Skip to main content

Pekan Kritis bagi Hak-Hak Lingkungan di Asia Tenggara

ASEAN Seharusnya Mengisi Kesenjangan antara Hak-Hak Masyarakat Adat dan Akuntabilitas Perusahaan dalam Deklarasi Baru

Beberapa organisasi lingkungan hidup memperingati Hari Bumi di Medan, Sumatra Utara pada 22 April 2024. © 2024 Sipa via AP Images

Pekan lalu, jutaan orang di Asia Tenggara bergulat dengan gelombang panas yang mencapai rekor tertinggi hingga memicu penutupan ribuan sekolah, menghadirkan tekanan yang tak pernah terjadi sebelumnya pada jaringan listrik, dan menyebabkan serangan panas yang fatal. Suhu yang luar biasa ini menekankan perlunya mencapai kesepakatan mengenai rincian deklarasi hak-hak lingkungan hidup di tingkat regional, sebuah upaya yang sedang berlangsung hari ini di Jakarta dalam sebuah kelompok kerja yang dibentuk oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Rancangan tersebut sudah mengakui hak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan, untuk mengakses informasi lingkungan hidup, dan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai lingkungan hidup. Rancangan ini juga menyikapi kabut asap lintas batas, sebuah pemicu perselisihan yang berulang kali terjadi di antara anggota-anggota ASEAN ketika asap dari kebakaran menyebabkan polusi udara luar biasa di seluruh perbatasan negara.

Meski demikian, deklarasi tersebut memiliki kelalaian yang sangat jelas terlihat. Untuk mengatasinya, Human Rights Watch mendesak kelompok kerja tersebut agar memasukkan sejumlah ketentuan mengenai akuntabilitas perusahaan, mobilitas terkait iklim – ketika dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, memaksa masyarakat untuk pindah – dan untuk memastikan bahwa deklarasi itu memajukan hak-hak masyarakat adat.

Walaupun semua negara ASEAN mendukung Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), rancangan tersebut tidak menggunakan istilah "Masyarakat adat," juga tidak mengakui hak-hak mereka atas sumber daya dan wilayah mereka. Lebih jauh lagi, rancangan ini tidak mengakui kontribusi masyarakat adat sebagai penjaga alam yang paling efektif.

“ASEAN seharusnya menempatkan hak-hak Masyarakat Adat sebagai inti dari deklarasi ini, seperti hak untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, hak penguasaan lahan, serta persyaratan mekanisme pelindungan dan akuntabilitas,” kata Dr. June Rubis, salah satu pendiri Building Initiatives in Indigenous Heritage Sarawak. The Asia Indigenous Peoples Pact, sebuah organisasi akar rumput, mendesak kelompok kerja tersebut agar memastikan masyarakat adat turut berpartisipasi dalam proses penyusunan rancangan itu.

Rancangan tersebut juga lemah dalam menangani pertanggungjawaban perusahaan. Seperti yang ditunjukkan oleh hasil kerja Human Rights Watch di Kamboja, Indonesia, Malaysia, dan di mana pun, perusahaan sering kali bertanggung jawab atas perusakan lingkungan atau pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Deklarasi tersebut semestinya mencerminkan kewajiban negara untuk mengatur sektor bisnis.

Dihadapkan dengan fenomena kenaikan permukaan air laut dan cuaca ekstrem, semestinya deklarasi ini juga mengakui perlunya pelindungan hak yang lebih kuat bagi orang-orang yang dipaksa pindah. Relokasi yang terencana semestinya dipimpin oleh masyarakat dan dilaksanakan dengan transparansi, partisipasi, dan non-diskriminasi.

Kelompok kerja ini punya kesempatan untuk mengembangkan kerangka kerja di kawasan yang belum memiliki perjanjian hak asasi manusia regional. Namun, kelompok kerja ini tidak dapat melakukannya tanpa mengakui kalangan yang paling terdampak oleh pelanggaran lingkungan hidup, atau akuntabilitas penuh bagi mereka yang bertanggung jawab.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country