswi di sekolah negeri di Solok. Dia dipaksa para guru dan kepala sekolah untuk memakai jilbab sampai kelas 12 atau bakal dikeluarkan. “Kadang saya merasa tidak enak, tapi teman saya bilang saya lebih cantik pakai jilbab. Mereka juga mengajak saya untuk masuk Islam.”

Pengalaman terburuknya adalah mengenakan jilbab Pramuka yang tebal dan gelap: “Saya menangis waktu itu. Begitu sampai di rumah, saya menangis dan memberi tahu ibu saya. Saya masih sekolah dasar waktu itu. Saya duduk di kelas tiga. Mungkin berusia 9 atau 10 tahun.”[136]

Spanduk di depan pintu gerbang sekolah SMPN 2 Solok memperlihatkan foto kepala sekolah berhijab panjang sambil tersenyum dan bertuliskan “Selamat Datang di SMPN 2 Kota Solok. Kawasan Wajib Berbusana Muslim untuk Kota Solok Serambi Madinah”, Agustus 2018. © 2018 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Human Rights Watch mewawancarai sembilan muridk Kristen lain di Solok dan Padang, Sumatra Barat. Mereka semua harus memakai jilbab meski Peraturan Menteri Pendidikan tahun 2014 menjamin kebebasan beragama. Human Rights Watch melewati SMPN 2 Solok dengan spanduk besar di luar gerbang, memperlihatkan kepala sekolah berjilbab panjang sambil tersenyum dan dilengkapi tulisan, “Kawasan Wajib Berbusana Muslim”.

Seorang siswi di Solok mengatakan bahwa sekolahnya bahkan minta ibunya, yang juga agama Katolik, untuk mengenakan jilbab saat menghadiri pertemuan orang tua-guru. Dia menunjukkan gerbang sekolah:

Jika ibu saya pergi ke sekolah untuk bertemu dengan guru-guru saya, dia harus memakai jilbab. Dia enggan melakukannya. Abang saya yang menggantikan ke sekolah. Biasanya ada orang di depan sekolah yang menyaring setiap orang yang masuk ke sekolah. Tanpa jilbab tak boleh masuk.[137]

Seorang pengawas sekolah di Sijunjung, Sumatra Barat, mengatakan bahwa sepasang suami istri Kristen memutuskan batal memasukkan anak perempuan mereka ke sekolah negeri di Sijunjung ketika kepala sekolah memberi tahu bahwa sekolah tersebut mewajibkan para siswi pakai jilbab. “Mereka memutuskan untuk membatalkan pendaftaran, mengirimnya ke sekolah swasta,” kata pengawas itu.[138]

Seorang guru di Banyuwangi mengatakan sekolah swasta tempatnya bekerja menerima lebih banyak murid karena orang tua khawatir dengan meningkatnya corak Islami di sekolah-sekolah negeri. “Siswa-siswi Kristen menghindari sekolah negeri jika mereka bisa bersekolah di sekolah swasta,” katanya.[139]

Seorang perempuan Katolik berusia 27 tahun, kelahiran di Solok, mengatakan, “Dalam hati, saya menentang wajib jilbab. Tapi saya tidak berani menentang. Jumlah murid non-Muslim sangat sedikit. Waktu itu hanya ada lima saja di sekolah kami.” Ia mengatakan pada minggu pertama di SMP Negeri 1, yang terletak di pusat kota Solok, kepala sekolah datang ke setiap kelas:

Kepala sekolah memasuki kelas saya, bertanya apakah ada siswa non-Muslim, “Angkat tangan!” Saya mengangkat tangan. Dia bertanya lagi, “Apakah kamu keberatan dengan wajib berjilbab? Jika keberatan, tinggalkan sekolah ini!” Saya adalah satu-satunya orang Kristen. Saya bilang saya tidak keberatan.
Orang tua saya hanya bisa menyekolahkan saya di sekolah negeri. Dua teman saya pindah ke sekolah Katolik di Padang. Mereka keberatan memakai kerudung di sekolah negeri.
Sebagian besar teman SMP Muslim saya, di luar sekolah mereka, tidak berkerudung. Mereka memakai kerudung di sekolah karena wajib.[140]

Di Solok, Human Rights Watch bertemu perempuan Katolik berusia 22 tahun, yang mengenang pengalamannya. Dia bersekolah di sekolah negeri dan dipaksa pakai jilbab dari kelas 1 sampai kelas 12 atau dikeluarkan dari sekolah. Dia bercerita bahwa yang tersulit adalah jilbab Pramuka berwarna cokelat tua yang tebal di sekolah dan panas.[141]

Di Padang, seorang perempuan Katolik yang lulus dari sekolah negeri di Solok pada 2018, mengatakan bahwa dia telah mengenakan jilbab ke sekolah selama 14 tahun sejak TK:

Suatu hari ada saudara dari Jakarta mengunjungi saya di rumah. Dia terkejut, menangis dan mengira saya masuk Islam. Kami akhirnya tertawa tapi juga merasakan ironi. Saya dipaksa memakai jilbab. Banyak orang di Jakarta yang tidak tahu bahwa di sini [Sumatra Barat], anak perempuan non-Muslim harus berjilbab.[142]

Seorang gadis Kristen lain, berusia 18 tahun dan tinggal di Padang, bercerita soal bagaimana ia dipaksa berjilbab sejak ia duduk di bangku kelas 4 SDN 8 Bawah Bungo di Solok:

Saat itu kelas 4 ketika semua murid, Muslim dan non-Muslim, diwajibkan memakai jilbab. Hanya ada lima orang Kristen di kelas saya. Kami mengeluh kepada guru. Dia berkata, “Tolong usaha menyesuaikan.” Akhirnya kami menyesuaikan, terus memakai jilbab sampai lulus. Dalam foto di ijazah, saya pakai jilbab. Saya melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Solok pada tahun 2009. Ada aturan tertulis bahwa semua siswi harus memakai kerudung, Muslim dan non-Muslim.[143]

Di Padang, beberapa gadis Katolik mengatakan merasa tidak bisa memprotes kewajiban berjilbab karena orang tua mereka ingin mereka kuliah di universitas negeri ketimbang universitas swasta yang jauh lebih mahal; orang tua mereka meyakini akan lebih mudah untuk masuk ke universitas negeri jika mereka lulus dari sekolah menengah negeri, dan itu berarti menerima aturan wajib hijab ini.[144]

Nur Laeliyatul Masruroh, pewawancara Human Rights Watch, berbincang dengan seorang gadis Katolik, yang cerita soal berbagai perundungan yang dia terima, menangis tersedu-sedu, bicara soal trauma, yang didapatnya dari sekolah negeri di Banyuwangi karena menolak jilbab, Juli 2018. © 2018 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Pada 25 Agustus 2018, Independensi memuat berita tentang para siswi Kristen di SMA Negeri 2 di Rokan Hulu, sebuah kota perkebunan di Provinsi Riau, Sumatra, yang dipaksa berjilbab. Media tersebut menerbitkan foto dan nama-nama siswi etnis Batak Kristen yang mengenakan jilbab dan seragam putih abu-abu.[145]

Kepala sekolah mengakui bahwa semua siswi, memakai jilbab. Dia mengatakan kepada BBC, “Ini sudah berlangsung cukup lama bahkan sebelum saya memulai pekerjaan ini. Semua siswi Kristen memakai jilbab tetapi itu tidak wajib. Mereka bebas untuk tidak memakai jilbab." Dia menambahkan bahwa “aneh” bila para siswi Kristen dan orang tua mereka "baru mengeluh sekarang.”[146]

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy segera meminta jajaran inspektorat di kementeriannya agar memeriksa laporan itu. Dalam pertemuan dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Muhajir mengatakan: “Saya telah meninjau semua dokumen, tak ada satu pun kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mewajibkan murid mengenakan jilbab, bahkan murid Muslim. Makanya Jumat lalu saya langsung perintahkan Inspektorat ke Riau…. Murid-murid tersebut tidak dipaksa tetapi mereka merasa akan dipandang berbeda dari siswa lain [jika tidak menutupi kepala] sehingga mereka sendiri yang memakai jilbab. Masalah selesai!"[147]

Di Ciamis, Jawa Barat, seorang murid menjelaskan tantangan ganda saat buat perempuan dan penganut Sunda Wiwitan, sebuah agama kecil, yang dianut banyak orang Sunda di Jawa Barat. Pada 2012, remaja ini masuk ke SMPN 1 Cisaga. Dia mengatakan:

Saya disuruh oleh guru PKN [Pendidikan Kewarganegaraan], waktu mau ke semester 2 kelas 1, tidak ada nilai agama. Saya disuruh pakai kerudung. Guru tidak bilang alasan. “Kalau nggak bisa pakai kerudung dari rumah, pakai di sekolah saja.” Saya bilang ke orang tua. Mereka lapor ke ibu Dewi Kanti dan datang ke sekolah.

Dewi Kanti, salah satu tokoh Sunda Wiwitan, datang ke sekolah dan menjelaskan bahwa hukum Indonesia tak mewajibkan anak ini pakai jilbab. Keesokan harinya, anak ini menerima ancaman dari sang guru: “Dia bilang ke saya, ‘Kalau [nama anak] bisa lapor ke ibu Dewi Kanti, ibu juga bisa laporin ke MUI! [Majelis Ulama Indonesia].’”

Pada 2015, remaja ini pindah ke SMKN2 Banjar, tetangga kabupaten Ciamis, dan menghadapi pemaksaan serupa:

Saya dipanggil ke ruang kepala sekolah. Ada kepala sekolah, sama isterinya, wakasek, wali kelas saya, sama guru agama. Ditanya oleh kepala sekolah, baru tahu, ada Sunda Wiwitan, nggak pakai kerudung. “Ibadahnya gimana?” tanya kepala sekolah.
Saya bilang olah rasa.
“Itu berdoa sama siapa?”
“Saya jawab kepada Gusti. Kalau di Islam sama Allah, kalau Sunda Wiwitan, sama Gusti.”
“Wah itu tidak bisa disamain. Nanti kamu cari nilai sendiri. Bu anak ini tidak usah dikasih nilai (kepada guru agama). Nggak usah dinaikin saat kenaikan kelas.”

Dewi Kanti datang ke sekolah di Banjar bersama kakek anak tersebut. Dewi Kanti seorang yang halus, menjelaskan soal konstitusi dan hukum. Hasilnya, si anak bisa dapat pelajaran agama dengan ikut pendidikan agama Islam. Kelas dua dia bisa ambil kelas Sunda Wiwitan di Kuningan, tempat Dewi Kanti bekerja. Tapi selalu ada guru yang bilang, “Kamu pakai kerudung!” Dia beruntung lulus tahun 2018. Diskriminasi terhadap umat Sunda Wiwitan berlangsung sejak generasi kakek dan nenek dia. Orang Sunda Wiwitan bisa sekolah sudah untung.[148]

Di Padang, pada 21 Januari 2021, Elianu Hia, seorang ayah, merekam pertemuan dengan Zakri Zaini, wakil kepala sekolah SMKN2 Padang, tempat putrinya bersekolah. Saat itu si Zakri minta Elianu untuk memastikan agar putrinya, Jeni Hia, mengenakan jilbab. Elianu bertanya kepada guru itu, “Kalau saya pakai jilbab, saya seakan-akan membohongi diri kita. Ya kan? Di mana hak anak saya? Dimana hak asasi saya? Satu pertanyaan saya, apakah ini hanya imbauan atau kewajiban?”

Zakri Zaini, menjawab, “Bagi SMK 2, ini adalah kewajiban. Karena sudah tertuang dalam peraturan.”

Zaini meminta Elianu menandatangani surat pernyataan yang membenarkan penolakannya, dan mengatakan akan melaporkan penolakan tersebut ke Dinas Pendidikan di Padang. Elianu meminta Zaini memberinya tembusan dan mengizinkan dirinya mengambil foto peraturan tersebut.

Pada hari yang sama sekitar pukul 11 ​​siang, Elianu Hia mengunggah video dan foto itu di laman Facebook miliknya.[149] Dia menulis, "Teman-teman, saya berjuang, bukan buat diri anak saya sendiri melainkan anak anak kita ke depan."

Jeni Hia adalah siswi kelas 10 yang pertama kali mengikuti kelas tatap muka, zaman pandemi Covid19, di SMKN 2 pada 4 Januari 2021. Sejak awal ia menolak memakai jilbab. Para gurunya tanya mengapa dia tidak memakai jilbab. Jeni menjelaskan dirinya seorang Kristen dan memakai jilbab bukan bagian dari keyakinannya.[150]

Elianu Hia meminta seorang pengacara, Amizuduhu Mendrofa, untuk mewakili putrinya. Mendrofa segera mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, di mana ia meminta agar mereka melindungi hak Jeni Hia atas pendidikan, berekspresi, dan hak-hak lainnya. Ia berharap Komnas HAM bisa mengunjungi sekolah tersebut di Padang.[151]

Video Hia itu kemudian diberitakan oleh sejumlah media dan televisi nasional, memunculkan sebuah tagar yang viral (#smkn2padang) dan memicu protes dari warganet terhadap SMKN2 Padang dan dinas pendidikan di Sumatra Barat.[152]

Pada 23 Januari 2021, Kepala Dinas Pendidikan Sumatra Barat Adib Alfikri menggelar jumpa pers. Dia menyatakan tengah menyelidiki kasus di SMKN 2 Padang itu dan minta pihak sekolah berhenti memaksa murid beragama Kristen untuk mengenakan jilbab. Dia mengatakan bahwa banyak siswi Kristen memakai jilbab “secara sukarela” --tidak seperti Jeni Hia.[153]

Pada 24 Januari, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membuat pernyataan melalui sebuah video, mengecam pelanggaran di SMKN 2 Padang dan mengatakan bahwa “peraturan wajib jilbab” di sekolah, atau sekolah negeri mana pun di Indonesia, bertentangan dengan konstitusi, pasal 55 dari UU Nomor 39tahun 1999tentang HAM, pasal 4 ayat 1 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan pasal 3 ayat 4 Peraturan Menteri Pendidikan 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah, yang menyatakan bahwa pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing. Makariem mengatakan, “Saya meminta agar pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku, segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat. Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan, agar permasalahan ini menjadi pembelajaran kita bersama ke depannya.”[154] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun membuka contact center 177 khusus pengaduan 24 jamKementerian, live chat, serta alamat surat elektronik untuk menerima keluhan terkait pelanggaran jilbab.[155]

Pada hari Senin, 25 Januari, lima siswi Kristen masuk kelas tanpa memakai jilbab, dengan mengutip video menteri yang disiarkan secara luas itu untuk mempertahankan keputusan tersebut. Para siswi Kristen yang tersisa tetap memakai jilbab, dan beberapa dari mereka beralasan kepala sekolah belum mengubah peraturannya dan mereka takut kalau tidak memakai jilbab.[156]

Para pejabat daerah di Sumatra Barat mengatakan bahwa meskipun mereka akan menerima bahwa siswi Kristen seharusnya tidak dipaksa memakai jilbab, para siswi Muslim tetap harus dikenai kewajiban ini. Mantan Wali Kota Padang Fauzi Bahar, yang juga pensiunan perwira TNI Angkatan Laut dan kini terlibat di Partai Nasional Demokrat, yang memperkenalkan aturan jilbab pada 2005, membuat pernyataan yang mencerminkan sikap paranoid. Dia mengatakan:

Bagaimana nasib anak keponakan kami yang masa mendatang akan bertelanjang lagi? Di antaranya adalah pemerkosaan di atas bus kota, di atas mikrolet. Suatu kemunduran luar biasa.[157]

Bahar menambahkan bahwa peraturan ini telah membantu mengurangi kasus demam berdarah di Padang:

Setelah kita menggunakan jilbab itu, angka anak-anak kena DBD menurun drastis karena tidak ada tempat bagi nyamuk menggigit. Ketika dia tidak berjilbab, dia kakinya digigit nyamuk, pahanya, lengannya, lehernya. Ketika semuanya tertutup, nggak ada tempat nyamuk gigit.[158]

Bahar sama sekali belum pernah buang suara soal laki-laki untuk berpakaian tertutup agar tidak digigit nyamuk. Dia bersikeras bahwa siswi Muslim wajib pakai jilbab, dengan mengatakan itu membantu siswi agar tidak bersaing satu sama lain dengan “kalung emas atau anting emas ... serta rambut yang diwarnai”.[159]

Fasli Jalal, mantan wakil menteri pendidikan, kepada Human Rights Watch mengatakan telah mendengar banyak cerita soal perundungan jilbab, seperti para siswi Kristen yang dipaksa mengenakan hijab di provinsi asalnya, Sumatra Barat, sebagai akibat dari peraturan 2014 tersebut:

Bagaimana dengan siswi Muslim yang tidak setuju memakai jilbab? Bisakah mereka menolak untuk memakainya? Non-Muslim jelas tidak seharusnya diminta pakai jilbab. Belum ada peninjauan atas peraturan [Menteri Pendidikan tahun 2014] itu. Orang tua murid Muslim mungkin ingin aturan ini ada tetapi terutama anak-anak –apa pun agama mereka– seharusnya ditanyai, termasuk mereka yang merasa tidak nyaman dengan jilbab. Bullying apapun tidak boleh ditoleransi di sekolah mana pun, apa lagi bullying terus-menerus untuk pakai jilbab.[160]

IV. Kewajiban Berjilbab Bagi Guru dan Pegawai Pemerintah

Pada 2016 (angka resmi termutakhir), pegawai negeri sipil di Indonesia ada sekitar 4,37 juta orang. Sekitar 70 persen dari angka itu adalah guru sekolah negeri dan 49 persennya adalah perempuan atau sekitar 1,49 juta orang. Sebagian besar pegawai negeri bekerja di kantor-kantor pemerintah daerah namun mayoritas pegawai negeri adalah tenaga pendidikan.[161]

Banyak dari pegawai negeri perempuan ini menghadapi tekanan atau aturan wajib jilbab dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan ketika kebijakan formal tidak ada, himbauan atau aturan tidak resmi masih memberikan tekanan pada perempuan untuk menyesuaikan diri, menciptakan lingkungan kerja yang tak bersahabat bagi mereka yang tidak ingin berjilbab.

Banyak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, termasuk Aceh, Jawa Tengah, Sumatra Barat, dan Kalimantan Selatan, telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pegawai negeri perempuan untuk berjilbab di tempat kerja. Aturan soal jilbab ini ditegakkan dengan berbagai sanksi mulai dari peringatan sederhana hingga penundaan kenaikan pangkat dan pemberhentian. Para pejabat dan pimpinan secara rutin memeriksa apakah pegawai negeri perempuan mengenakan jilbab atau tidak. Perempuan dewasa bahkan tak bisa ikut wawancara kerja di banyak tempat kecuali mereka memakai jilbab.

Sebagian besar pekerja perempuan Muslim mematuhi aturan tersebut, tapi banyak yang mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka memandang ini sebagai pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Beberapa perempuan berhenti dari pekerjaan mereka sebagai pegawai negeri, dan mencari lingkungan kerja yang lebih bebas di perusahaan atau universitas swasta.

Salah satu peraturan wajib jilbab paling awal ada di Tasikmalaya, Jawa Barat. Peraturan tahun 2001 tentang busana Islami, yang masih berlaku sampai sekarang, mewajibkan pegawai negeri perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab selain seragam kerja. Di kantor-kantor pemerintahan di kota Tasikmalaya, pegawai negeri perempuan masih diperbolehkan memakai celana panjang dan jilbab, namun di pedesaan mereka diwajibkan memakai rok panjang.[162] Seorang pejabat Dinas Kesehatan di Tasikmalaya mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa sekitar 10 hingga 20 persen tenaga kerja perempuan di dinasnya, termasuk dokter dan perawat, tak mengenakan hijab sebelum adanya peraturan itu. Tapi dalam waktu setahun setiap pegawai perempuan di sana sudah berjilbab.[163]

Dokter perempuan itu mengatakan bahwa para perempuan berada di bawah tekanan berat dari lembaga dan teman sebaya untuk menaati aturan tersebut. Dia mengatakan saat apel pagi, kepala dinas kesehatan akan mengomentari mereka yang tak mengenakan hijab, dan terkadang minta mereka yang tak berjilbab berdiri di barisan belakang.[164] Beberapa pengawas dan pegawai perempuan senior lain akan meminta mereka untuk menjelaskan kenapa mereka tidak memakai jilbab dan bertanya kapan mereka akan mulai mengenakannya. Dia mengatakan bahwa mereka menggunakan kata-kata Arab untuk menyatakan bahwa perempuan yang tidak berhijab belum mengalami “hijrah” (migrasi) atau menerima “hidayah” (petunjuk Tuhan). Dia memberi tahu Human Rights Watch: “Mungkin orang merasa malu. Orang-orang akan memandang mereka. Terkadang ada ejekan. Mereka menjadi malu dan tidak nyaman. Jika ada satu yang berbeda, yang lain akan memperhatikan.”

Setelah tiga tahun perlawanan, katanya, dia sendiri menyerah dan mulai mengenakan jilbab. Dia merasa tak punya pilihan saat itu:

Sangat penting bagi saya [untuk memiliki kebebasan]. Apapun yang datang dari hati berarti bebas dari tekanan siapa pun. Beda cerita jika kita dipaksa atau ditekan. Ini kan tidak nyaman. Tetapi jika itu keputusan kita sendiri, rasanya lebih nyaman untuk diri sendiri.[165]

Kabupaten Cianjur di Jawa Barat mengeluarkan peraturan wajib jilbab pada tahun 2006 untuk kantor-kantor pemerintah dan sekolah negeri.[166] Kepada Human Rights Watch tiga pegawai negeri perempuan mengatakan bahwa pada 2016, satu dekade setelah peraturan tersebut dibuat, pemerintah kabupaten mulai menekan pegawai negeri perempuan untuk mengenakan hijab panjang dan rok panjang. Mereka bahkan mewajibkan pegawai pemerintahan yang beragama Islam untuk mengikuti salat Isya setiap hari di Masjid Agung Cianjur.[167]

Seorang perempuan berusia 55 tahun, yang berjilbab sebelum terbitnya Peraturan Bupati tahun 2006, mengatakan bahwa aturan tersebut berlaku baik bagi Muslim maupun non-Muslim. Katanya, kewajiban ini terus berkembang, dengan tekanan sosial yang terus bertambah bagi para perempuan untuk memakai jilbab dan gaun yang lebih panjang, dengan bahan kain yang lebih tebal:

Sekarang jilbab syar'i ini terus ditekankan dalam pengajian dan rapat. Ini bisa berbahaya. Seorang teman saya jatuh dari sepeda motor, jilbabnya nyangkut di roda.
Saya tidak setuju dengan campur tangan pemerintah dalam hal jilbab ini. Saya khawatir ini keterusan dengan [jilbab] lebih panjang dan makin susah bergerak. [Saya takut] mereka akan nambah aturan lain seperti jam malam. Itu Ketua DPRD bilang, “Tempat terbaik bagi perempuan adalah tinggal di rumah. Perempuan tidak perlu karier."

Perempuan itu mengungkapkan ketakutannya tentang masa depan kebebasan perempuan: “Saya khawatir ini jadi seperti Aceh, [perempuan] duduk ngangkang di sepeda motor dilarang.”[168]

Seorang pegawai negeri di Cianjur, yang berjilbab panjang, berkeluh kesah karena kini menghadapi tekanan untuk mengenakan gamis –gaun panjang untuk menutupi tidak hanya pinggulnya melainkan juga kakinya– dipadukan dengan jilbab besar yang menutupi dadanya – membatasi dirinya saat mengendarai sepeda motor. Peraturan Bupati Cianjur tahun 2006 prakteknya membuat hijab menjadi lebih panjang dan lebih membatasi pergerakan:

Di kantor desa, saya pernah diminta memakai jilbab syar'i. [Tekanan] ini datang dari istri kepala desa. Beliau ingin seluruh pegawai mengenakan jilbab syar'i dengan rok panjang dan lebar. Ini nggak praktis, terutama untuk orang seperti saya, sering keliling dengan sepeda motor. Gamis kan merepotkan. Saya tetap percaya bahwa keputusan memakai jilbab seharusnya datang dari dalam diri, bukan dari peraturan. Kalau tidak, jilbab hanya menjadi atribut atau seragam dan kehilangan arti sebenarnya, yaitu membuat hati lembut dan menjadi pribadi baik.[169]

Di Jakarta, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri, mengatakan bahwa pada 2019 ia ditekan untuk memakai jilbab meski tidak ada regulasi terkait itu di kampus. Dia menunjuk ke sebuah papan reklame besar yang mengingatkan semua pengunjung perempuan di kampus itu untuk mengenakan “pakaian Islami”. Dia mengatakan itu membuatnya tidak nyaman, dan menambahkan bahwa dalam peraturannya universitas hanya mewajibkan “pakaian layak”:

Saya mulai bekerja di [nama kampus] pada tahun 2000. Saya beruntung cepat diangkat. Sebenarnya, tidak ada aturan resmi buat dosen dan mahasiswi untuk pakai jilbab di kampus. Tapi tekanannya sangat kuat. Saya baca Kode Etik kampus termasuk soal pakaian. Hanya menyebut tata busana yang sopan. Saya selalu berpakaian sopan. Saya menutupi rambut saya dengan benar saat mengemudi ke dan memasuki kampus, tetapi melepas jilbab saat mengajar, menghadiri seminar atau melakukan pekerjaan akademis lainnya di dalam kampus. Saya dapat komentar mengapa saya tidak menutupi rambut saya sebagaimana seharusnya sebagai seorang Muslimat? Saya menjadi sangat trauma akibat kejadian-kejadian itu dan merasa kecil hati.
Kebanyakan orang di kampus ini menghakimi saya, secara langsung maupun tidak, hanya karena saya memutuskan untuk tidak memakai jilbab seperti yang mereka mau. Saya merasa tidak ada ruang untuk saya di institusi ini.

Ibu dosen akhirnya mengundurkan diri pada tahun 2020 dan pindah ke sebuah universitas swasta. Dia mengatakan:

I looked over and reviewed my documents submitted to [the campus] in regards to my resignation. The process took more than a year, I kept changing the letter and realized that I never put any jilbab issues or value for that matter in the formal document. I softened it and flattened it out. Jadinya, “I am resigning as I need to widen my interest without limitations from the affiliation of certain institution. Jadinya sangat anti-climactic.
Kalo secara percakapan, saya bilang, mungkin saya tidak menganggap saya Muslim seperti yang diinginkan institusi ini. Mereka bilang, “Well, kalo ngajar pakai lah bu.” Saya pikir universitas seharusnya jadi tempat di mana semua orang merasa diterima. Aturan berpakaian dan sanksinya sudah usang dan sepatutnya diubah.[170]

Seorang pegawai administrasi, jurusan ilmu sosial dan politik, sebuah universitas negeri di Jakarta, menceritakan pengalamannya kepada Human Rights Watch:

Saya masuk kampus ini sebagai mahasiswa tahun 2012. Tak ada aturan tertulis tapi ada beberapa fakultas ada spanduk cara berpakaian yang baik. Ada gambar perempuan pakai hijab, baju tidak ketat. Takut nilai jelek, kita ngikuti saja. Saya ditegur empat kali dalam empat tahun.
Lulus awal 2017 lantas kerja di fakultas. Status saya honorer, belum pegawai tetap. Biasanya diangkat 3-4 tahun sesudah bekerja. Saya ingin S2, studi lanjut. Pingin jadi dosen atau pengamat politik. Beasiswa kan gampang kalau kerja di kampus.
Setelah bekerja, baju harus panjang, menutupi paha. Lebih upgrade lagi, lebih tertutup. Pas kerja sering ditegur. Saya pakai kerudung tapi baju dianggap kurang panjang.
“Ini bajunya kurang panjang,” atasan saya menegur. Dia atasan saya di tata usaha, kepala bagian. Dia sering menegur. Nggak kehitung, saking seringnya, dia menegur. Minimal seminggu sekali, kadang lebih. Kadang dilihat dari atas sampai bawah. Mungkin jadi omongan di belakang.
Saya memaklumi saja. Sudah masuk ke lingkungan yang mengharuskan seperti itu. Mau atau tidak mau, harus ikut. Baju harus beli lagi. Stress karena kepikiran, ditegur saja. Namanya juga ditegur atasan.
Saya melepas jilbab setiap kali saya keluar dari kampus. Saya tidak punya masalah dengan wajib jilbab tapi saya tidak suka dengan paksaan dan tekanan untuk memakainya.[171]

Seorang pegawai negeri di kantor pemerintah di Tangerang, menjelaskan tekanan sosial yang dihadapinya namun tidak ada sanksi:

Tidak ada aturan wajib jilbab di Tangerang. Itu mungkin di Aceh. Dulu wajib apel, pukul 7.30 di pusat pemerintahan, Senin dan Jumat [sebelum pandemi]. Saya amati ada PNS tanpa jilbab, tidak ada teguran. Ada yang rambutnya dimerah-merahin, tak ada masalah. Ada teman-teman kantor yang nyindir [kami] tidak pakai jilbab. “Tuh rambut kelihatan. Orang Islam tak pakai jilbab!”
Saya mulai pakai jilbab tahun 2020 karena takut neraka. Saya pakai jilbab seperti ini, kelihatan rambut sedikit, kerudung buat mereka. Buat mereka ini belum jilbab. Ini masih masuk neraka. Islam yang benar kan tidak terlihat rambut. Suka disindir terus, tapi bodoh amat! Ya udah, jangan dilihat. Saya nyaman dengan kondisi saya seperti ini. Saya tak mau ditekan. Kalau tak suka sama saya, ya tidak apa-apa. Tidak ada sanksi lain, semua baik-baik saja.[172]

Seorang mantan guru TK di Jakarta menjelaskan tuntutan yang dihadapinya.

Saya dulu kuliah di Universitas Negeri Jakarta, mengambil jurusan pendidikan dasar, dan berharap jadi guru taman kanak-kanak. Awal saya berjilbab, sempat mengalami kesulitan, karena masyarakat punya pikiran "perempuan berjilbab itu baik." Perilaku dan jilbab disangkut pautkan. Lama-kelamaan, saya tidak peduli.
Pas kerja di TK, saya berjilbab. Jilbab saya selalu diikat ke belakang, tidak menutupi dada. Beberapa kali ditegur untuk jilbab menutupi dada. Sebenernya di TK tersebut gak ada peraturan itu. Hanya saja semuanya pakai jilbab (ibu-ibu). Saya gak ada sanksi, hanya ditegur saja.
Saya berhenti dan memilih untuk tidak bekerja di bidang pendidikan. Saya mendapat pekerjaan di perusahaan swasta. Di sana tidak ada kewajiban memakai jilbab.[173]

Seorang dosen, bergelar Ph.D. serta saleh secara pribadi, menjelaskan kompromi yang harus dia lakukan untuk bekerja sebagai dosen di sebuah universitas negeri di Jakarta.

Saat melamar pada tahun 2019, saya beli jilbab dulu di [pasar] Tanah Abang supaya bisa masuk kampus, dan mendaftar tes pegawai negeri. Jadi pakai jilbab buat melamar kerja. Kok bisa lolos.
Sekarang masalahnya mulai. Saya Muslim taat, sholat lima waktu. Islam ini agama damai, tidak boleh memaksa. Paling penting adalah menjilbabi hati. Pakai jilbab tapi korupsi, affair, pelakor, malu saya sebagai orang Islam.
Di kampus, ada bermacam tekanan agar dosen dan mahasiswi memakai jilbab. Saya sebenarnya tidak bisa memakai jilbab. Rambut saya panjang, dan dicat, kadang merah, kadang pirang. Ketika saya memakai jilbab, rambut saya harus diikat. Bisa dibayangkan dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore, setiap hari kerja kepala saya jadi pusing, kulit kepala saya lembab. Panas dan lembab. Ini adalah pemaksaan. Tapi saya memakainya saat bekerja di dalam kampus.
Suatu ketika saya berpikir mengundurkan diri tapi dekan menolak surat pengunduran diri saya, mengatakan bahwa saya bodoh kalau meninggalkan pekerjaan ini. Saya membatalkan dan dekan yang baru meminta saya untuk berkompromi, katanya saya boleh melepas jilbab di luar, tapi tidak di dalam kampus.
Saya jogging dan berenang, saya cuek, tanpa pakai jilbab, kecuali dalam acara kampus. Kalau semua wajib jilbab, kenapa nggak diubah saja jadi negara Islam? Ini mengkotak-kotakkan sendiri antara yang Islam dan non-Islam. Ini seakan-akan diarahkan ke situ. Saya tidak suka. Ngapain pakai jilbab tapi kelakuan gimana.
Ibu saya lulus dari kampus ini pada tahun 1976. Dari foto-foto lamanya, saya lihat tidak banyak mahasiswi yang berjilbab. Mungkin, hanya satu dari sekelompok mahasiswi yang memakai kerudung –bukan jilbab. Mahasiswi lainnya tidak memakai jilbab. Itu normal, kata ibu saya. Jilbab tidak bisa dipaksakan. Paksaan dan diskriminasi dalam berjilbab justru menurunkan citra dan wibawa Islam itu sendiri sebagai agama yg cinta damai. Saya sebagai orang Islam, malu ini pemaksaan pakai jilbab. [174]

Seorang guru piano, perempuan berusia 28 tahun, di sebuah sekolah negeri di Bantul, Yogyakarta, menggambarkan perawatan serta sakit fisik dan psikologis yang dialaminya, akibat aturan jilbab. Pada 2019 dia mulai mengajar di sebuah sekolah negeri. Dia menghadiri upacara resmi penyambutan guru baru di kantor Gubernur Yogyakarta. Dia menggambarkan pengalamannya saat upacara tersebut dan setelahnya:

Saya membaca aturan berpakaian dengan cermat. Dikatakan bahwa kita harus mengenakan pakaian Jawa: lurik (kemeja), jarit (rok batik), selop (sepatu kulit) dan rambut disanggul jika perempuan tidak mengenakan jilbab. Saya menyanggul rambut saya. Kami berangkat dari kantor ke sekolah setelah upacara selesai. Saya ditugaskan untuk mengajar siswa kelas 11. Setelah presentasi saya selesai, saya berada di halaman sekolah, berencana untuk pulang, ketika seorang guru perempuan tiba-tiba berteriak, “Di mana jilbabmu? Beraninya kamu! Orang baru!”
Saya kaget. Saya takut. Keesokan paginya, saya memutuskan untuk memakai jilbab dan mulai mengajar. Tapi saya melepasnya di luar sekolah. Di media sosial saya, WhatsApp, Facebook, dan Instagram saya juga memasang foto tanpa jilbab. Tapi itu menyedihkan. Saya merasa seperti tidak menjadi diri sendiri. Saya seorang Muslimat tetapi tidak percaya bahwa seorang Muslimat harus memakai jilbab.[175]

Ibu dari guru itu, juga seorang guru musik di sekolah tersebut, menceritakan padanya bahwa semua guru perempuan di sekolah tersebut telah dipaksa untuk berjilbab sejak tahun 2014. Pada tahun 2017, siswi perempuan juga diharuskan memakai jilbab tetapi seorang siswi melaporkan apa yang disebutnya sebagai “aturan sewenang-wenang” itu ke Dinas Pendidikan di Yogyakarta. Ini mendorong sekolah untuk mengendurkan tekanan pada para siswi untuk memakai jilbab.

Pada September 2019, guru itu memberi tahu kepala sekolah –seorang laki-laki– bahwa dia tidak nyaman memakai jilbab. Sang guru mengatakan tidak pernah berjilbab selama kuliah. Kepala sekolah beralasan bahwa mahasiswa sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan ini, tetapi tidak dengan siswa sekolah menengah. Para guru, kata kepala sekolah, seharusnya menjadi “panutan” bagi para siswi.

Dia memutuskan untuk menggunakan Whatsapp buat menyuarakan keberatan terhadap aturan jilbab. Dia memakai avatar di mana dia berpose dengan pakaian adat Jawa dan sanggul rambut, dan menulis, “Jangan tanya dimana jilbab saya, tapi tolong tanyakan dimana sanggul rambut saya.” Dia berpendapat bahwa jilbab bukan syarat untuk menjadi seorang Muslimat yang baik.

Namun tekanan membuat dia stress secara psikologis. Dia sakit kepala selama berbulan-bulan. Pada November 2019, seorang rekan perempuan mengancamnya lewat sebuah pesan pendek, “Kami tidak memaksa Anda berjilbab. Kami hanya mengingatkan Anda sebagai teman. Jika Anda melepas jilbab Anda, jangan salahkan kami.”

Salah satu temannya, orang Jawa yang telah pindah ke Bali, sebuah pulau mayoritas Hindu, melihat pesan-pesan Whatsapp dan mengirim pesan bahwa dia pindah ke Bali karena Jawa sudah menjadi “Arab” dengan aturan wajib jilbab ini. Dia membagikan tangkapan layar pesan itu kepada beberapa temannya di WhatsApp. Seorang supervisor guru melihat gambar itu dan memperingatkannya, “Ini penodaan terhadap Islam.” Supervisor minta ibu guru tetap memakai jilbab dan diskusi dengan guru agama Islam di sekolah untuk memahami kewajiban jilbab untuk anak dan perempuan beragama Islam.[176]

Ibunya memutuskan untuk meminta kepala sekolah agar turun tangan, dan memberi tahu kepala sekolah bahwa putrinya berencana untuk mengundurkan diri. Kepala sekolah minta guru muda ini untuk datang ke kantor dan mendengarkan tiga poin argumennya: Apa pun keyakinannya, guru ini harus memakai jilbab; dia harus mulai membangun hubungan dengan rekan-rekannya yang lain; dan dia tidak seharusnya mengundurkan diri dari pegawai negeri karena ini akan “mencemarkan nama baik negara ini.” Ibu guru mengatakan:

Saya menangis dan pergi ke kamar mandi. Saya tidak ingin murid-murid dan guru lain melihat saya menangis. Tapi saya tidak tahan. Saya masih menangis di ruang guru. Ibu saya bertanya, “Apa yang dikatakan kepala sekolah?” Saya terus menangis. Saya memberi tahu ibu tentang tiga poin itu.[177]

Menurut ceritanya, ia saat itu pergi menemui psikiater karena sakit kepalanya tak kunjung mereda. Psikiater itu menyimpulkan bahwa ia mengalami “serangan panik” dan meresepkan obat anti-depresan.

Ia memutuskan untuk mendatangi Dinas Pendidikan di Yogyakarta untuk melaporkan bahwa dirinya dirisak karena tidak memakai jilbab. Seorang pejabat mengatakan kepada guru itu bahwa dia seharusnya menulis surat pengunduran diri jika tidak tahan dengan tuntutan tersebut. Pada awal tahun 2020 dia mengirimkan surat pengunduran diri kepada kepala sekolah dengan tembusan kepada beberapa instansi di Yogyakarta. Kepala sekolah, secara tak terduga, memanggilnya dan meminta maaf atas perlakuan buruk di sekolah, dan mengatakan bahwa pesan media sosialnya telah dibaca oleh Keraton Yogyakarta.[178]

Suratnya tersebut juga mendorong beberapa kolega guru yang Kristen berjanji akan membelanya dari para perundung bila dia mau tetap bekerja di sekolah itu. Ibunya pun meminta agar ia tetap bertahan. Ia setuju untuk membatalkan pengunduran diri jika pihak sekolah berjanji takkan memaksanya memakai jilbab. Dinas Pendidikan dan kepala sekolah setuju. Dia juga mendapatkan kenaikan pangkat, kebetulan juga menjadi haknya.[179]

Di Kalimantan Timur, seorang guru Jawa juga menolak tekanan jilbab di sekolah negeri tempat dia mengajar tari tradisional. Ceritanya, dia memutuskan lepas jilbab pada Agustus 2019 karena udara “sangat panas dan lembab. Kulit kepala sangat gatal. Saya mengikat rambut saya untuk memakai jilbab. Saya pikir jilbab ini tidak sesuai hati nurani saya. Saya percaya saya harus hidup dengan hati nurani. Tidak ada peraturan wajib jilbab di sekolah. Saya melepasnya.”[180]

Atasan menelepon sore hari dan menanyakan apakah dia serius dengan keputusan ini, jangan sampai kelak menyesal. Rekan-rekannya, dengan sopan, menekannya untuk memakai jilbab, dengan mengatakan hal-hal seperti, “Kamu lebih cantik dengan jilbab" atau “Kamu lebih anggun kalau berjilbab.” Namun dia tak hiraukan mereka.

Pada Oktober 2019, guru itu mengajak empat siswa –dua laki-laki dan dua perempuan– untuk menari di Kantor Kabupaten dalam upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda.[181] Mereka membawakan tarian tradisional Dayak. Dia mengatakan:

Keempat murid ini paling berbakat. Kami diskusi tentang kostum apa yang akan mereka kenakan. Kami memutuskan pakaian Dayak. Saya bertanya kepada kedua murid kostum dan gaya rambutnya, tentu tanpa jilbab. Salah satu murid bilang dia sering tampil depan umum tanpa jilbab. Saya minta mereka untuk tanya persetujuan orang tua mereka. Para orang tua itu pun setuju.[182]

Kostum tari tradisional di Indonesia, sesuai dengan budaya lama, tidak dilengkapi jilbab. Maraknya wajib jilbab dalam dua dekade ini membuat beberapa instruktur tari membuat kostum dengan jilbab. Namun masih banyak tarian tradisional, seperti tari gambyong Jawa atau tari Dayak dari Kalimantan –dengan rok mini, rompi dan tanpa lengan– dianggap aneh kalau dilengkapi jilbab.

Setelah pertunjukan, para murid kembali ke sekolah dengan kostum mereka, tentu saja, tanpa jilbab. Beberapa guru menganggap ibu guru tari menyuruh mereka lepas jilbab. Pada hari-hari berikutnya, beberapa guru ini tanya pada dua murid perempuan ini di depan siswa lain, depan kelas. “Kenapa kamu melepas jilbab?” Para guru mengatakan “Islam mewajibkan jilbab.” Ucapan para guru memicu beberapa murid terpengaruh dan melakukan bullying pada dua kawan mereka tersebut.

Perundungan ini bikin si anak menangis. Guru tari itu mengatakan:

Akhirnya orang tua datang ke skolah karena tidak terima anaknya terus-terusan dibully kawan2nya. Keluarga ini suku Bugis tapi pegiat kesenian Kalimantan. Mereka punya studio seni. Mereka tidak masalah sama sekali dengan putri mereka tidak berjilbab untuk pertunjukan. Kepala sekolah memanggil saya dan guru-guru lainnya. Guru lain menyangkal kalau mereka telah merundungnya. Mereka mengatakan mereka hanya mengingatkan bahwa agama kami mengajari kami bahwa anak perempuan wajib berjilbab. Namun mereka minta maaf. Kepala sekolah mengatakan kepada orang tua murid bahwa semua murid yang beragama Islam harus berjilbab, baik saat mereka belajar atau menari atau menyanyi. Orang tua murid akhirnya mengatakan, “Tolong jangan ajak anak saya untuk terlibat dalam kegiatan menari. Itu traumatis.”[183]

Usai pertemuan, kepala sekolah meminta kepada guru tari tersebut agar hanya memilih murid yang beragama Kristen untuk menampilkan tarian tradisional. Dari 350 siswa, menurutnya, hanya ada sekitar 15 murid Kristen.

V. Kewajiban Berjilbab bagi Pengunjung Sekolah dan Kantor Pemerintahan

Para politisi yang memberlakukan aturan wajib jilbab pada pegawai negeri sering mengatakan pembatasan tersebut bisa jadi “contoh” bagaimana perempuan Muslim seharusnya berpakaian ketika mereka meninggalkan rumah. Beberapa pemerintah daerah lantas mulai memberlakukan kewajiban jilbab pada perempuan yang pergi ke kantor-kantor pemerintahan untuk meminta layanan pemerintah, dari urusan kependudukan sampai pernikahan, atau alasan lain.

Banyak pemerintah daerah tak hanya menciptakan lingkungan kerja, yang tak bersahabat bagi perempuan, namun juga menetapkan sejumlah aturan dan norma yang mewajibkan pengunjung perempuan agar juga memakai jilbab. Seringkali kantor pemerintah memasang tanda dan poster yang berbunyi bahwa jilbab diperlukan untuk memasuki halaman atau mempekerjakan petugas keamanan guna menolak masuknya perempuan dan terkadang anak perempuan yang tidak berjilbab.

Seorang perempuan yang diminta mengajar di salah satu sekolah menengah negeri di Gorontalo, Sulawesi, menceritakan pengalamannya:

Pada tahun 2018 saya ditugaskan mengunjungi sebuah sekolah untuk mengajar jurnalisme murid kelas 9. Kami datang berdua, mewakili [pers mahasiswa] di Universitas Negeri Gorontalo.
Saya memakai celana jin warna biru, kaus oblong dan jilbab. Teman saya
pakai celana jin warna biru, kaus oblong, dan kemeja kotak-kotak. Dia tidak pakai jilbab. Kami tidak melihat baliho yang bertuliskan sekolah sebagai zona wajib jilbab. Banyak sekolah di Gorontalo yang punya aturan seperti itu. Begitu berada di tempat parkir, kami mengirim pesan ke editor [pers mahasiswa] yang menugaskan kami mengajar di sekolah ini. Dia mengatakan seorang guru akan datang menjemput kami. Hari itu adalah sesi pertama dari program satu semester penuh.
Seorang guru menemui kami di tempat parkir. Dia terkejut. Katanya, “Kalian idak pakai jilbab? Tidak ada perempuan yang bisa masuk sekolah tanpa jilbab. Para perempuan tidak diizinkan untuk menunjukkan aurat [keseluruhan tubuh perempuan kecuali tangan, kaki, dan wajah].”
Teman saya khawatir. Dia bilang akan pinjam jilbab di sekitar situ. Dia mengirim pesan ke beberapa teman dekat sekolah. Kelas seharusnya segera mulai. Tapi tidak seorang pun menjawab pesannya itu. Mungkin mereka tidak melihat pesan itu. Saat itu masih pagi betul. Guru menyarankan teman saya menunggu di tempat parkir. Dia memeriksa baju kaus saya, menariknya untuk melihat apakah cukup panjang untuk menutupi pinggul saya. Dia bilang itu cukup panjang. Saya masuk ke sekolah. Guru itu bilang dia kira laki-laki, seperti biasa, yang datang untuk mengajar.
Guru itu lantas minta senior saya untuk mengirim laki-laki bukan perempuan… Aturan ini akan membuat para murid sekolah tidak bisa berpikir terbuka dan kritis hanya karena pakaian yang berbeda. Mereka menolak untuk berpikir secara berbeda dari apa yang diberikan kepada mereka di sana. Ini akan membuat para murid bisa jadi orang yang intoleran.[184]

Siti Ramadhania Azmi, seorang mahasiswi, mengatakan terkejut dengan perlakuan yang diterimanya ketika mendatangi sebuah kantor pemerintah di Sumatra Barat:

Tahun 2017, saat kelas 11, saya pindah ke Riau. Itu kali pertama saya dipaksa memakai jilbab. Sebelumnya saya belajar di sekolah Katolik Don Bosco di Padang. Di Bangkinang [Riau], kalau saya tidak memakai jilbab, saya disebut “kafir” atau “Kristen” atau “bukan Muslim”.
Teman sekelas saya seorang Kristen Protestan dipaksa memakai “anak jilbab” agar rambutnya tidak terjulur. Saya protes guru. “Tolong beri toleransi padanya. Dia sudah berjilbab.” Tapi saya dimarahi. Di luar sekolah, ketika saya tidak memakai jilbab, guru les minta saya untuk memakai jilbab. “Pria akan bersiul atau melecehkan kamu jika kamu tidak memakai jilbab.”
Saya lulus SMA dan pindah ke Padang. Saya tidak tahan dengan suasana Bangkinang. Saya depresi. Kawan kelas saya tidak ada yang terlibat dalam pemikiran kritis. Pendidikan di sana di bawah standar. Saya mendaftar di Universitas Eka Sakti di Padang. Di sini tidak ada aturan wajib jilbab kecuali di kelas agama Islam.

Siti Ramadhania menjelaskan bahwa di Padang banyak kantor pemerintah dan sekolah negeri yang memiliki aturan wajib jilbab:

Pada 2018, tante saya minta saya menemani pergi ke kantor nagari [kepala desa] di Solok Laweh, Kabupaten Solok. Ada urusan surat apa gitu. Ketika masuk kantor, seorang kakak membentak, “Hei, kamu tidak bisa masuk kantor ini begitu saja. Harus pakai jilbab.” Saya kaget. “Apa masalahnya kalau tidak pakai jilbab?” bibi saya tanya. Bibi saya berani. Dia tanya, “Apa yang kamu mau? Kenapa main bentak? Keponakan saya datang dari Padang.” Saya kaget. Saya memutuskan untuk pergi. Saya besar di Solok dan kenal kakak itu. Sangat mengejutkan.[185]

Beberapa sekolah juga mewajibkan pengunjung perempuan, termasuk orang tuanya, untuk mengenakan jilbab. Kata seorang siswi di Solok:

Sekolah saya mewajibkan semua ibu yang datang ke sekolah untuk kepentingan anaknya, seperti mengambil buku rapor atau menghadiri pertemuan guru-orang tua, untuk memakai jilbab. Tidak peduli apakah ibu itu Kristen atau Muslim. Sekolah menyatakan bahwa tempat itu adalah “kawasan busana Muslim”.
Ibu saya seorang Kristen. Dia dilarang menghadiri pertemuan sekolah di tahun pertama karena dia tidak berjilbab. Seorang penjaga keamanan di sekolah melarangnya memasuki halaman sekolah. Dia akhirnya pulang ke rumah karena tidak membawa jilbab. Ada seorang perempuan yang mau meminjamkan jilbab, tapi ibu menolak. Ini masalah prinsip. Dia menganggap itu penghinaan terhadap dirinya, juga iman Kristennya. Jilbab bukan hanya sepotong pakaian.
Dia merasa terhina. Dia meminta abang saya untuk pergi ke sekolah dan mewakili saya dalam pertemuan. Sejak itu, ibu tidak pernah mau datang ke sekolah saya. Sekolah tidak peduli. Sekolah tidak menghormati kebebasan beragama. Mereka mengabaikan perempuan seperti ibu saya – para ibu Kristen yang anak-anaknya belajar di sekolah ini – karena kami minoritas.[186]

VI. Pelecehan dan Tekanan untuk Pakai Jilbab di Tempat Umum

Di beberapa tempat di Indonesia, wacana bahwa perempuan harus berjilbab memicu munculnya kawasan wajib jilbab di tempat umum, serta terjadinya pelecehan dan tekanan sosial terhadap perempuan di ruang publik, yang memilih untuk tidak memakai jilbab.[187]

Sebuah contoh awal terjadi di Bitung, sebuah kawasan industri di Tangerang, tetangga Jakarta. Pada tahun 2005 sebuah peraturan daerah dibuat guna melarang pelacuran.[188] Peraturan daerah No.8 tahun 2005 itu tidak menyebutkan pemakaian jilbab di tempat umum. Namun, beberapa pejabat daerah mengatakan aturan itu mengharuskan pemakaian jilbab. Petugas Satpol PP dilaporkan mengatakan “perempuan baik-baik” tidak keluar pada malam hari sendirian dan perempuan baik-baik akan selalu berjilbab. Hanya “perempuan nakal”, yang menyiratkan pekerja seks, yang akan meninggalkan rumah pada malam hari tanpa jilbab.

Michelle, seorang juru bahasa, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa dia hampir ditahan pada tahun 2005 tak lama setelah perda tersebut diberlakukan:

Saat itu sekitar pukul 10 malam dan saya merasa lapar. Jadi, saya dan dua teman perempuan memutuskan untuk keluar beli makanan ringan di Indomaret. Kami mengenakan pakaian rumah, kaos dan celana. Saya memakai celana panjang dan teman-teman saya memakai celana selutut. Ketika kami berada di toko, tiga petugas berseragam memasuki toko dan meminta kartu identitas kami. Setelah melihat KTP kami, mereka bertanya, “Apa yang kalian lakukan di sini? Kenapa keluar malam-malam?” Salah satu dari mereka bilang akan membawa kami ke kantor mereka. Dia mengatakan ada jam malam untuk perempuan. Kami melanggar jam malam. Kami ketakutan.

Michelle menghindari penangkapan dengan meyakinkan para petugas agar membiarkan dirinya menelepon seseorang. Dia menelepon temannya, seorang polisi, anggota Detasemen Khusus 88:

Saya bilang kepadanya bahwa kami akan dibawa ke tahanan. Polisi itu minta saya untuk menyerahkan telepon kepada petugas di situ. Saya tidak tahu apa yang teman saya katakan kepada petugas itu, tetapi ketika dia menutup telepon, petugas mengembalikan KTP kami dan membiarkan kami pergi.[189]

Michelle juga cerita pengalaman serupa di Gorontalo, pada tahun 2011. Ia waktu itu sedang makan malam bersama dua rekan laki-laki ketika seorang petugas datang dan meminta KTP miliknya. Namun petugas itu tak meminta KTP milik dua teman laki-lakinya:

Petugas itu memberi tahu kami bahwa ada jam malam bagi perempuan dan mereka berusaha untuk memastikan bahwa tidak ada pekerja seks di sekitar situ. Rekan kerja laki-laki saya marah [atas nama saya], mengatakan kepada mereka bahwa saya bukan pekerja seks dan petugas itu pergi.[190]

Bahkan ketika tidak ada kebijakan resmi, sejumlah himbauan bisa menekan perempuan untuk menyesuaikan diri. M Suhaili Fadhil Thohir, Bupati Lombok Tengah, minta semua pegawai negeri di Lombok Tengah, tidak hanya mengenakan jilbab tapi juga niqab. Dia bicara dalam suatu upacara agar pegawai perempuan, yang beragama Islam, untuk mengenakan niqab sebagai "contoh" bagi perempuan lain, termasuk pengunjung kantor-kantor pemerintah, sebagai bagian dari proses "cadarisasi."[191]

Seorang wartawan Kompas di Banyuwangi menjelaskan pengalamannya mengunjungi sebuah pantai di sana:

Pada Maret 2017 saya pergi ke Pantai Pulau Santen, yang menghadap Pulau Bali. Itu beberapa minggu setelah pemerintah setempat mengubah namanya menjadi “Pantai Syariah”. Perubahan nama terjadi ketika Raja Salman dari Arab Saudi berlibur di Bali bersama rombongan besarnya. Pemerintah mendirikan pos pemeriksaan tidak hanya untuk menarik tiket tapi, yang saya baru tahu, memisahkan laki-laki dan perempuan.
Saya pergi ke sana dengan seorang teman perempuan dan empat teman laki-laki. Saya memakai jilbab tapi teman saya Avi tidak. Avi mengenakan celana jin dan kemeja lengan panjang. Itu setelah jam kerja. Kami sedang berjalan ketika seorang pria berseragam Korpri, membentak dan minta kami — para perempuan — untuk pindah ke bagian pantai khusus perempuan. Kami tidak melihat petugas Satpol PP seperti biasa. Pria itu mengatakan para petugas Satpol PP sudah pulang tetapi tidak berarti aturan tersebut bisa diabaikan. Dia bersikeras bahwa kami harus mengikuti pembatas yang memisahkan pantai menjadi bagian laki-laki dan perempuan.[192]

Dampak Psikologis dari Wajib Jilbab pada Beberapa Perempuan

Beberapa perempuan dan anak perempuan melaporkan kepada Human Rights Watch bahwa mereka stres karena terus-menerus dirundung, dipaksa pakai jilbab atau menentang guru atau pejabat yang menekan mereka. Stres ini mewujud dalam berbagai cara.

Seorang psikiater di Kementerian Kesehatan di Jakarta mengamati beberapa perempuan menunjukkan body dysmorphic disorder --kadang-kadang disebut dismorfofobia—kemungkinan terkait dengan perundungan jilbab yang lama, bertahun-tahun, mereka alami. Fobia ini ditandai dengan gagasan obsesif bahwa mereka merasakan salah satu bagian tubuh mereka, dalam hal ini kepala, rambut dan dada yang ditutupi kain, adalah sebuah kecacatan.[193]

Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog di Bandung, yang pernah membantu sejumlah pasien perempuan yang punya pengalaman buruk dengan wajib jilbab, mengatakan para mereka tidak nyaman dengan tekanan sosial yang mereka hadapi untuk memakai jilbab. Ada yang mencoba bunuh diri. Contoh paling mudah melihat seorang gadis kecil dalam kesusahan adalah menangis atau tak mau berangkat ke sekolah. Ifa Misbach mengatakan para perempuan muda tersebut mengingatkan pengalamannya sendiri, selama tiga dekade, berurusan dengan jilbab bullying:

Dipaksa memakai jilbab membuat saya marah. Ini hanya demi menjadi perempuan baik-baik, sekedar label, saya merasa seperti orang munafik. Saya merasa saya menipu Tuhan. Itu membuat saya hampir gila. Saya sering konsultasi dengan psikolog. Sekarang saya sendiri adalah seorang psikolog. Pelajaran dari cerita saya adalah bahwa dampak dari tekanan agama, terutama pemakaian jilbab, saat masih muda, bisa membuat Anda merasa tidak ada ruang untuk bernafas. Saya ingin lari jauh. Saya ingin lari dari keluarga fanatik saya, mengakhiri kesedihan yang berkepanjangan.[194]

Ifa remaja suka bermain basket tapi disuruh berhenti. Ibunya seorang ustazah di Bandung, sering ceramah di Jawa Barat:

Saya memakai jersey di luar rumah. Saya menyembunyikannya dari ibu saya sendiri. Sangat menyedihkan. Saya senang saat berada di lapangan basket. Tetapi para senior [siswa yang lebih tua] melaporkan kepada ibu. Itu mengakhiri kesenangan saya bermain basket.[195]

Saat pertama kali bekerja di sebuah universitas negeri di Bandung, ia memakai sepatu boot, celana jin putih dan blazer, tanpa jilbab untuk menutupi rambutnya yang diwarnai. Dia menggambarkan para dosen baru lainnya sebagai “lautan jilbab berwarna putih, hitam dan abu-abu di aula.” Segera ia mulai menghadapi tekanan sosial: “Banyak dosen [senior] menyindir saya yang tidak berjilbab. Pakaian kerja saya adalah blazer. Setiap kali saya harus mengangkat tangan dan blazer saya kadang terangkat, saya jadi bahan pergunjingan di kampus.”

Di kampusnya, 90 persen dosen perempuan memakai jilbab. Di program studi tempatnya bekerja, hanya lima perempuan yang tidak berjilbab. Katanya, andai saja dia adalah seorang Kristen, itu akan ditoleransi. Dia mengatakan kampus menyelenggarakan pengajian bulanan:

Banyak perempuan tanya saya, “Mana kedurungnya?” Kadang saya juga pakai kerudung, mereka tetap komentar, “Alhamdulillah cantik! Lebih cantik jika semuanya tertutup. ” Ini semua perempuan. Dalam budaya Sunda, kita diharapkan menghormati yang lebih tua, sulit untuk tidak memakai jilbab.[196]

Novi Poespita Chandra, dosen psikologi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, mendirikan sebuah organisasi nirlaba bernama Gerakan Sekolah Menyenangkan untuk memperkenalkan pemikiran kritis dan menghentikan bullying di sekolah-sekolah. Setelah mempelajari bagaimana wajib jilbab diterapkan di Indonesia, dia menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang aturan itu bisa berdampak psikologis pada anak dan perempuan.

Novi menjelaskan lewat cerita ketiga putrinya. Keluarga Chandra pernah tinggal selama tujuh tahun di Melbourne di mana Novi meraih gelar PhD di School of Population and Global Health di Universitas Melbourne. Ketika keluarga kembali ke Indonesia, ketiga putrinya masuk ke sekolah negeri di Yogyakarta, masing-masing duduk di kelas 8, 5 dan 2. Dia mengamati bahwa tekanan untuk memakai jilbab meningkat tajam setelah ketiga putrinya memasuki sekolah menengah pertama di kelas 7. Dia mengatakan:

Di sekolah dasar, tekanan untuk memakai jilbab saat itu tidak terlalu kuat. Itu berubah setelah anak-anak masuk SMP, dengan tekanan sosial dan sindiran, tidak hanya dari para guru tapi juga murid yang lebih senior. Tak ada siswi Muslim, selain ketiga putri saya, yang tidak berjilbab. Mereka sering bertanya pada putri saya, “Kamu bukan Muslim ya?” Ketiga putri saya terkejut. Mereka sebelumnya sekolah di Melbourne. Suami saya memiliki pendidikan pesantren yang kuat. Kami bisa mendidik anak kami tentang hak asasi manusia, tentang penghormatan dari perspektif Islam. Di Australia, mereka dididik untuk berpikir kritis.
Di sekolah, saat menghadapi para bullies, mereka bisa mengajukan pertanyaan yang tepat. Anak-anak saya tangguh. Anak tertua saya bahkan mempertanyakan sekolah ketika teman sekelasnya, yang beragama Kristen, diharuskan memakai jilbab saat lomba baris-berbaris. Pihak sekolah bilang itu demi keseragaman. Justru inilah masalahnya. Siswa kita tidak dididik untuk memahami keragaman tetapi keseragaman. Putri-putri saya bisa bersuara dan sebagai orang tua kami mendukung mereka. Tapi saya tidak begitu yakin dengan siswi lain. Mereka dipaksa untuk hidup dalam keseragaman. Mereka tidak didorong untuk menemukan persamaan sekaligus menghargai perbedaan.[197]

Novi Chandra mengatakan bahwa tanggapan kalangan murid Muslim yang bertanya-tanya soal aturan wajib jilbab bisa dibagi ke dalam tiga kategori:

Pertama, beberapa dari mereka akan mengalami masalah psikologis termasuk stres, depresi, dan sikap antisosial. Ini mungkin tidak muncul selama masa sekolah, mereka sebagian besar masih remaja, tapi muncul ketika mereka beranjak dewasa. Namun beberapa siswi sudah bisa menunjukkan gejala tersebut di sekolah.
Kedua, para murid yang adaptif, mereka akan memakai jilbab di sekolah tetapi melepasnya di luar halaman sekolah. Sangat jamak melihat murid sekolah menengah tanpa jilbab di mall. Terakhir, beberapa dari mereka itu adalah pemikir yang berani dan kritis serta yang bisa menantang tekanan.[198]

Sebagian besar siswi dan perempuan lebih memilih pendekatan adaptif, memakai jilbab untuk menghindari tekanan sosial, perundungan, intimidasi, atau hukuman, baik di sekolah atau tempat kerja. Belum jelas bagaimana dan sejauh mana aturan wajib jilbab di Indonesia selama dua dekade ini telah mempengaruhi kesehatan psikologis jutaan anak dan perempuan.

VII. Standar Hak Asasi Internasional

Indonesia, sebagai anggota masyarakat dunia, ikut dalam perjanjian-perjanjian pokok hak asasi manusia internasional, termasuk Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Konvensi Hak Anak (CRC), dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).[199]

Penegakan aturan wajib jilbab oleh pemerintah Indonesia terhadap perempuan dan anak perempuan melanggar sejumlah ketentuan dalam beberapa perjanjian, termasuk hak kebebasan beragama, berekspresi, privasi, dan otonomi pribadi.

Human Rights Watch tidak mengambil sikap soal apakah pemakaian hijab, jilbab atau niqab itu diwajibkan atau tidak. Kami menentang kebijakan pemerintah mana pun, baik yang memaksakan hijab, jilbab atau niqab, maupun yang melarang yang tidak proporsional pada pemakaian busana keislaman, seperti di Prancis, Jerman dan wilayah Xinjiang di Tiongkok --campur tangan diskriminatif terhadap hak-hak asasi. Human Rights Watch telah berulang kali mengkritik pemerintah maupun kekuasaan de facto di sejumlah negara –termasuk Islamic State di Suriah dan Taliban di Afghanistan—yang menjalankan aturan berpakaian yang diskriminatif dan sewenang-wenang.

Kebebasan Beragama dan Berekspresi

Pasal 18 ICCPR, yang diratifikasi Indonesia pada tahun 2006, menyatakan bahwa, “Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya atas pilihannya sendiri.”[200] Komite Hak Asasi Manusia, badan ahli independen bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memantau pelaksanaan ICCPR, telah menyatakan dalam komentar umum bahwa, “Kebebasan dari paksaan untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan ... tidak dapat dibatasi.”[201] Komite HAM itu juga mengatakan bahwa hak atas kebebasan beragama dapat dilanggar “ketika perempuan menjadi sasaran kewajiban berpakaian yang tidak sesuai dengan agama atau hak mereka untuk mengekspresikan diri; dan… ketika kewajiban berpakaian bertentangan dengan budaya yang diklaim perempuan.”[202]

Beberapa pakar independen PBB mengkritik sejumlah aturan yang mengharuskan pemakaian busana religius di tempat umum. Pada 2006, Asma Jahangir, pelapor khusus PBB untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, mengatakan bahwa “penggunaan cara-cara paksaan dan penerapan sanksi pada individu yang tidak mau mengenakan busana religius atau simbol tertentu yang dilihat sebagai sanksi oleh agama” menunjukkan “tindakan legislatif dan administratif yang secara khusus tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.”[203]

Pasal 14 (1) Konvensi Hak Anak menjamin kebebasan beragama pada anak dengan menetapkan bahwa negara harus “menghormati hak anak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.”[204] Berbagai hukum dan peraturan yang mewajibkan siswi mengenakan hijab atau jilbab di sekolah melanggar kewajiban otoritas negara di bawah hukum internasional untuk menghormati hak anak atas kebebasan beragama dan otonomi pribadi serta kewajiban untuk menghindari paksaan dalam hal-hal terkait kebebasan beragama.[205]

Pasal 14 (2) konvensi itu menjamin hak orang tua atau wali yang sah untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka secara umum sesuai dengan keyakinan mereka sendiri tentang pengasuhan anak.[206] Pelapor khusus tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan, Ahmed Shaheed, baru-baru ini menekankan bahwa hak ini “harus dihormati sepenuhnya”.[207]

Anak-anak usia sekolah dasar khususnya sangat rentan terhadap tindakan pemaksaan mengingat usia mereka dan bahwa pendidikan di tingkat ini adalah wajib. Risiko diskriminasi tertentu juga menimpa anak-anak dari agama dan kepercayaan minoritas.

Larangan Terhadap Diskriminasi

Pasal 3 ICCPR menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan harus menikmati akses yang sederajat ke semua hak sipil dan politik yang diatur dalam kovenan, sebuah prinsip yang ditegaskan kembali dalam CEDAW.

CEDAW mewajibkan negara agar “menahan diri untuk terlibat dalam tindakan atau praktik diskriminasi apa pun terhadap perempuan,” guna memastikan agar pemerintah dan lembaga publik juga menahan diri untuk melakukannya, dan untuk “mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan oleh siapa pun, juga organisasi atau perusahaan manapun.”[208]

Perbedaan perlakuan menurut jenis kelamin hanya dimungkinkan jika didasarkan pada kriteria yang masuk akal dan obyektif, mencapai tujuan yang sah, dan proporsional guna mewujudkan tujuan yang ingin diwujudkan. Peraturan wajib jilbab di Indonesia –yang mewajibkan perempuan dan anak perempuan memakai jilbab, melarang mereka memakai pakaian pilihan mereka, dan mengharuskan mereka untuk menutupi seluruh tubuh kecuali tangan, kaki, dan wajah– gagal dalam ujian ini.

Berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, diskriminasi baik langsung maupun tidak langsung atas hal-hal yang dilindungi, sangatlah dilarang. Sebuah aturan yang secara nominal netral di permukaan masih bisa mengakibatkan diskriminasi tidak langsung jika memiliki dampak yang tidak proporsional pada sebuah kelompok.[209] Aturan wajib jilbab merupakan bentuk diskriminasi berbasis gender yang dilarang berdasarkan sejumlah konvensi hak asasi manusia, termasuk ICCPR dan CEDAW.

Hak atas Privasi dan Otonomi Pribadi

Pasal 17 ICCPR menyatakan bahwa “tidak boleh seorang pun yang secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya” dan bahwa setiap orang “berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas”.[210] Hak ini telah ditafsirkan untuk mencakup “wilayah tertentu dari eksistensi dan otonomi individu yang tidak menyentuh bidang kebebasan dan privasi orang lain”.[211]

Hak otonomi adalah sebuah prinsip inti dari hak-hak perempuan.[212] Prinsip ini mencakup hak untuk mengambil keputusan secara bebas sesuai dengan nilai-nilai, kepercayaan, keadaan pribadi, dan kebutuhan seseorang. Terpenuhinya hak ini mensyaratkan bebas dari paksaan serta bebas dari pembatasan yang tidak sah. Sama halnya dengan hak beragama, negara hanya dapat membatasi hak ini jika pembatasan semacam itu dilakukan untuk tujuan yang sah, tidak diskriminatif, dan luas serta dampak dari pembatasan tersebut sangat proporsional untuk mencapai tujuan. Ini adalah hak pemerintah untuk membenarkan pembatasannya.[213]

Kepentingan Terbaik Anak

Pasal 3 (1) CRC mewajibkan bahwa dalam semua tindakan menyangkut anak, “kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama.” Negara punya kewajiban positif untuk melindungi semua anak dalam yurisdiksinya guna melawan penyalahgunaan, penelantaran, dan eksploitasi, serta memastikan agar anak-anak bisa mendapat standar hidup yang layak untuk perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial mereka.[214] Negara tidak boleh melakukan diskriminasi dalam penyediaan hak-hak dan perlindungan konvensi itu, dan harus mengambil langkah-langkah yang layak guna memastikan bahwa anak-anak terlindungi dari diskriminasi berdasarkan, antara lain, status, kegiatan, pendapat yang diungkapkan, atau kepercayaan orang tua, walinya yang sah, atau anggota keluarganya.[215]

Pada tahun 2010, pelapor khusus PBB untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan, Heiner Bielefeldt, dalam sebuah laporan tematik yang berfokus pada kebebasan beragama atau berkeyakinan dan pendidikan sekolah menyatakan bahwa “penghormatan terhadap perbedaan berdasarkan kebebasan beragama atau berkeyakinan harus memberikan siswa (atau orang tua atau wali mereka) kemungkinan untuk memutuskan sendiri apakah, sejauh mana dan pada kesempatan apa, mereka ingin menunjukkan, atau tidak menunjukkan, agama atau keyakinan mereka.… Merupakan kewajiban negara untuk menyediakan sebuah kerangka kerja yang sesuai serta kondusif untuk tujuan ini, dengan selalu mengingat kepentingan terbaik anak sebagai prinsip menyeluruh yang ditetapkan dalam pasal 3, paragraf 1, Konvensi Hak Anak”.[216]

Hak Atas Pendidikan

ICESCR, Konvensi Hak Anak (CRC), dan CEDAW menjamin hak atas pendidikan.[217]CRC dan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR) menjelaskan bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan, harus tersedia untuk semua atas dasar nondiskriminatif. [218]

Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa ketika meninjau kepatuhan Indonesia terhadap CRC pada tahun 2014, secara khusus menyatakan keprihatinan tentang “tekanan sosial terhadap para pelajar non-Muslim untuk mengenakan busana Islami di sekolah” dan mendesak pemerintah Indonesia untuk “memerangi setiap jenis tekanan sosial pada anak-anak untuk mematuhi aturan agama yang tidak dianutnya.”[219]

Pelapor khusus urusan kebebasan beragama atau berkeyakinan secara khusus meninjau masalah kebebasan beragama dan pendidikan sekolah, mencatat bahwa topik ini memerlukan “penanganan yang sangat hati-hati” karena “kehidupan sekolah dapat menempatkan orang dalam situasi ketergantungan sepihak atau kerentanan tertentu” dan “siswa bisa saja terpapar tekanan dari sesama siswa, guru, atau tata usaha sekolah.” [220] Mengenai pemakaian simbol dan pakaian keagamaan, pelapor khusus tersebut menyatakan: “tujuannya harus senantiasa secara setara melindungi aspek positif dan negatif dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, yaitu kebebasan secara positif untuk menunjukkan keyakinan, misalnya dengan mengenakan pakaian keagamaan, dan kebebasan untuk tidak terkena tekanan apapun, terutama dari negara atau di dalam lembaga negara, untuk melakukan kegiatan keagamaan.”[221]

Selain itu, pelapor khusus menyatakan bahwa setiap pembatasan tidak boleh menguntungkan satu kelompok agama saja, tapi juga harus memperhitungkan “hak-hak perempuan, khususnya prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan individu untuk memakai atau tidak memakai simbol agama.”[222] Pemaksaan busana Islami di lembaga pendidikan tanpa pembatasan pakaian religius lainnya mendiskriminasi para siswi dan dapat mengganggu hak mereka untuk mendapatkan pendidikan.

Hak-Hak Minoritas

Berdasarkan pasal 27 ICCPR, di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri. Deklarasi tentang Hak-Hak Orang-Orang yang Tergolong ke dalam Minoritas Nasional atau Etnis, Agama, dan Bahasa oleh Majelis Umum PBB menambahkan hal ini dengan menyatakan dalam pasal 1 yang menyatakan “harus melindungi keberadaan dan ... agama ... identitas minoritas di wilayah mereka masing-masing dan akan mendorong kondisi untuk kemajuan identitas itu.”[223]

Aturan berpakaian yang diwajibkan, jika mencakup pemakaian benda keagamaan, secara tidak proporsional memengaruhi minoritas agama, memberi stigma pada anggota kelompok minoritas tersebut, dan berdampak negatif pada disandangnya hak atas pendidikan anak, seringkali dengan dampak yang tidak proporsional pada anak perempuan. Sekolah mungkin punya sejumlah kebijakan tentang seragam sekolah tetapi itu semua seyogianya tidak memaksakan simbol-simbol agama tertentu pada mereka yang memilih untuk tidak meyakininya.<[224]

VIII. Rekomendasi

Kepada Presiden Joko Widodo

  • Secara aktif menegakkan Surat Keputusan Bersama pada 3 Februari 2021 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama, yang melarang aturan berpakaian yang kasar dan diskriminatif bagi siswa dan guru perempuan di sekolah-sekolah negeri di Indonesia.
  • Menyampaikan pernyataan kebijakan publik bahwa semua peraturan di level nasional maupun daerah yang mewajibkan jilbab dan pakaian perempuan lainnya yang bersifat diskriminatif, tidak seyogianya diterapkan, dan seyogianya dicabut.
  • Memerintahkan agar jajarannya membuat rancangan undang-undang dan mengirimkan ke DPR untuk mencabut perda di level provinsi dan kabupaten/kota yang ada, yang mendiskriminasi atas dasar gender, termasuk peraturan yang mewajibkan perempuan dan anak perempuan memakai jilbab atau pakaian lain yang ditentukan dan melarang semua regulasi baru yang diskriminatif pada masa yang akan datang.
  • Mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai upaya untuk membatalkan sejumlah perda yang diskriminatif.
  • Memerintahkan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka untuk mencabut SK Kwarnas Gerakan Pramuka No 174 Tahun 2012 tentang pakaian seragam anggota gerakan pramuka yang secara luas diartikan sebagai mewajibkan anggota pramuka dan siswi untuk mengenakan jilbab dan pakaian keagamaan lainnya di sekolah dan selama kegiatan di luar ruangan termasuk rok panjang.
  • Bekerja sama dengan organisasi-organisasi Islam, termasuk NU dan Muhammadiyah, untuk membuat kampanye pesan publik guna menentang tindakan yang mewajibkan atau menekan perempuan dan anak perempuan untuk memakai jilbab atau pakaian Islami lainnya, dan mempromosikan toleransi dan inklusivitas.
  • Mengambil langkah-langkah untuk memastikan agar semua undang-undang dan peraturan sejalan dengan kewajiban HAM internasional Indonesia, termasuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak Anak (CRC).

Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat

  • Bertindak segera untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang mencabut berbagai peraturan daerah yang mendiskriminasi si atas dasar gender, termasuk berbagai peraturan yang mewajibkan perempuan dan anak perempuan untuk memakai jilbab dan sampingannya, serta melarang regulasi baru apapun yang diskriminatif di masa mendatang.

Kepada Ketua Dewan Perwakilan Daerah

  • Minta semua anggota Dewan Perwakilan Daerah untuk meninjau lebih dari 700 peraturan daerah, yang dihasilan di daerah masing-masing, yang diduga diskriminatif, termasuk tentang aturan wajib jilbab, dan merekomendasikan pemerintah daerah masing-masing mencabut semua peraturan yang diskriminatif.

Kepada Menteri Dalam Negeri

  • Berkoordinasi dengan kementerian lainnya, termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama, untuk untuk menegakkan Surat Keputusan Bersama tahun 2021 yang melarang tata berpakaian yang sewenang-wenang dan diskriminatif bagi para siswi dan guru perempuan di sekolah-sekolah negeri serta meninjau berbagai perda dengan pasal-pasal yang diduga diskriminatif.
  • Memerintahkan pejabat pemerintah, termasuk para gubernur, wali kota, bupati, dan pejabat daerah lainnya, untuk mencabut berbagai peraturan yang diskriminatif serta berhenti menekan perempuan dan anak perempuan untuk memakai jilbab atau pakaian keagamaan lainnya. Mengambil tindakan disipliner terhadap kepala pemerintah daerah dan pegawai pemerintah yang melanggar perintah ini.
  • Meninjau ulang sejumlah peraturan di Aceh yang mendiskriminasi perempuan dan anak perempuan terkait pakaian mereka dan menggunakan perjanjian tahun 2005 antara pemerintah Indonesia dan Acheh/Sumatra National Liberation Front, yang ditandatangani di Helsinki pada tahun 2005, guna memastikan agar para pihak berwenang di Aceh mematuhi perjanjian tersebut di mana ASNLF sepakat untuk mengikuti hukum nasional Indonesia serta perjanjian internasional tentang hak asasi manusia.

Kepada Menteri Luar Negeri

  • Mengundang Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights dan beberapa pelapor khusus tentang hak perempuan, hak anak, hak akan pendidikan, kebebasan beragama, dan kebebasan berekspresi untuk mengunjungi Indonesia serta meninjau undang-undang dan peraturan yang mewajibkan perempuan dan anak perempuan untuk memakai busana Islami.
  • Presentasikan sebuah policy paper kepada Kabinet yang menjelaskan kewajiban Indonesia menurut hukum internasional, termasuk Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan, guna melindungi hak-hak perempuan dan anak perempuan dari undang-undang dan peraturan yang diskriminatif dan mengambil langkah-langkah guna mencabut undang-undang dan peraturan tersebut, serta meratifikasi Konvensi tersebut.

Kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

  • Berkoordinasi dengan kementerian lain, termasuk Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama, untuk melaksanakan SKB 3 Menteri tahun 2021 yang melarang aturan berpakaian yang sewenang-wenang dan diskriminatif bagi para siswi dan guru perempuan di sekolah negeri serta memastikan agar hampir 300.000 kepala sekolah negeri mencabut aturan-aturan yang mendiskriminasi para siswi dan guru perempuan. Memperjelas bahwa jilbab bukan merupakan bagian wajib dari seragam sekolah.
  • Meningkatkan dan mempublikasikan dengan lebih baik mekanisme di kementerian di mana anak perempuan atau orang tua mereka dapat mengajukan keluhan melalui email, pesan pendek, telepon, atau ruang obrolan ketika mereka diharuskan mengenakan jilbab atau komponen seragam sekolah lainnya yang melanggar hak-hak mereka. Konselor seyogianya dipekerjakan untuk menanggapi keluhan.
  • Berkoordinasi dengan Gerakan Pramuka untuk meninjau kembali SK Kwartir Nasional Gerakan Pramuka No.174 tahun 2012 yang mewajibkan para gadis Muslim untuk berjilbab dalam kegiatan luar ruangan dan juga di sekolah. Pastikan anggota agar Pramuka perempuan tidak diwajibkan dan tidak berada di bawah tekanan untuk mengenakan jilbab.
  • Mempromosikan hak-hak perempuan dan anak perempuan dalam kurikulum nasional serta memastikan agar semua kurikulum nasional dan daerah tidak mempromosikan intoleransi agama dan ujaran kebencian.

Kepada Menteri Agama

  • Berkoordinasi dengan kementerian lainnya, termasuk Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk melaksanakan SKB 3 Menteri tahun 2021 yang melarang aturan berpakaian yang sewenang-wenang dan diskriminatif bagi siswi dan guru perempuan di sekolah negeri dan menyarankan hampir 300.000 kepala sekolah negeri untuk mencabut aturan-aturan yang mendiskriminasi para siswi dan guru perempuan.
  • Meninjau aturan berpakaian di sekolah negeri Islam dan universitas di bawah Kementerian Agama, yang mewajibkan jilbab dan mempelajari dampak dari aturan ini pada siswi Muslim yang belajar di sana.

Kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

  • Mengeluarkan pernyataan publik bahwa peraturan wajib jilbab ini sewenang-wenang dan bahwa perempuan dan anak perempuan seyogynya punya kemerdekaan memilih apa yang akan mereka kenakan.
  • Meningkatkan program Sekolah Ramah Anak yang bertujuan memenuhi hak-hak anak dan memastikan agar mereka rancangan pendidikan yang bersih, aman, rapi, inklusif, sehat, dan nyaman, bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Memastikan agar program tersebut bisa melindungi anak-anak sekolah dan guru perempuannya dari peraturan maupun intimidasi wajib jilbab.
  • Memperkuat peran konsultatif Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak guna melindungi dan memberikan layanan bagi perempuan dan anak-anak yang mengalami diskriminasi dan intimidasi terkait pilihan mereka untuk memakai jilbab, serta dalam perumusan peraturan daerah agar tidak misoginis, termasuk pengembangan sumber daya manusianya dan mendorong lebih banyak kepemimpinan perempuan.
  • Memastikan agar Panduan Kementerian untuk Perlindungan Anak-anak Minoritas Agama dari Kekerasan dan Diskriminasi disebarluaskan secara nasional dan ditegakkan.
  • Meninjau berbagai peraturan daerah dan keputusan diskriminatif di level daerah seputar pemakaian jilbab termasuk SK Kwarnas Gerakan Pramuka No.174 tahun 2012 yang mewajibkan gadis Muslim untuk mengenakan jilbab dalam kegiatan Pramuka.

Kepada Komnas Perempuan

  • Ajukan pengujian materi terhadap peraturan daerah yang diskriminatif, utamanya aturan wajib jilbab, pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, agar ada upaya hukum menghapus diskriminasi di berbagai daerah di Indonesia.

Kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pemerintahan Negara Sahabat

  • UN High Commissioner for Human Rights dan segenap negara sahabat seyogianya menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan pemaksaan dan mencabut semua aturan nasional maupun daerah yang memaksa jilbab dan busana Islami.
  • Komisioner Tinggi dan segenap negara sahabat seyogianya mendesak pemerintah Indonesia untuk memastikan agar semua hukum dan peraturan Indonesia sejalan dengan kewajiban hak asasi internasional Indonesia, termasuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak-Hak Anak (CRC).
  • United Nations Children's Fund (UNICEF) seyogianya mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kwartir Nasional Gerakan Pramuka untuk memenuhi kewajiban mereka dalam melindungi semua anak dari aturan dan kebijakan yang diskriminatif, memastikan kesetaraan untuk menikmati pendidikan bagi anak, dan bekerja dengan lembaga-lembaga pemerintah terkait untuk memperbarui kebijakannya terkait pakaian seragam di sekolah negeri, serta memastikan supaya semua kebijakan sekolah terkait berfokus pada pencegahan diskriminasi dan perundungan berdasarkan gender atau agama di sekolah dan ruang pendidikan.
  • United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) harus mendesak pemerintah Indonesia untuk melaksanakan Konvensi Menentang Diskriminasi dalam Pendidikan tahun 1960, yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1967, dan memastikan kebijakan non-diskriminasi dalam sistem pendidikan.
  • United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) juga harus memastikan bahwa Indonesia segera menyerahkan laporan negara anggota kepada Dewan Eksekutif mengenai tindakan yang diambil untuk memastikan non-diskriminasi di sekolahnya, sejalan dengan rekomendasi Konferensi Umum UNESCO terhadap diskriminasi dalam pendidikan.
  • UN Women seyogianya menyerukan agar pemerintah Indonesia menghentikan penegakan aturan berpakaian wajib pada perempuan dan anak perempuan, dan bekerja sama dengan pihak berwenang Indonesia untuk mencabut aturan yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan termasuk undang-undang dan peraturan nasional serta perda yang mewajibkan aturan berpakaian wajib tersebut.
  • Kelompok Kerja PBB urusan diskriminasi terhadap perempuan dalam hukum dan praktiknya seyogianya meminta undangan untuk melakukan kunjungan ke Indonesia dan, selain berbagai isu lainnya, seyogianya membahas pembatasan pakaian perempuan, termasuk jilbab ini.
  • Pelapor Khusus PBB urusan Pendidikan seyogianya memberikan arahan kepada pemerintah Indonesia guna memastikan agar segenap kebijakan yang diambil sepenuhnya mematuhi kewajiban internasional Indonesia terkait hak atas pendidikan, termasuk nondiskriminasi.
  • Uni Eropa, yang membantu menengahi perjanjian perdamaian Helsinki tahun 2005, seyogianya mengingatkan Jakarta dan Aceh bahwa perjanjian Helsinki secara hukum mengikat provinsi Aceh untuk menegakkan hukum dan peraturan nasional Indonesia serta perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia, termasuk Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Aceh seharusnya mencabut perda tahun 2004 tentang wajib jilbab.

Kepada Lembaga Donor dan Lembaga Keuangan Internasional

  • Sejalan dengan komitmennya untuk memastikan agar proyek-proyek yang didanai Bank Dunia mempromosikan kesetaraan gender, melindungi masyarakat yang terpinggirkan dan tidak melanggengkan diskriminasi, Bank Dunia seyogianya menjamin dukungan pendidikannya untuk pemerintah Indonesia — termasuk melalui Peningkatan Dimensi Pengajaran, Manajemen Pendidikan dan Lingkungan Pembelajaran atau Improving Dimensions of Teaching, Education Management and Learning Environment (ID-TEMAN) Trust Fund yang bekerja sama dengan pemerintah Australia— agar tidak secara langsung maupun tidak langsung melanggengkan diskriminasi terhadap pelajar berdasarkan jenis kelamin atau agama.

Ucapan Terima Kasih

Laporan ini ditulis Andreas Harsono, peneliti senior Human Rights Watch, dan Tempe McMinn, seorang konsultan. Diedit oleh Brad Adams, direktur Asia, James Ross, direktur hukum dan kebijakan, dan wakil direktur program Joseph Saunders. Mereka memberikan tinjauan hukum dan programatik. Ulasan spesialis diberikan oleh Zama Neff selaku direktur eksekutif Divisi Hak Anak, dan Nisha Varia selaku direktur advokasi di Divisi Hak Perempuan.

Tinjauan geografis diberikan oleh Adam Coogle (Arab Saudi), Bénédicte Jeannerod (Prancis), Emma Sinclair-Webb (Turki), Maya Wang (Xinjiang di Tiongkok), Rothna Begum (Wilayah Suriah di bawah kekuasaan Negara Islam), Tanya Lokshina (Chechnya di Rusia), Tara Sepehri Far (Iran), dan Wenzel Michalski (Jerman).

Peserta magang Gita Agnestasia Simanjuntak, Arende Elise Pol, dan Michelle Winowatan mendukung penelitian. Winowatan, Nur Laeliyatul Masruroh, Syahar Banu dan Meidella Syahni mewawancarai perempuan dan anak perempuan yang ditampilkan dalam laporan ini. Laeliyatul dan Banu bantu dalam penerjemahan wawancara.

Janna Kyllastinen, produser multimedia senior, bikin video yang menyertai laporan ini, bersama Ifé Fatunase, direktur multimedia. Tata letak dan produksi disediakan Racqueal Legerwood, koordinator Asia; Travis Carr, koordinator penerbitan digital; Grace Choi, direktur penerbitan digital; dan Fitzroy Hepkins, manager administrasi.

Kami berterima kasih kepada reviewer eksternal atas masukan berharga buat laporan ini: Khariroh Ali, mantan komisioner Komnas Perempuan di Jakarta; Michael Buehler, dosen senior dalam Perbandingan Politik di Sekolah Studi Oriental dan Afrika Universitas London; dan Simon Butt, profesor hukum Indonesia di Universitas Sydney.

Terima kasih secara khusus kepada semua individu dan organisasi yang telah membantu penelitian kami, dan yang dengan murah hati membagikan waktu, energi, dan pengalaman mereka dengan Human Rights Watch. Human Rights Watch secara khusus menyampaikan penghargaan kepada semua korban wajib jilbab dan intoleransi agama di Indonesia yang berbagi dengan kami kisah mereka.

[1] Berbagai aturan ini juga kerap ditujukan kepada minoritas agama, perempuan dan anak perempuan, serta individu lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). Lihat Andreas Harsono, “Indonesian Women’s Rights Under Siege,” (“Hak Perempuan Indonesia Dikepung”), Al Jazeera, 25 November 2014, https://www.hrw.org/news/2014/11/25/indonesian-womens-rights-under-siege (diakses pada 17 September 2020); Elaine Pearson, “Five urgent issues for Indonesia’s president,” The Interpreter, 10 Februari 2020, https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/five-urgent-issues-indonesia-s-president (diakses pada 17 September 2020).

 

 

[2] Wawancara Human Rights Watch dengan “Analisa” (nama samaran) yang putrinya sempat bersekolah di SMPN 8 Yogyakarta, 12 Juni 2019.

[3] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang akademisi Muslim perempuan [nama dirahasiakan], 10 September 2020.

[4] Pada Januari 2013, otoritas di Aceh mengenalkan aturan yang melarang penumpang sepeda motor perempuan untuk duduk mengangkang saat dibonceng. “Indonesian province moves to ban women from straddling motorbikes,” Associated Press, 7 Januari 2013, https://www.theguardian.com/world/2013/jan/07/indonesia-aceh-ban-women-motorbikes (diakses pada 30 Januari 2020).

[5] Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana, “Semua Korban Meninggal Susur Sungai Sempor Pakai Rok Panjang”, Suara, 22 Februari, 2020, https://jogja.suara.com/read/2020/02/22/195728/semua-korban-meninggal-susur-sungai-sempor-pakai-rok-panjang (diakses pada 29 Mei 2020).

[6] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang perempuan [nama dirahasiakan], Cipanas, Cianjur, 26 Juli, 2018.

[7] Wawancara Human Rights Watch dengan Dahlia Madanih dari Komnas Perempuan, Jakarta, 18 Januari, 2018.

[8] Pancasila, “Lima Dasar”, adalah sebuah kompromi politik yang dibuat pada 18 Agustus 1945 oleh para pendiri bangsa sebelum mengumumkan konstitusi pada hari yang sama. Kelima sila itu adalah Ketuhanan yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Demokrasi; dan Keadilan Sosial. Lihat Andreas Harsono, Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia (Melbourne: Monash University Publishing, 2019) hal. 108-116.

[9] Edward Aspinall. Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia (California: Stanford University Press, 2009).

[10] Tempo, “Komnas Perempuan Finds 421 Discriminatory Policies,”, 19 Agustus 2016, https://en.tempo.co/read/news/2016/08/19/055797156/Komnas-Perempuan-Finds-421-Discriminatory-Policies (diakses pada 21April 2020). Komnas Perempuan tidak lagi melakukan pendataan sejak tanggal itu.

[11]Lihat Analisa Dr. Michael Buehler: Perda Syariah Akan Makin Banyak, HAM Tak Diprioritaskan dan Nasib LGBT Tidak Terlalu Baik, Deutsche Welle, 22 April 2019, https://www.dw.com/id/analisa-dr-michael-buehler-perda-syariah-akan-makin-banyak-ham-tak-diprioritaskan-dan-nasib-lgbt-tidak-terlalu-baik/a-48412031 (diakses pada 29 Mei 2020); Michael Buehler, The Politics of Shari’a Law: Islamic Activists and the State in Democratizing Indonesia (Cambridge University Press, Maret 2018).

[12] “Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”, no. 45/2014, http://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_45_14.pdf (diakses pada 7 Agustus 2019).

[13] Pada 2017, Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Adhyaksa Dault, yang juga mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, mengusulkan agar UU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka diubah, dan mengatakan bahwa Gerakan Pramuka sebaiknya ditempatkan di bawah pengawasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Lihat: Kompas, “Mendikbud Tak Sepakat jika Pramuka Diwacanakan di Bawah Kemendikbud,” 21 Agustus 2017: https://nasional.kompas.com/read/2017/08/21/19382641/mendikbud-tak-sepakat-jika-pramuka-diwacanakan-di-bawah-kemendikbud (diakses pada 21 April 2020).

[14] Di Pulau Sumbawa misalnya, Wakil Bupati Mahmud Abudllah yang juga Ketua Majelis Pemimpin Cabang (Kamabicab) Gerakan Pramuka Kabupaten Sumbawa. Pada 5 November 2019, ia menyampaikan pidato dalam pertemuan Pramuka yang memuji dinas pendidikan dan agama setempat karena mengeluarkan SKB yang mewajibkan semua siswa dan guru untuk mengenakan seragam Pramuka setiap hari Sabtu. Lihat: Berita Pulau Sumbawa, "Guru dan Siswa Wajib Pakai Seragam Pramuka, 5 November 2019, https://pulausumbawanews.net/2019/11/05/guru-dan-siswa-wajib-pakai-seragam-pramuka/ (diakses pada tanggal 21 April 2020)

[15] Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, “Petunjuk Penyelenggaraan Pakaian Seragam Anggota Gerakan Pramuka”, ditandatangani oleh Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Azrul Azwar pada 21 Desember 2012: http://buk.um.ac.id/wp-content/uploads/2016/07/document.pdf (diakses pada 21 April 2020).

[16] Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengeluarkan Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan Sebagai Ekstrakulikuler Wajib, ditandatangani pada 2 Juli 2014: Lihat: http://pramukamembangunkarakter.blogspot.com/2016/07/httpsdrive.html (diakses pada 21 April 2020).

[17] Wawancara Human Rights Watch dengan Mohammad Nuh, Jakarta, 13 November 2019.

[18] Indonesia punya hampir 300.000 sekolah negeri, mulai TK hingga sekolah menengah. Lihat “2016, Jumlah Sekolah Hampir Mencapai 300 ribu unit,” Katadata, 15 November 2016, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/15/2016-jumlah-sekolah-hampir-mencapai-300-ribu-unit (diakses pada 7 Agustus 2019).

[19] Dari 34 Provinsi di Indonesia hanya lima provinsi yang mayoritas penduduknya bukan Muslim. Empat di antaranya mayoritas penduduknya beragama Kristen: Papua Barat (penduduk 755.000); Papua (2,8 juta); Sulawesi Utara (2,3 juta); dan Nusa Tenggara Timur (4,8 juta). Bali berpenduduk mayoritas pemeluk Hindu (84 persen dari 3,9 juta). Lima provinsi lain punya mayoritas Muslim kecil termasuk Pulau Maluku dan empat provinsi di Pulau Kalimantan. Pada 2010, 24 provinsi ini menampung sekitar 214 juta dari 238 juta penduduk negara, atau sekitar 90 persen dari total populasi Indonesia. Tidak jelas berapa provinsi yang juga mewajibkan jilbab di tingkat TK, yang tidak disebutkan dalam Permendikbud tahun 2014 ini. Pada Agustus 2018, beberapa media di Indonesia menerbitkan laporan tentang parade TK di Probolinggo, Jawa Timur, di mana anak-anak mengenakan seragam niqab hitam menyerupai ISIS dan membawa senjata mainan AK-47. Lihat BBC Indonesia, “Pawai murid TK bercadar dan bawa replika senjata, 'isyarat ancaman radikalisme mulai mengakar'”, 21 Agustus 2018. Human Rights Watch mewawancarai ibu dari seorang murid TK, yang diminta mengenakan jilbab, di Banyuwangi (30 Juli 2018) dan seorang perempuan berusia 19 tahun di Padang yang harus mengenakan jilbab sejak ia masuk TK (13 Agustus 2019).

[20] Camely Arta, “Komnas Perempuan: Government Must End Discriminative Policies, Identity Politics,” Magdalene, 13 Juli 2017, https://magdalene.co/news-1291-komnas-perempuan-government-must-end-discriminative-policies-identity-politics.html (diakses pada 29 Mei 2020). Komnas Perempuan juga mengidentifikasi berbagai peraturan diskriminatif terhadap kelompok minoritas Muslim seperti Ahmadiyah dan Syiah.

[21] Margareth Aritonang, “Human rights must conform to local values,” The Jakarta Post, 25 September 2012, https://www.thejakartapost.com/news/2012/09/25/human-rights-must-conform-local-values.html (diakses pada 17 September 2020).

[22] Michael Buehler, The Politics of Shari’a Law: Islamic Activists and the State in Democratizing Indonesia (Cambridge University Press, Maret 2018).

[23] Ayomi Amindoni, “Government annuls 3,143 bylaws,” The Jakarta Post, 13 Juni 2016, https://www.thejakartapost.com/news/2016/06/13/government-annuls-3143-bylaws.html (diakses pada 17 September 2020).

[24] Lihat Lampiran 1 soal Aturan Wajib Jilbab di Indonesia.

[25] Alvara Research Center, Indonesia Muslim Report 2019: The Challenges of Indonesia Moderate Moslems” (Jakarta: Desember 2019). Studi ini menemukan bahwa kurang dari dua persen perempuan Muslim di Jakarta memakai cadar tapi jumlah ini meningkat seiring munculnya komunitas niqab di seluruh Indonesia. Tidak ada angka yang tersedia soal berapa jumlah perempuan Muslim yang memakai jilbab sebelum era pasca-Suharto. Seorang peneliti memperkirakan kerudung hanya digunakan di madrasah atau sekitar 10-15 persen dari jumlah pelajar. Wawancara Human Rights Watch dengan Hasanuddin Ali dari Alvara Research Center di Jakarta, 7 November 2019.

[26] Di Indonesia tidak ada angka statistik resmi perihal berapa banyak perempuan yang memakai jilbab. Sebagian besar perkiraan menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penduduk perempuan Muslim memakai hijab. Samantha Hawley, “Why do Indonesian women wear the hijab when they don't have to?”ABC Australia, 17 September 2017, https://www.abc.net.au/news/2017-09-17/indonesian-women-and-why-they-wear-the-hijab/8856288 (diakses pada 25 Mei 2020).

[27] Dewi Candraningrum, Negotiating Women's Veiling: Politics & Sexuality in Contemporary Indonesia, Research Institute on Contemporary Southeast Asia, Bangkok, Juni 2013. Dewi seorang dosen di Surakarta. Dia dirundung karena tulisan dan sikapnya: “Kolega saya ‘mengancam’ saya atau menulis sesuatu untuk memecat saya. Karena saya perempuan, saya harus menghidupi anak saya, saya harus mencarikan dia makan. Dia [jilbab] menjadi penting untuk jadi alat saya mencarikan anak saya makan.” Wawancara Human Rights Watch dengan Dewi Candraningrum, Boyolali, 12 Juni 2019.

[28] Amanda Siddharta, “Why niqab is being worn by more Muslim women in Indonesia, and a secular nation’s sometimes hostile response to full-face veil,” South China Morning Post, 19 Februari 2018, http://www.scmp.com/lifestyle/fashion-luxury/article/2133570/why-niqab-being-worn-more-muslim-women-indonesia-and (diakses pada 30 Mei 2020).

[29] “Wanita Indonesia Bercadar” di Facebook mempromosikan pemakaian cadar sebagai sebuah “kewajiban Islam”, https://www.facebook.com/wibjakarta/ (diakses pada 9 Mei 2020).

[30] Wawancara Human Rights Watch dengan Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali, Jakarta, 18 Januari 2018.

[31] Hanya demonstrasi berskala nasional yang mencegah RUU itu dikirim ke Jokowi untuk ditandatangani pada 2019 tapi RUU ini masih ada di DPR dan masih masuk dalam daftar prolegnas prioritas. Indonesia: RKUHP Petaka Buat Hak Asasi Manusia, Rilis Berita Human Rights Watch, 18 September 2019, https://www.hrw.org/id/news/2019/09/18/333988.

[32] Harian Aceh, “Islamophobia di Balik Helaian Kerudung”, 28 Januari 2021, https://www.harianaceh.co.id/2021/01/28/seruan-islamophobia-di-balik-helaian-kerudung/ (diakses pada 1 Febuari 2021).

[33] Dewi Candraningrum, Negotiating Women's Veiling: Politics & Sexuality in Contemporary Indonesia, Bangkok: Research Institute on Contemporary Southeast Asia, 2013. Ia seorang penulis-cum-pelukis tinggal di Boyolali, Jawa Tengah. Wawancara Human Rights Watch dengan Dewi Candraningrum, Boyolali, 12 Juni 2019.

[34] Margareth Aritonang, “Tjahjo to protect minorities”, The Jakarta Post, 6 November 2014, http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/06/tjahjo-protect-minorities.html (diakses pada 21 April 2020).

[35] The Jakarta Post, “Women call for end to discrimination in bylaws”, 19 Agustus 2015, http://www.thejakartapost.com/news/2015/08/19/women-call-end-discrimination-bylaws.html (diakses pada 21 April 2020).

[36] Jakarta Post, “Government annuls 3,143 bylaws”, 13 Juni 2016, http://www.thejakartapost.com/news/2016/06/13/government-annuls-3143-bylaws.html (diakses pada 21 April 2020).

[37] “Tempting niqab ban,” The Jakarta Post, 8 November 2019, https://www.thejakartapost.com/academia/2019/11/08/tempting-niqab-ban.html (diakses pada 23 Mei 2020).

[38] SKB tersebut ditandatangani oleh 18 menteri dan kepala badan negara. Para pejabat itu antara lain Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo; Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly; dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate. Pejabat lainnya termasuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan; Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius; Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana; Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono; dan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto. Lihat: Detik, “SKB Penanganan Radikalisme ASN Dikritik, Simak Lagi Isinya,” 27 November 2019: https://news.detik.com/berita/d-4799859/skb-penanganan-radikalisme-asn-dikritik-simak-lagi-isinya (diakses pada 23 Mei 2020).

[39] Tito Dirhantoro, “Pesan Tito Karnavian ke gubernur: Bikin perda harus berasas Pancasila”, Alinea, 26 November 2019, https://www.alinea.id/nasional/tito-karnavian-imbau-bikin-perda-harus-berasaskan-pancasila-b1Xqe9pvQ (diakses pada 17 September 2020).

[40] Adi Briantika, “Rombak Peraturan Diskriminatif Wajib Jilbab di Sekolah Sumbar”, Tirto, 26 Januari 2021, https://tirto.id/rombak-peraturan-diskriminatif-wajib-jilbab-di-sekolah-sumbar-f9CC (diakses pada 27 Januari 2021).

[41] Yola Sastra, “Siswa Non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang Mulai Lepaskan Jilbab”, Kompas, 26 Januari 2021, https://bebas.kompas.id/baca/nusantara/2021/01/26/siswa-nonmuslim-di-smk-2-padang-mulai-lepaskan-jilbab/ (diakses pada 28 Januari 2021).

[42] Haryanti Puspa Sari, “MUI Minta SKB 3 Menteri tentang Seragam Sekolah Direvisi, Ini Alasannya,” Kompas, February 13, 2021, https://nasional.kompas.com/read/2021/02/13/11003951/mui-minta-skb-3-menteri-tentang-seragam-sekolah-direvisi-ini-alasannya?page=all (accessed on March 9, 2021).

[43] Nahi Munkar, “Astaghfirullah, Ini Perda Bernafaskan Islam yang Dihapus Presiden Jokowi”, 18 Juni 2016, https://www.nahimunkar.org/astaghfirullah-perda-bernafaskan-islam-dihapus-presiden-jokowi/ (diakses pada 21 April 2020). Artikel tersebut mencantumkan beberapa perda bernuansa Islam di Tanah Datar (Sumatera Barat), Cianjur (Jawa Barat), dan Dompu (Nusa Tenggara Barat).

[44] Kompas, “Mendagri Tegaskan Tak Ada Perda Bernuansa Islam yang Dibatalkan”, 16 Juni 2016, https://nasional.kompas.com/read/2016/06/16/14264701/mendagri.tegaskan.tak.ada.perda.bernuansa.islam.yang.dibatalkan. (diakses pada 21 April 2020).

[45] Apkasi, “Apkasi Yakin MK Akan Kabulkan Revisi UU Pemda”, 16 April 2016, https://apkasi.org/apkasi-news/apkasi-yakin-mk-akan-kabulkan-revisi-uu-pemda/ (diakses pada 25 Mei 2020).

[46] Carlos Ky Paath, “Constitutional Court Takes Away Home Affairs Ministry's Power to Revoke Local Regulations,” Jakarta Globe, 6 April 2017, https://jakartaglobe.id/news/constitutional-court-takes-away-home-affairs-ministrys-power-revoke-local-regulations/ (diakses pada 2 Februari 2021). Lihat juga: Putusan Mahkaman Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015, “Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, 15 Juni 2017, https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/137_PUU-XIII_2015.pdf (diakses pada 2 Februari 2021).

[47] Wawancara Human Rights Watch dengan Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh Ali, Jakarta, 18 Januari 2018.Lihat juga: Maruarar Siahaan, “Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-Undangan Negara Kita: Masalah dan Tantangan”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 No. 4 2010, https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/view/236/232 (diakses pada 2 Februari 2021). Siahaan adalah pensiunan hakim Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi adalah jurnal hukum yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi.

[48] Tim Lindsey, “Filling the Hole in Indonesia’s Constitutional System: Constitutional Courts and the Review of Regulations in a Split Jurisdiction,” Jurnal Konstitusi, Volume 4 No.1 2018, https://consrev.mkri.id/index.php/const-rev/article/view/412/362 (diakses pada 25 Januari 2021).

[49] Wawancara Human Rights Watch dengan Devi Asmarani, Denpasar, 19 Maret 2019.

[50] Susan Blackburn, seorang akademisi Australia di Monash University, Melbourne, mengumpulkan semua pidato, menulis pengantar yang rinci dan mempublikasikannya dalam sebuah buku setebal 270 halaman di tahun 2007. Lihat Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, Yayasan Obor Indonesia dan KITLV, Jakarta 2007.

[51] Gadis Arivia dan Nur Iman Subono, A Hundred Years of Feminism in Indonesia: An Analysis of Actors, Debates and Strategies, Friedrich Ebert Stiftung, September 2017, http://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/13830.pdf (diakses pada 22 Januari 2021).

[52] Susan Blackburn, “How Do Women Influence Political Islam in Indonesia?”, Qantara, 15 September 2009, https://en.qantara.de/content/susan-blackburn-how-do-women-influence-political-islam-in-indonesia (diakses pada 23 Juli 2020).

[53] Ide penerapan Syariat, terutama hukum pidana Islam, bukan hal baru di Indonesia. Lihat, sebagai contoh, Theodore G. Th. Pigeaud dan H.J. de Graaf, Islamic States in Java 1500-1700 (Negara Islam di Jawa 1500-1700) (Den Haag: Martinus Nijhoff) (mencatat bahwa negara-negara Islam di Jawa, terutama pada abad 16, telah menerapkan “Syariat Islam”).

[54] Pada Januari 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan hukum Penodaan Agama untuk menenangkan kelompok Islamis. Lihat Human Rights Watch, Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia), New York, 13 Februari 2013, https://www.hrw.org/id/report/2013/02/28/256410

[55] Mu'arif, “Menengok Jilbab Muhammadiyah Zaman Dulu”, Alif, 25 Mei 2018: https://alif.id/read/muarif/menengok-jilbab-muhammadiyah-zaman-dulu-b209433p/ (diakses pada 21 Mei 2019).

[56] Wawancara Human Rights Watch dengan Alissa Wahid, Yogyakarta, 13 Juni 2019.

[57] Oei Tjoe Tat, seorang menteri kabinet Sukarno yang memimpin komisi pencari fakta pada 1966 memperkirakan 780.000 dibunuh di tahun 1965-1966. Tapi Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang memimpin operasi penumpasan PKI, sebelum kematiannya mengatakan kepada seorang anggota parlemen di tahun 1989 bahwa ada sekitar tiga juta orang yang dibunuh. Lihat Oei Tjoe Tat dkk., Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno, (Jakarta: Hasta Mitra, 1995); Tempo, Sarwo Edhie dan Misteri 1965, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.

[58] Rémy Madinier, Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism (Singapore: NUS Press, 2015).

[59] Darmaningtyas, Pendidikan Yang Memiskinkan (Yogyakarta: Galang Press, 2004). Human Rights Watch juga mewawancarai Doni Koesoema, seorang pengamat pendidikan di Jakarta, 12 Juni, 2014.

[60] Wawancara Human Rights Watch dengan Siyohelpiyanti, Solok, Sumatra Barat, 16 Mei 2014. Hal yang cukup lumrah untuk melarang pelajar Muslim memakai jilbab di tahun 1980-an di Jakarta. Lihat Alwi Alatas, Fifrida Desliyanti, Revolusi jilbab: Kasus pelarangan jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek, 1982-1991 (Jakarta: Ishom, 2002).

[61] Dhania Sarahtika, “The Politics of Hijab in Indonesia,” Jakarta Globe, 8 Mei 2018, https://jakartaglobe.id/culture/politics-hijab-indonesia/ (diakses pada 22 January 2021)

[62] Saba Mahmood dari University of California, Berkeley, menggambarkan peran Revolusi Iran dalam penggunaan niqab dalam bukunya, Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject (New Jersey: Princeton University Press, 2011). Terence Ward menggambarkan direbutnya Masjidil Haram selama dua pekan sebagai sebuah “pergeseran tektonik politik” yang mendorong keluarga penguasa Saudi melancarkan kampanye global Wahabimisme dalam bukunya The Wahhabi Code: How the Saudis Spread Extremism Globally (New York: Arcade Publishing, 2018).

[63] Al-Qur'an Surat 24 ayat 31 mengatakan: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.” Al-Qur’an Surat 33, ayat 53 mengatakan: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu dipanggil maka masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.” Penekanan ditambahkan.

[64] Beberapa sejarawan mencatat kasus-kasus di Pulau Jawa di mana pelajar Muslim memilih untuk tidak masuk sekolah negeri karena pelarangan itu. Lihat “Jilbab Terlarang di Era Orde Baru”, Historia, (tidak bertanggal) https://historia.id/kultur/articles/jilbab-terlarang-di-era-orde-baru-6k4Xn.

[65] Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability (Boulder, Colorado: Westview Press, 1999).

[66] Muhammad Cheng Ho, “30 Tahun Perjuangan Melawan Larangan Jilbab”, Hidayatullah, 22 November 2015, https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2015/11/22/83688/30-tahun-perjuangan-jilbab-2.html (diakses pada 23 Juli 2020).

[67] Andreas Harsono, Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia (Melbourne: Monash University Publishing, 2019).

[68] Syariat diterapkan di Indonesia dengan didirikannya pengadilan agama sejak tahun 1830 di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda, mengakomodir banyak sistem hukum kesultanan di Jawa dan Sumatra. Pada Januari 1946, Indonesia juga mendirikan Kementerian Agama untuk memastikan umat Islam mendapatkan “layanan berbasis Islam” dari pemerintah seperti. layanan haji dan pesantren. Lihat: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, “Sejarah Peradilan Agama”, 11 Maret 2014, https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profil-ditjen-badilag-1/sejarah-ditjen-badilag (diakses pada 20 Januari 2021)

[69] Human Rights Watch, Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia (New York: Human Rights Watch 2010), https://www.hrw.org/id/report/2010/11/30/256153

[70] “Indonesia: Peraturan Daerah Islami Baru di Aceh Melanggar Hak,” siaran pers Human Rights Watch, 2 Oktober 2014, https://www.hrw.org/id/news/2014/10/03/263364 (diakses pada 21 Januari 2021).

[71] Lihat Lampiran 1, Aturan Wajib Jilbab di Indonesia.

[72] Ibid.

[73] Kementerian Hukum dan HAM menyebut berbagai perda Islami di 92 kabupaten ini sebagai “perda bermasalah”. Lihat Menteri Hukum dan HAM, “Peraturan Daerah Yang Di Permasalahkan”. Unggahan ini tidak bertanggal tapi mencantumkan enam kabupaten dan tahun dikeluarkannya perda itu: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/perkembangan-harmonisasi-rpp-tahun-2011/50-kajian-dan-inventarisasi-perda/157-peraturan-daerah-yang-bernuansa-syariat-islam.html (diakses pada 23 Juli 2020). Antara news juga menerbitkan laporan soal Bulukumba di Sulawesi Selatan: “Perda Syariah Bulukumba Juga Didukung non-Muslims”, Antara, 25 Juli 2006, https://www.antaranews.com/berita/38591/perda-syariah-bulukumba-juga-didukung-non-muslim (diakses pada 23 Juli 2020).

[74] Pradana Boy, Fikih Jalan Tengah: Dialektika Hukum Islam dan Masalah-Masalah Masyarakat Modern (Jakarta: Hamdalah, 2008). Aceh juga menjadi model negatif terkait hak-hak LGBT. Pada September 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh menyetujui aturan tentang hukum pidana Islam yang menciptakan pelanggran diskriminatif baru yang tidak ada dalam KUHP. Ini meluas ke Syariat untuk non-Muslim dan mengkriminalisasi tindakan seksual sesama jenis konsensual serta semua bentuk zina (hubungan seksual di luar nikah). Aturan ini juga melarang liwath (sodomi) dan musahaqah (hubungan lesbian). Aksi anti-LGBT ini segera menyebar ke wilayah lain di Indonesia, termasuk Jawa, Sumatra, dan Sulawesi.

[75] Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam, Qanun Aceh No.11/2002, http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_11_2002.pdf (diakses ada 28 Mei 2020), psl. 13(1). Psl. 13(2) menyatakan bahwa pimpinan instansi pemerintah Aceh seyogianya menegakkan “busana Islami” di wilayahnya masing-masing.

[76] Human Rights Watch, Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia (New York: Human Rights Watch, 2010) https://www.hrw.org/id/report/2010/11/30/256153.

[77] Lihat Lampiran 1 soal Aturan Wajib Jilbab di Indonesia.

[78] Pasal 11 menyatakan bahwa setiap pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi sebagai berikut:

a) Bagi Karyawan/Karyawati/Dosen/Guru-guru/dan lain-Iain dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Disiplin Pegawai.

b) Bagi siswa dan mahasiswa dikenakan sanksi secara bertingkat sebagai berikut: 1. ditegur secara Lisan; 2. ditegur secara tertulis; 3. diberitahukan kepada orang tua; 4. tidak dibolehkan mengikuti pelajaran di Sekolah; 5. dikeluarkan / dipindahkan dari Sekolah.

c) Bagi panitia yang menyelenggarakan Acara resmi, dikenakan sanksi berupa teguran secara lisan agar Panitia menertibkan undangan. Lihat: Bupati Solok Gamawan Fauzi, “Peraturan Daerah Kabupaten Solok No. 6 Tahun 2002 tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah di Kabupaten Solok”, 11 Maret 2002: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2002/solok6-2002.pdf (diakses pada 21 April 2020).

[79] Pemakaian Busana Muslim bagi Siswa dan Mahasiswa di Kabupaten Sukabumi, Instruksi Bupati Sukabumi No. 4/2004 pada 22 Juni 2004. Salinan tersedia bagi pihak yang memerlukannya.

[80] Imam Shofwan, “Syariat Islam: Mimpi Buruk Kaum Minoritas”, Pantau, 12 September 2014, https://pantau.or.id/liputan/2014/09/syariat-islam-mimpi-buruk-kaum-minoritas/ (diakses pada 22 Mei 2019).

[81] Dalam banyak kasus di mana aparat keamanan dan jaksa mengintervensi, hasilnya adalah dakwaan terhadap korban karena “penodaan” atau “menimbulkan keresahan”. Human Rights Watch, Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia (New York: Human Rights Watch, 2013), https://www.hrw.org/id/report/2013/02/28/256410; Andreas Harsono, Undoing Yudhoyono’s Sectarian Legacy, New Mandala, 13 Mei 2014, http://www.newmandala.org/undoing-yudhoyonos-sectarian-legacy/ (diakses pada 25 Mei 2019) atau Membatalkan Warisan Sektarian dan Intoleransi Yudhoyono https://www.hrw.org/id/news/2014/05/14/253725.

[82] Pelaksanaan Wirid Remaja Didikan Subuh dan Anti Togel/Narkoba serta Berpakaian Muslim/Muslimah Bagi Murid/Siswa SD/Mi, SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MA di Padang, Instruksi Wali Kota Padang No. 451.442/2005. Salinan tersedia bagi pihak yang memerlukannya.

[83] Elsam, Laporan Hasil Pemantauan terhadap Perda No. 6/2003 Tentang Wajib Pandai Baca Al-Qur’an Bagi Peserta Didik Sekolah Dasar Dan Madrasah Ibtidaiyah; dan Intruksi Wali Kota Padang No; 451.442/Binsos-Iii/2005 tentang Pelaksanaan Wirid Remaja Didikan Subuh dan Anti Togel/Narkoba Serta Berpakaian Muslim/Muslimah Bagi Murid/Siswa Sd/Mi, Sltp/Mts Dan Slta/Smk/Ma di Padang), Oktober 2008, http://lama.elsam.or.id/downloads/1273476285_draft_Laporan_monitoring_-_Padang_2008.pdf (diakses pada 29 Mei 2020).

[84] Andy Yentriyani, Azriana, Ismail Hasani, Kamala Chandrakirana, Taty Krisnawaty, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia (Jakarta: Komnas Perempuan, 2010), https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/PP2_Atas%20Nama%20Otonomi%20Daerah.pdf (diakses pada 25 Mei 2020), hal. 126. Laporan itu mengutip surat yang berjudul Surat Himbauan Gubernur No. 260/ 421/X/ PPr-05 tentang Himbauan Bersikap dan Memakai Busana Muslimah kepada Kepala Dinas/Badan/Kantor/Biro/Instansi di Provinsi Sumatera Barat.

[85]Tertib Berpakaian Dalam Jam Kerja di Provinsi Kalimantan Selatan, Surat Gubernur Kalimantan Selatan no. 065/ 2005, https://tatalaksanakalsel.files.wordpress.com/2013/09/pergub-kal-sel-tgg-pakaian-dinas-ke-gub.pdf (diakses pada 29 Mei 2020). Kalimantan Selatan, wilayah Muslim yang relatif konservatif, memiliki 11 kabupaten dan 2 kota. Ini adalah wilayah tempat pemberontakan Darul Islam terjadi pada tahun 1950-an.

[86] Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Maros, Peraturan Daerah No. 16/2005, http://makassar.bpk.go.id/wp-content/uploads/2010/10/PERDA-NO.16-TAHUN-2005-TTG-PAKAIAN-MUSLIM-MUSLIMAH.pdf (diakses pada 29 Mei 2020).

Psl. 6 (1) menyatakan Berpakaian Muslim dan Muslimah sebagaimana dimaksud pada pasal 5 dilaksanakan pada: Kantor-kantor Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah.

Psl. 6 (2) menyatakan masyarakat umum ditekankan untuk berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-hari.

Psl. 11 menyebutkan beberapa sanksi termasuk bagi karyawan/ karyawati lingkup Pemerintah Daerah dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Disiplin Pegawai. Masyarakat umum bisa dicabut izin yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Ini juga menyebutkan bagi masyarakat yang non-Islam busananya menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi agama masing-masing. Sulawesi Selatan juga merupakan daerah di mana terjadinya pemberontakan Darul Islam pada tahun 1950-an.

[87] Human Rights Watch menentang baik pemaksaan maupun pelarangan pemakaian penutup kepala pada pakaian religius karena merupakan campur tangan yang tidak proporsional dan diskriminatif terhadap hak-hak dasar dan telah berulang kali mengkritik pemerintah karena pengaturan pakaian yang berlebihan. Lihat Lampiran 2: Kerja-Kerja Human Rights Watch Terkait Larangan dan Kewajiban Penutup Kepala di Negara-Negara lain.

[88] “Larangan Jilbab, SMAN 2 Denpasar Berlindung dengan Aturan Sekolah”, Republika, 6 Januari 2014, https://www.republika.co.id/be rita/nasional/hukum/14/01/06/myz8y6-larangan-jilbab-sman-2-denpasar-berlindung-dengan-aturan-sekolah (diakses pada 7 Agustus 2019).

[89] Wawancara Human Rights Watch dengan Ida Bagus Sweta Manuaba, Denpasar, 11 Oktober 2019.

[90] Peraturan tersebut membagi seragam menjadi tiga variasi khusus sekolah (SD, SMP, dan SMA) yang memungkinkan penambahan lencana khusus sekolah pada hari-hari tertentu: “Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah” no. 45/2014, http://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_45_14.pdf (diakses pada 7 Agustus 2019).

[91] Wawancara Human Rights Watch dengan Mohammad Nuh, Jakarta, 13 November 2019.

[92] Indonesia punya hampir 300.000 sekolah negeri mulai dari TK hingga sekolah menengah. Lihat “2016, Jumlah Sekolah Hampir Mencapai 300 ribu unit,” Katadata, November 15, 2016, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/15/2016-jumlah-sekolah-hampir-mencapai-300-ribu-unit (diakses pada 7 Agustus 2019).

[93] “2016, Jumlah Sekolah Hampir Mencapai 300 ribu Unit”, Katadata, 15 November 2016: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/15/2016-jumlah-sekolah-hampir-mencapai-300-ribu-unit. Di Indonesia, sekolah negeri dinamakan sesuai lokasi dan tingkatannya. Sebuah sekolah menengah pertama di Solok, misalnya, dinamakan Sekolah Menengah Pertama Negeri Solok atau SMP N Solok. Jika di daerah itu ada lebih dari satu sekolah negeri, biasanya mereka diberi nomor, seperti SMPN 1 Solok and SMPN 2 Solok. Lima singkatan yang umum dipakai secara nasional: TKN (Taman Kanak-Kanak Negeri); SDN (Sekolah Dasar Negeri); SMPN (Sekolah Menengah Pertama Negeri); SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri); dan SMKN (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri).

[94] Lihat Hal Hill dan Thee Kian Wie, “Indonesian Universities: Rapid Growth, Major Challenges,” dalam Daniel Suryadarma dan Gavin W. Jones (edisi), Education in Indonesia (Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2013).

[95] Lihat beberapa wawancara dengan siswi beragama Kristen dalam Bab IV laporan ini

[96] Human Rights Watch dengan Nadya Karima Melati, Jakarta, 24 Juli 2018.

[97] Didin Nurul Rosiden, “Muslim Fundamentalism in Educational Institutions: A Case Study of Rohani Islam in Cirebon”, dalam Jajat Burhanudin dan Kees van Dijk (eds), Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013).

[98] Quinton Temby, “The elusive pragmatist who transformed political Islam in Indonesia”, Lowly Institute, 16 Juli 2020, https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/elusive-pragmatist-who-transformed-political-islam-indonesia (diakses pada 17 Juli 2020)

[99] UIN Jakarta, “Ancaman Radikalisme di Sekolah 2018”, UIN Jakarta PPIM Policy Brief, (Issue 4, 2018), https://ppim.uinjkt.ac.id/publikasi/policy-brief/ (diakses pada 21 Mei 2020).

[100] Wawancara Human Rights Watch dengan Nadya Karima Melati, Jakarta, 24 Juli 2018.

[101] Nadya Karima Melati, “Saya, Ibu, dan Selembar Jilbab”, Jurnal Perempuan, 6 Agustus 2015, http://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/saya-ibu-dan-selembar-jilbab (diakses pada 20 Juli 2018).

[102] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang perempuan [nama dirahasiakan], Solok, 8 Agustus 2018.

[103] “Alasan SMP Negeri 11 Yogya Imbau Siswa Muslim Berjilbab”, Tempo, 17 Juli 2017, https://nasional.tempo.co/read/892080/alasan-smp-negeri-11-yogya-imbau-siswa-muslim-berjilbab (diakses pada 7 Agustus 2018).

[104] Wawancara Human Rights Watch dengan “Analisa” (nama samaran) yang memilki putri yang pernah bersekolah di SMPN 8 Yogyakarta, 12 Juni 2019.

[105] Wawancara Human Rights Watch dengan “Analisa” (nama samaran) dengan putrinya, Yogyakarta, 12 Juni 2019.

[106] “Ombudsman Minta Revisi Aturan Wajib Jilbab di SMP Yogyakarta,”, CNN Indonesia, 8 Februari 2019, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190208074321-20-367371/ombudsman-minta-revisi-aturan-wajib-jilbab-di-smp-yogyakarta (diakses pada 21 April 2019).

[107] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang ibu [nama dirahasiakan] yang melaporkan sekolah putrinya ke Kantor Ombdusman RI, Yogyakarta, 20 Maret 2019.

[108] “Teror Siswi Tak Pakai Jilbab di SMA Sragen, Begini Pengakuan Orang Tua Korban,”, INews, 10 Januari 2020, https://jateng.inews.id/berita/teror-siswi-tak-pakai-jilbab-di-sma-sragen-begini-pengakuan-orang-tua-korban (diakses pada 26 Februari 2020)

[109] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang mahasiswi [nama dirahasiakan] Padang, 10 Agustus 2018.

[110] Wawancara Human Rights Watch dengan Mida Damayanti, Bandung, 30 Juli 2018.

[111] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang mahasiswi [nama dirahasiakan], Makassar, 12 Maret 2019.

[112] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang psikolog Indonesia [nama dirahasiakan], Bangkok, 17 Agustus 2018.

[113] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang psikolog perempuan [nama dirahasiakan], Jakarta, 27 Juli 2018.

[114] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang psikolog perempuan [nama dirahasiakan], Jakarta, 27 Juli 2018.

[115] Banyuwangi, berjarak 15 menit naik kapal dari Bali, sebuah pulau yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, dan dulu penduduknya juga memeluk Hindu. Banyuwangi adalah ibu kota Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Ketika kekuatan kerajaan menurun pada abad ke-17, perlahan-lahan penduduknya masuk Islam. Penguasa kuno Bali menggunakan Banyuwangi sebagai penyangga terhadap daerah lain di Jawa, yang saat itu mayoritas penduduknya Muslim. Bahkan di Banyuwangi, jilbab sekarang menjadi kewajiban di sebagian besar sekolah.

[116] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang ibu [nama dirahasiakan] yang putrinya masuk TK Negeri, Banyuwangi, 30 Juli 2018.

[117] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang pengawas sekolah negeri [nama dirahasiakan], Solok, Sumatra Barat, 16 Mei 2014.

[118] SMAN 3 Solok, “Buku Panduan PLS: Pengenalan Lingkunan Sekolah Tahun Pelajaran 2018/2019”, Juni 2018. Eko Gunanto, Kepala Sekolah SMAN 3, menandatangani buku itu.

[119] Wawancara Human Rights Watch dengan perempuan Katolik berusia 27 tahun [nama dirahasiakan] yang pernah bersekolah di sekolah negeri di Solok kelas 1 sampai sekolah menengah, 8 Agustus 2018.

[120] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang mahasiswi [nama dirahasiakan] yang besar di Solok, Sumatra Barat, 9 Agustus 2018.

[121] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang siswi sekolah menengah [nama dirahasiakan], Tasikmalaya, 1 Mei 2014.

[122] Wawancara Human Rights Watch dengan Ibu dari Fifi [nama dirahasiakan], Solok, 7 Agustus 2018. Fifi adalah nama samaran.

[123] Wawancara tertulis Human Rights Watch dengan siswi sekolah kejuruan SMKN 4 [nama dirahasiakan], Bandar Lampung, 29 Juli 2018. Dia juga menyerahkan rekaman berdurasi 19 menit di mana dia menyebut nama ketiga gurunya.

[124] Wawancara tertulis Human Rights Watch dengan seorang pelajar [nama dirahasiakan], Bandar Lampung, 29 Juli 2018. Dia mengirimkan pernyataan tertulis dan audio rekaman pada 30 Juli 2018.

[125] Wawancara Human Rights Watch dengan bibi seorang siswi [nama dirahasiakan], Surabaya, 29 Juli 2018.

[126] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang pelajar SMAN 3 [nama dirahasiakan], Solok, 9 Agustus 2019.

[127] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang pelajar SMAN 3 [nama dirahasiakan], Solok, 9 Agustus 2019. Dia kemudian membawa teman sekelasnya [nama dirahsiakan] yang bercerita soal aturan sekolah mereka.

[128] Kejadian ini berlangsung di Madrasah Aliyah Negeri di Muaraenim. Lihat “Guru Gunting Jilbab Siswi,” Tribun News, 11 Januari 2011, https://palembang.tribunnews.com/11/01/2011/guru-gunting-jilbab-siswi (diakses pada 23 Mei 2020).

[129] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang mantan siswi sekolah menengah [nama dirahasiakan], Padang, 17 Mei 2014.

[130] D.A.Candraningrum dan Febrianti, “Jilbab, Wajib dan Menyesuaikan”, Tempo, 21 April 2008, https://majalah.tempo.co/read/126974/kewajiban-berjilbab-jilbab-wajib-dan-menyesuaikan (diakses pada 25 Mei 2018).

[131] "Ada Diskriminasi Terhadap Siswi Non Muslim di Banyuwangi, Bupati Anas Marah", Kompas, 16 Juli 2017, https://regional.kompas.com/read/2017/07/16/23005061/ada-diskriminasi-terhadap-siswi-non-muslim-di-banyuwangi-bupati-anas-marah (diakses pada 25 Mei 2018).

[132] Wawancara Human Rights Watch dengan dua jurnalis lokal di Banyuwangi, Ika Ningtyas dan Ira Rachmawati, yang meliput kasus tersebut, Banyuwangi, 30 Juli 2018.

 

[133] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang siswi sekolah menengah [nama dirahasiakan] di sekolah barunya di Banyuwangi, 31 Juli 2018.

[134] Ibid.

[135] Wawancara Human Rights Watch dengan Daisy (nama samaran), yang tinggal di Solok, Jakarta, 22 Juli 2018.

[136] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang perempuan berusia 22 tahun [nama dirahasiakan], Padang, 12 Agustus 2019.

[137] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang pelajar perempuan [nama dirahasiakan], Solok, 9 Agustus 2019.

[138] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang pengawas sekolah [nama dirahasiakan], Solok, 7 Agustus 2018.

[139] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang guru sekolah swasta [nama dirahasiakan], Banyuwangi, 30 Juli 2018.

[140] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang perempuan Katolik berusia 27 tahun [nama dirahasiakan] yang bersekolah di sekolah negeri di Solok selama 12 tahun sejak SD sampai SMA, Solok, 8 Agustus 2018.

[141] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang perempuan berusia 22 tahun [nama dirahasiakan] di Padang, 12 Agustus 2019.

[142] Ibid.

[143] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang perempuan [nama dirahasiakan] yang pernah bersekolah di SDN 8 Bawah Bungo di Solok, Padang, 9 Agustus 2018.

[144] Wawancara Human Rights Watch dengan tiga perempuan muda Kristen [nama dirahasaikan] di Padang, 12 Agustus 2019.

[145] Mangasa Situmorang, “Siswi Kristen Wajib Pakai Jilbab di Riau”, Independensi, 25 Agustus 2018, https://independensi.com/2018/08/25/siswi-kristen-wajib-pakai-jilbab-di-riau/ (diakses pada 25 Mei 2019).

[146] “'Kewajiban' jilbab di Riau, antara kearifan lokal dan 'pelanggaran' kebhinekaan”, BBC Indonesia, 28 Agustus 2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45319155 (diakses pada 25 Mei 2019).

[147] Gomar Gultom, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), ikut sebagai delegasi gereja dalam pertemuan dengan Menteri Pendidikan Muhajir Effendy pada 28 Agustus 2018 di kantor Mendikbud. Gultom menanyakan soal aturan kewajiban jilbab dan menulis tanggapan Mendikbud di halaman Facebook-nya: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10216078030760169&set=pcb.10216078034320258&type=3&theater (diakses pada 7 Agustus 2019).

[148] Wawancara Human Rights Watch, 18 September 2020. Perempuan ini menjelaskan bagaimana diskriminasi memengaruhi hidupnya. “Masalah saya yang lain adalah terkait surat-surat resmi. Akta kelahiran saya hanya nama ibu. Nama ayah kosong karena pernikahan mereka secara Sunda Wiwitan tidak diakui. Mereka tidak punya surat nikah resmi. Di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, agama saya dikosongkan. Setiap kali saya perlu ke kantor pemerintah, saya harus berurusan dengan pertanyaan soal agama, akhir-akhir ini, juga soal jilbab. Saya tidak bisa melamar sebagai pegawai negeri kecuali saya mau secara hukum ganti agama.

[149] Elianu Hia, Facebook, https://www.facebook.com/elianu.hia/videos/3444961562268596 (diakses pada 29 Januari 2021).

[150] Wawancara Human Rights Watch dengan Amizuduhu Mendrofa, seorang pengacara yang mewakili keluarga Hia, Padang, 29 Januari 2021.

[151] Muhammad Aidil, “Kuasa Hukum Siswi SMKN 2 Padang yang Diwajibkan Berjilbab Yakin Komnas HAM Segera ke Padang”, Padang Kita, https://padangkita.com/kuasa-hukum-siswi-smkn-2-padang-yang-diwajibkan-berjilbab-yakin-komnas-ham-segera-ke-padang/ (diakses pada 29 Januari 2021).

[152] Adi Briantika, “Rombak Peraturan Diskriminatif Wajib Jilbab di Sekolah Sumbar”, Tirto, 26 Januari 2021, https://tirto.id/rombak-peraturan-diskriminatif-wajib-jilbab-di-sekolah-sumbar-f9CC (diakses pada 27 Januari 2021).

[153] Tribun Padang, “Heboh Siswi Non-Muslim di SMKN 2 Padang Diminta Pakai Jilbab, Ini Kata Kadis Pendidikan Sumbar”, 23 Januari 2021, https://www.youtube.com/watch?v=vlbJ5z8IkiU (diakses pada 29 Januari 2021).

[154] Nadiem Makarim, Instagram, 24 Januari 2021, https://www.instagram.com/p/CKagsK1h86h/ (diakses pada 25 Januari 2021).

[155] Situs web Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera disiapkan setelah video pernyataan Nadiem Makarim pada 24 Januari 2021: http://ult.kemdikbud.go.id/ (diakses pada 29 Januari 2021).

[156] Yola Sastra, “Siswa Non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang Mulai Lepaskan Jilbab”, Kompas, 26 Januari 2021, https://bebas.kompas.id/baca/nusantara/2021/01/26/siswa-nonmuslim-di-smk-2-padang-mulai-lepaskan-jilbab/ (diakses pada 28 Januari 2021).

[157] Metro TV News, “Aturan Siswi Berjilbab di Padang Sudah Berlaku 15 Tahun”, 24 Januari 2021, https://www.youtube.com/watch?v=hm672kv_RfE (diakses pada 29 Januari 2021).

[158] Detik, “Eks Walkot Padang soal Aturan Jilbab untuk Siswi: Tak Ada Tempat Nyamuk Gigit”, 26 Januari 2021, https://news.detik.com/berita/d-5349276/eks-walkot-padang-soal-aturan-jilbab-untuk-siswi-tak-ada-tempat-nyamuk-gigit (diakses pada 28 Januari 2021).

[159] Ibid.

[160] Wawancara Human Rights Watch dengan Fasli Jalal, Jakarta, 19 Agustus 2018. Jalal adalah Wakil Menteri Pendidikan Nasional periode 2010-2011 pada kabinet Presiden SBY.

 

 

[161] Badan Pusat Statistik, “Jumlah Pegawai Negeri Sipil Menurut Jenis Kepegawaian dan Jenis Kelamin, Desember 2013 dan Desember 2016”, 20 November 2017, https://www.bps.go.id/statictable/2015/09/08/1798/jumlah-pegawai-negeri-sipil-menurut-jenis-kepegawaian-dan-jenis-kelamin-desember-2013-dan-desember-2016.html (diakses pada 24 September 2020). Indonesia juga memiliki lebih dari 956.000 karyawan di 118 Badan Usaha Milik Negara, mulai dari bank dan energi hingga konstruksi dan pertambangan. Ardan Adhi Chandra, “Aset BUMN RI Sentuh Rp 6.560 T”, Detik Finance, 28 April 2017, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3487130/aset-bumn-ri-sentuh-rp-6560-t (diakses pada 24 September 2020).

[162] Kebanyakan pegawai negeri memakai seragam, tergantung dari kementerian atau BUMN tempat mereka bekerja. Beberapa kementerian tidak memiliki seragam, seperti kementerian luar negeri. Namun semua pegawai negeri tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Korps itu mewajibkan seragam yang disebut “batik biru” untuk upacara resmi, seperti Hari Kemerdekaan. Lihat “Kemendagri Terbitkan Aturan Penggunaan Jilbab untuk PNS”, CNN Indonesia, 14 Desember 2018, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181214120742-20-353646/kemendagri-terbitkan-aturan-penggunaan-jilbab-untuk-pns (diakses pada 27 Juli 2020).

[163] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang pejabat perempuan [nama dirahasiakan] di Dinas Kesehatan, Tasikmalaya, 30 April 2014.

[164]Wawancara Human Rights Watch dengan seorang pejabat perempuan [nama dirahasiakan] di Dinas Kesehatan, Tasikmalaya, 30 April 2014.

[165] Ibid.

[166] Lihat Peraturan Bupati Cianjur No. 15 tahun 2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Salinannya tersedia bagi pihak yang memerlukannya.

[167] Wawancara Human Rights Watch dengan tiga pegawai negeri perempuan [nama dirahasiakan] termasuk seorang guru, Cianjur, 26 Juli 2018.

[168] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang perempuan [nama dirahasiakan], Cipanas, Cianjur, 26 Juli 2018.

[169] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang pegawai negeri perempuan [nama dirahasiakan], Cianjur, 26 Juli 2018.

[170] Wawancara Human Rights Watch dengan akademisi perempuan Muslim [nama dirahasiakan], 10 September 2020 dan 27 April 2019. Ia menunjukkan kepada Human Rights Watch surat keputusan rektor universitas di Jakarta tahun 2016 tentang kode etik dosen, yang menyebutkan “pakaian layak” tetapi tidak mewajibkan hijab, pada bulan April 2019. Dia tampaknya memutuskan untuk mengundurkan diri saat wawancara tahun 2019, dan menyerahkannya surat pengunduran diri pada 1 Maret 2020.

[171] Wawancara Human Rights Watch dengan staf administrasi [nama dirahasiakan] di sebuah universitas negeri di Jakarta, 10 September 2020.

[172] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang pegawai negeri di kantor pemerintahan Tangerang [nama dirahasiakan], pada 14 September 2020.

[173] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang mantan guru TK di Jakarta [nama dirahasiakan], pada 15 September 2020.

[174] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang dosen [nama dirasiakan] di sebuah universitas negeri di Jakarta, 18 September 2020.

[175] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang guru piano [nama dirahasiakan] di sebuah sekolah negeri di Yogyakarta, 24 September 2020.

[176] Ibid.

[177] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang guru piano berusia 28 tahun [nama dirahasiakan] di sebuah sekolah negeri di Yogyakarta, 24 September 2020.

[178] Pada 1950, setelah Indonesia merdeka, Yogyakarta secara resmi diberi status provinsi dan Sultan Keraton Yogyakarta, Hamengku Buwono IX, ditetapkan sebagai gubernur. Gubernur sekaligus sultan saat ini adalah putranya, Hamengku Buwono X. Kesultanan dan kerajaan Pakualaman, kekuatan yang lebih kecil di Yogyakarta, secara luas dianggap sebagai penjaga budaya Jawa. Iem Brown (edisi), The Territories of Indonesia, Oxfordshire: Routledge, 2004.

[179] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang guru piano berusia 28 tahun [nama dirahasiakan] di sebuah sekolah negeri di Yogyakarta, 24 September 2020.

[180] Wawancara Human Rights Watch dengan seoang guru tari [nama dirahasiakan], 28 September 2020, yang ingin disebut sebagai “seorang guru di sekolah negeri di Kalimantan Timur”.

[181] Sumpah Pemuda dideklarasikan pada 28 Oktober 1928 di masa Hindia Belanda saat para pemimpin muda berjanji akan memperjuangkan multikulturalisme Indonesia. Ini adalah peristiwa bersejarah dalam sejarah Indonesia dan juga dianggap sebagai momen lahirnya bahasa Indonesia. Lihat Britannica.com, “Youth Pledge, Indonesian history” tidak bertanggal: https://www.britannica.com/topic/Youth-Pledge (diakses pada 22 Oktober 2020).

 

 

[182] Ibid.

[183] Ibid.

[184] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang jurnalis muda [nama dirahasiakan], 18 September 2020, di Gorontalo, Sulawesi.

[185] Wawancara Human Rights Watch dengan Siti Ramadhania Azmi, 22 September 2020.

[186] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang siswi Kristen, Solok, 9 Agustus 2019.

[187] Di Aceh hampir mustahil bagi perempuan untuk berjalan bebas di tempat umum tanpa memakai jilbab. Human Rights Watch, Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia) (New York: Human Rights Watch, 2010) https://www.hrw.org/id/report/2010/11/30/256153.

[188] Lihat Perda Kota Tangerang Nomor 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran: http://hukum.unsrat.ac.id/perda/perdatangerang2005_8.htm (diakses pada 7 Agustus 2019). (TAUTAN TAK BISA DIBUKA)

[189]Wawancara Human Rights Watch dengan Michelle (nama samaran), Jakarta, 2 Agustus 2018.

[190] Ibid.

[191] Detiknews, “Di Balik Heboh 'Cadarisasi' ala Bupati Lombok Tengah”, 2 Juli 2020, https://news.detik.com/berita/d-5077785/di-balik-heboh-cadarisasi-ala-bupati-lombok-tengah (diakses pada 21 Juli 2020).

[192] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang jurnalis [nama dirahasiakan] di Banyuwangi, 21 September 2020.

[193] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang psikiater [nama dirahasiakan], Jakarta, 6 September 2018. Baca juga: Batirtze Artaraz, Leire Celaya, Eider Zuaitz, “Dysmorphophobia: From Neuroticism to Psychoticism,” in Psychopathology in Women:Incorporating Gender Perspective into Descriptive Psychopathology, 9 September 2014, Springer, https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-05870-2_9 (diakses pada 18 November 2020).

[194] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang psikolog perempuan yang tinggal di Bandung [nama dirahasiakan], Jakarta, 27 Juli 2018.

[195] Ibid.

[196] Wawancara Human Rights Watch dengan seorang psikolog perempuan, yang bekerja di Bandung, Jakarta, 12 Juni 2014.

[197] Wawancara Human Rights Watch dengan Novi Poespita Chandra, Yogyakarta, 25 Juli 2020.

[198] Ibid.

[199] Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk HAM terkait status ratifikasi Indonesia: https://tbinternet.ohchr.org/_layouts/TreatyBodyExternal/Treaty.aspx?CountryID=80&Lang=EN (diakses pada 30 Januari 2019).

[200] Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) G.A. res. 2200A (XXI), 21 U.N. GAOR Supp. (No. 16) at 52, U.N. Doc. A/6316 (1966), 999 U.N.T.S. 171,mulai berlaku 23 Mar. 1976, psl. 18(2). Indonesia meratifikasi ICCPR pada 2006.

[201] Komite HAM PBB, Pandangan Umum No. 22: Pasal 18 (Kebebasan Berpikir, Berkeyakinan, dan Beragama), 30 Juli 1993,CCPR/C/21/Rev.1/Add.4,tersedia di: https://www.refworld.org/docid/453883fb22.html (diakses pada 30 September 2020).

[202] Komite HAM PBB, Komentar Umum No. 28, Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan (pasal 3), CCPR/C/21/Rev.1/Add.10 (2000), para. 13.

[203] Dewan HAM PBB, Laporan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, Asma Jahangir, “Civil and Political Rights, Including the Question of Religious Intolerance” (Hak Sipil dan Politik, Termasuk Masalah Intoleransi Beragama) Komisi Hak Asasi Manusia, sesi 62, E/CN.4/2006/5, 9 Januari 2006, para. 55.

[204] Konvensi Hak-Hak Anak (CRC), G.A. res. 44/25, annex, 44 U.N. GAOR Supp. (No. 49) at 167, U.N. Doc. A/44/49 (1989),mulai berlaku 2Sept. 1990, psl. 14(1). Indonesia meratifikasi CRC pada 1990.

[205] ICCPR, psl. 18(2).

[206] CRC, psl. 14(2).

[207] Dewan HAM PBB, Laporan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, A/HRC/37/49, para 85. Komite HAM juga menyatakan kebebasan beragama, “secara alami mencakup kehidupan keluarga: Dewan HAM PBB, Laporan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, A/HRC/31/18, Dewan Hak Asasi Manusia, 23 Desember 2015, sesi 31, para. 24.

[208] Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), G.A. res. 34/180, 34 U.N. GAOR Supp. (No. 46) at 193, U.N. Doc. A/34/46,mulai berlaku 3Sept. 1981, psl. 2.

[209]Komite CEDAW telah menyatakan bahwa definisi diskriminasi dalam pasal 1 konvensi mencakup diskriminasi langsung dan tidak langsung oleh aktor publik dan swasta. Lihat, sebagai contoh, “Komentar Penutup Komite CEDAW tentang laporan awal Belize,”dikutip dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa / Divisi untuk Kemajuan perempuan, Assessing the Status of Women: A Guide to the Reporting Under the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Menilai Status Perempuan: Panduan Pelaporan di Bawah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan) (New York: PBB, 2000), hal. 102.

[210] ICCPR, psl. 17; lihat juga CRC, psl. 16.

[211] Manfred Nowak,U.N. Covenant on Civil and Political Rights: CCPR Commentary(Kehl am Rhein, Germany: N.P. Engel, 1993), hal. 294.

[212] Lihat, sebagai contoh, J. Marshall, “A Right to Personal Autonomy at the European Court of Human Rights”European Human Rights Law Review, nomor 3, 2008, hal. 337. Pentingnya hak otonomi untuk melaksanakan hak-hak perempuan diilustrasikan oleh banyak hak yang ditetapkan dalam CEDAW, terutama hak perempuan atas persamaan dalam hukum (pasal 15), hak kebebasan bergerak dan kebebasan memilih tempat tinggalnya (pasal 15 (4)), serta akses yang setara dan hak atas nondiskriminasi dalam pendidikan dan pekerjaan (masing-masing pasal 10 dan 11).

[213] Lihat, sebagai contoh, Komite HAM PBB, Komentar Umum No. 16.

[214] CRC, psl. 2, 3, 19, 27, 32, 34, dan 36. Pasal 2(1) CRC menyatakan negara-negara peserta “akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam Konvensi ini berlaku atas semua anak tanpa diskriminasi apapun, terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, asal-usul etnik atau sosial, kekyaan, disabilitas, kelahiran atau status lain dari anak, orang tua anak atau wali mereka.”

[215] CRC, psl. 2.

[216] Dewan HAM PBB, Laporan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, A/HRC/16/53, 15 Desember 2010, Dewan Hak Asasi Manusia, sesi 16, para. 40.

[217] Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), G.A. res. 2200A (XXI), 21 U.N. GAOR Supp. (No. 16) at 49,U.N. Doc. A/6316 (1966), 993 U.N.T.S. 3,mulai berlaku 3 Januari 1976, psl. 13; CEDAW, psl. 10. Indonesia meratifikasi ICESCR pada 2006.

[218] Komite PBB tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komentar Umum No. 13 soal hak atas pendidikan, E/C.12/1999/10, sesi 21, 8 Desember 1999.

[219] Komite Hak-Hak Anak, Pengamatan Akhir atas Gabungan Laporan Periodik Ketiga dan Keempat Indonesia, Crc/C/Idn/Co/3-4, 10 Juli 2014, paragraf. 29-30.

[220] Dewan HAM PBB, Laporan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, A/HRC/16/53, 15 Desember 2010, Dewan Hak Asasi Manusia, sesi 16, para. 23. Pelapor khusus sebelumnya, dalam mempertimbangkan pembatasan dan larangan memakai simbol agama, juga mencatat, “siswa secara umum dianggap rentan karena usia, ketidakdewasaan, dan pendidikan yang sifatnya wajib.” Laporan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, Asma Jahangir, E/CN.4/2006/5, 9 Januari 2006, Komisi Hak Asasi Manusia, sesi 62, para. 56.

[221] Dewan HAM PBB, Laporan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, A/HRC/16/53, 15 Desember 2010, Dewan Hak Asasi Manusia, sesi 16, para. 45.

[222] Dewan HAM PBB, Laporan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, A/HRC/16/53, 15 Desember 2010, para. 46.

[223] Majelis Umum PBB, Deklarasi tentang Hak-Hak Orang-Orang yang Tergolong ke dalam Minoritas Nasional atau Etnis, Agama, dan Bahasa, resolusi 47/13, 18 Desember 1992, psl. 1(1): https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/minorities.aspx (diakses pada 30 Januari 2019).

[224] Lihat ibid., psl. 3(2).