Ringkasan
Lahan gambut adalah penyimpan cadangan karbon terestrial terbesar, menyimpan lebih banyak karbon dibandingkan seluruh jenis vegetasi lain di bumi. Tapi begitu lahan gambut dihancurkan, ia akan melepaskan karbon dioksida, gas rumah kaca yang menjadi pemicu utama perubahan iklim, ke atmosfer. Di seluruh dunia, kerusakan lahan gambut merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca, melepaskan hampir enam persen emisi CO2 antropogenik global setiap tahunnya. Oleh karena itu, perlindungan lahan gambut merupakan komponen kunci dari upaya global untuk mengatasi krisis iklim.
Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 80 miliar ton karbon atau setara dengan sekitar 5 persen dari seluruh karbon yang tersimpan di dalam tanah secara global. Indonesia pernah menampung sekitar 50 persen dari total lahan gambut tropis dunia, namun angka ini merosot seiring meningkatnya perkebunan kelapa sawit skala besar.
Pemerintah Indonesia terus mendorong peningkatan produksi minyak sawit—minyak nabati yang berasal dari buah pohon kelapa sawit—tanpa berupaya memastikan bahwa perusahaan domestik yang terlibat dalam berbagai tahapan produksi minyak sawit, mulai dari penanaman kelapa sawit hingga penyulingan, mematuhi undang-undang dan mekanisme sertifikasi kelapa sawit nasional. Pemerintah telah gagal memenuhi kewajibannya terkait hak asasi manusia dan perubahan iklim, juga gagal memberikan pengawasan regulasi yang efektif terhadap perusahaan domestik.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengabaikan hak masyarakat atas standar hidup yang layak, hak atas properti, dan hak asasi masyarakat pedesaan yang tinggal di atau sekitar lahan-lahan yang dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit. Hal ini memicu ratusan konflik lahan, termasuk di wilayah-wilayah masyarakat yang terbentuk dari program transmigrasi yang disponsori pemerintah sejak puluhan tahun lalu.
Kerugian dari ekspansi perkebunan kelapa sawit tidak hanya berdampak pada masyarakat di komunitas ini. Kurangnya perlindungan hak atas tanah masyarakat lokal, yang menggunakan lahan gambut sebagai sumber mata pencaharian mereka dengan membiarkan sebagian besar lahan gambut tetap utuh, memungkinkan pertanian komersial skala besar berkontribusi pada kerusakan iklim serius secara global. Ketika penggunaan lahan gambut diubah untuk pertanian komersial, Indonesia membiarkan penghancuran besar-besaran salah satu penyerap karbon terpenting di dunia, sekaligus menghambat upaya pengurangan emisi karbon untuk mencegah hasil terburuk dari perubahan iklim global.
Program transmigrasi Indonesia adalah salah satu skema pemindahan penduduk terbesar di dunia, yang memindahkan jutaan keluarga dari pulau-pulau padat penduduk ke pulau-pulau yang kurang padat penduduknya di Indonesia. Banyak di antara mereka yang bermukim kembali di hutan, termasuk hutan gambut. Seiring berjalannya waktu, pemerintah juga memberikan konsesi untuk perkebunan kelapa sawit dan tanaman lainnya di wilayah yang sama. Sejumlah ekspansi perkebunan masuk ke lahan masyarakat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu atau dengan kompensasi yang tidak memadai. Akibatnya, akses masyarakat ke tanah dan lingkungan tempat mereka menggantungkan mata pencarian mereka menjadi semakin terhambat, yang berujung pada kesulitan ekonomi dan perjuangan panjang masyarakat melawan industri kelapa sawit.
Sebagian besar warga Indonesia yang ikut dalam program transmigrasi pemerintah menerima hak kepemilikan atas tanah yang mereka tempati, termasuk tanah pertanian. Namun, secara umum Indonesia memiliki tata kelola lahan yang buruk: aturan tentang pengadaan dan penguasaan lahan yang lemah; perencanaan nasional tentang penggunaan lahan yang buruk; dan tidak ada transparansi dalam peruumusan, pelaksanaan, dan penegakan proses-proses dan struktur terkait akses dan penggunaan lahan serta penanganan konflik kepentingan.
Penelitian Human Rights Watch yang terdahulu menunjukkan bahwa tata kelola yang lemah di Indonesia telah menyebabkan pelanggaran hak-hak masyarakat adat, karena kepentingan bisnis dijadikan prioritas utama. Laporan ini menunjukkan bahwa komunitas transmigran dan pendatang, meski telah ada penegasan hak atas tanah oleh pemerintah, tetap kehilangan tanah dan sumber mata pencarian mereka karena perkebunan komersial ini, dan pada akhirnya hal ini memengaruhi hak asasi mereka atas properti, standar hidup yang layak, dan pemulihan yang efektif. Laporan ini juga menunjukkan bahwa pelaku bisnis dan pemerintah berupaya mengintimidasi anggota masyarakat yang menolak ekspansi perkebunan ke lahan mereka atau menggugat kehilangan lahan mereka. Aparat penegak hukum malah menuntut pidana upaya para anggota masyarakat dan aktivis hak tanah.
Laporan ini disusun berdasarkan wawancara dengan lebih dari 90 warga dari 3 komunitas transmigran dan pendatang, yaitu Seruat Dua, Mengkalang Jambu dan Olak Olak di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, serta wawancara dengan pengacara dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang reformasi pertanahan dan agraria di Indonesia. Penelitian ini melengkapi laporan Human Rights Watch yang dirilis September 2019 lalu, “Kehilangan Hutan Berarti Kehilangan Segalanya”: Perkebunan Kelapa Sawit dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, yang ditulis bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi hak-hak adat terbesar di Indonesia.
Human Rights Watch menginvestigasi pengembangan dan pengoperasian perkebunan kelapa sawit di lahan-lahan gambut di Desa Seruat Dua, Mengkalang Jambu dan Olak Olak. Semua perkebunan yang diinvestigasi dimiliki oleh satu perusahaan, PT Sintang Raya, yang mulai beroperasi pada 2008, dan kemudian berkembang memasuki lahan yang dimiliki dan digarap oleh masyarakat. PT Sintang Raya adalah sebuah perusahaan berskala menengah dengan campuran kepemilikan nasional dan asing serta rantai pasok yang cukup besar. Human Rights Watch menyoroti kasus PT Sintang Raya karena kasus ini menggambarkan apa yang lazim dialami masyarakat yang terdampak oleh konflik berkepanjangan antara perusahaan dan masyarakat pedesaan, dan menjadi cerminan kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi hak-hak masyarakat tersebut. Pihak berwenang tidak berbuat banyak untuk menengahi dan menyelesaikan perselisihan, serta gagal menegakkan hukum yang menegaskan kepemilikan tanah warga.
Konflik terkait lahan tersebar luas di Indonesia, dan kebanyakan sudah berlangsung selama puluhan tahun tanpa ada penyelesaian oleh pemerintah. Para pendatang dan transmigran telah tinggal dan menggarap lahan di daerah tersebut masing-masing sejak tahun 1930-an dan 1950-an. Beberapa anggota masyarakat yang datang dan menetap di sana juga diberi tanah oleh pemerintah. Mereka, bersama sejumlah anggota masyarakat lainnya, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka yakin tanah pertanian mereka telah dimasukkan ke dalam izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan atau hak sewa tanah untuk pertanian komersial, tanpa berkonsultasi sebelumnya dengan warga atau dengan kompensasi yang minim dari pemerintah atau perusahaan. Masyarakat meyakini pengeringan lahan gambut oleh PT Sintang Raya berdampak langsung pada kehidupan mereka akibat meningkatnya salinitas sumber air tawar dan tanah, memengaruhi hasil panen mereka dan menghambat akses air bersih dan air minum yang aman untuk dikonsumsi.
Kalimantan Barat memiliki lahan gambut sekitar 1,7 juta hektar, atau 29 persen dari total luas wilayah di provinsi tersebut. Berdasarkan perkiraan ini, lahan gambut di Kalimantan Barat menyimpan sekitar 3,6 juta ton karbon. Drainase dan pembukaan lahan yang diperlukan untuk penanaman kelapa sawit telah menjadi penyebab utama deforestasi—penebangan dan penghancuran hutan alam—dan hilangnya keanekaragaman hayati, melepaskan sejumlah besar CO2 ke atmosfer, menyebabkan penurunan lahan gambut, dan membuat tanah rentan terbakar dan banjir.
Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, Human Rights Watch telah memperingatkan bahwa pengelolaan lahan dan kehutanan yang buruk di Indonesia memiliki implikasi global yang parah. Secara khusus, Indonesia punya peran kunci dalam strategi mitigasi perubahan iklim global karena kekayaan alamnya yang melimpah di hutan, termasuk lahan gambut, yang berperan sebagai penyerap karbon, dan karena deforestasi yang merajalela di negara ini, terutama di hutan yang tumbuh di atas gambut yang kaya karbon. Praktik penggunaan lahan beremisi tinggi di Indonesia telah berkontribusi dalam menjadikan Indonesia sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia.
Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, pembukaan hutan alam di Indonesia, termasuk lahan gambut, untuk perkebunan kelapa sawit adalah salah satu sumber emisi terbesar di negara ini. Selain berkontribusi pada krisis iklim, kabut asap yang dihasilkan saat hutan-hutan ini dibakar akan menyeberang ke negara-negara tetangga Indonesia, mengancam kesehatan masyarakat setempat. Jika tata kelola yang lemah di sektor kehutanan dan perkebunan tidak ditangani secara memadai, Indonesia berisiko gagal memenuhi komitmen domestik dan internasional untuk secara signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca, dan akan memperburuk masalah hak asasi manusia.
Standar dan sertifikasi minyak sawit oleh pemerintah (Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO), yang bertujuan mendukung komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menjamin keberlanjutan, telah gagal memastikan bahwa perusahaan kelapa sawit seperti PT Sintang Raya tidak merugikan masyarakat, dan malah memperburuk sengketa tanah. ISPO memiliki sanksi dan ketentuan akuntabilitas yang lemah dan tidak ada mekanisme penyelesaian pengaduan.
Pemerintah Indonesia menjadi pihak dalam perjanjian-perjanjian internasional utama terkait hak asasi manusia, yang menetapkan standar dan perlindungan atas hak properti, standar hidup yang layak, partisipasi, dan pemulihan yang efektif. Indonesia juga menandatangani Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Perjanjian Paris 2015 tentang Perubahan Iklim. Sejalan dengan kewajiban dalam kerangka ini, Indonesia telah menetapkan rencana aksi nasional terkait perubahan iklim dan berkomitmen mengurangi emisi hingga 29 persen dari skenario business-as-usual pada 2030, atau 41 persen dengan bantuan internasional. Namun dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menuai kecaman dari dalam dan luar negeri karena tidak lebih ambisius dalam mengurangi emisi gas rumah kaca berdasarkan Perjanjian Paris. Selain itu, Indonesia juga menghadapi kritik karena minimnya penegakan aturan untuk mengelola dan mencegah kerusakan lahan gambut, termasuk kerusakan akibat kebakaran dan kabut asap, sehingga tujuan mereka hampir tidak mungkin tercapai. Lebih lanjut, pemerintah tetap mendorong peningkatan produktivitas di sektor kelapa sawit tanpa memastikan bahwa industri ini tidak meneruskan ekspansi dan konversi hutan alam dan kawasan gambut.
Pemerintah Indonesia tidak hanya memiliki kewajiban afirmatif untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim, tetapi juga berkewajiban menghormati dan melindungi kebebasan fundamental, serta mencegah perusahaan mengganggu hak masyarakat pedesaan atas properti dan standar hidup yang layak. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia dapat mengakses pemulihan yudisial dan non-yudisial yang efektif.
Perusahaan bisnis, dalam hal ini perusahaan perkebunan kelapa sawit, belum menghormati hukum nasional, termasuk soal konsultasi dan pemberian kompensasi hak atas tanah. Mereka harus memenuhi tanggung jawab mereka untuk menghormati hak asasi manusia, bahkan ketika pemerintah sendiri gagal memenuhi tanggung jawabnya atau memantau kepatuhan mereka. Selain itu, perusahaan-perusahaan pemilik merek internasional yang produknya menggunakan minyak sawit dan turunannya memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia di seluruh rantai pasok mereka. Perusahaan-perusahaan ini harus mendukung ketertelusuran minyak sawit mereka dan memastikan bahwa sumber bahan baku mereka tidak menyebabkan, berkontribusi, atau terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia dan degradasi lingkungan.
Rekomendasi
Kepada Pemerintah Indonesia
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus mengkoordinasikan dan membuat peta penggunaan lahan terperinci yang dapat diakses oleh publik, membedakan kawasan produksi pertanian dan silvikultur (perkebunan dan petani kecil) dari kawasan konservasi atau restorasi dan hutan alam, termasuk lahan gambut alami.
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, bersama kementerian/lembaga terkait dan organisasi masyarakat sipil, harus memberikan panduan legislasi yang menjelaskan partisipasi warga dalam proses pengadaan tanah, termasuk prosedur konsultasi yang bermakna selama proses permohonan perizinan (misalnya, izin lokasi; lingkungan, atau AMDAL; "hak eksploitasi" atau HGU; dan izin lainnya) yang membutuhkan keterlibatan masyarakat dalam proses pengalihan lahan.
Kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN)
- Memberikan instruksi yang jelas dalam mereformasi prosedur registrasi tanah adat untuk memastikan transparansi dan partisipasi masyarakat dan kelompok masyarakat sipil, dan menciptakan mekanisma penyelesaian pengaduan yang berfungsi dengan baik dan dapat diakses oleh masyarakat miskin pedesaan untuk menyelesaikan klaim individu atau masyarakat atas tanah.
- Memastikan bahwa masyarakat setempat diajak berkonsultasi sebelum penerbitan izin lokasi dan HGU untuk perusahaan. Mensyaratkan bahwa perempuan, termasuk perempuan pedesaan, berpartisipasi dan turut mengambil manfaat dari pembangunan desa, termasuk dalam pengambilan keputusan terkait dengan alokasi dan transfer lahan, serta perjanjian plasma.
- Bekerja sama dengan Tim Reforma Agraria Nasional yang dibentuk oleh Presiden untuk menginvestigasi dan memberikan sanksi terhadap setiap perusahaan perkebunan sawit yang gagal melaksanakan konsultasi memadai dan memberi kompensasi bagi masyarakat yang terdampak. Mengambil tindakan tegas untuk memediasi dan menyelesaikan konflik lahan sesuai masa waktu yang ditetapkan.
Kepada Kementerian Pertanian, termasuk Lembaga Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN)
- Menyediakan sumber daya keuangan dan teknis yang memadai dan efektif untuk memantau kepatuhan perusahaan dan perkebunan kelapa sawit terhadap undang-undang nasional.
- Melembagakan mekanisme pemerintah yang efektif untuk pengelolaan konflik dan prosedur pengaduan bagi masyarakat yang terkena dampak, serta mekanisme pemantauan pihak ketiga untuk operasi kelapa sawit. Langkah-langkah ini juga harus dimasukkan sebagai persyaratan wajib dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
- Memasukkan standar HAM internasional tentang keberlanjutan yang melindungi hak masyarakat dan lingkungan ke dalam regulasi ISPO, termasuk dalam Prinsip dan Kriterianya.
- Secara eksplisit memasukkan pedoman tentang perlindungan hutan alam dan hutan sekunder, termasuk lahan gambut, ke dalam Prinsip dan Kriteria ISPO.
- Merevisi regulasi ISPO, termasuk bagian Prinsip dan Kriteria, untuk mensyaratkan keterlacakan minyak sawit sebagai prasyarat sertifikasi.
- Menggabungkan mekanisme pemantauan independen dan penegakan hukum yang efektif ke dalam regulasi ISPO, lengkap dengan penalti dan insentif, untuk memastikan bahwa bisnis yang tidak patuh akan diberi sanksi yang sesuai dan bisnis yang patuh akan diberi penghargaan.
- Mewajibkan perusahaan untuk mengukur emisi gas rumah kaca langsung dan tidak langsung yang dihasilkan dari operasi mereka, menetapkan target untuk menguranginya sejalan dengan tujuan Perjanjian Paris, dan secara terbuka melaporkan kemajuan mereka untuk memenuhi target ini.
- Memperjelas persyaratan hukum dan memasukkan standar hukum yang jelas dan transparan ke dalam audit sertifikasi ISPO:
- Mempublikasikan pedoman dan norma penilaian yang jelas tentang pelaksanaan audit ISPO, pengaduan dan banding, penyelesaian sengketa, pengungkapan publik, dan pemantauan.
- Memastikan bahwa norma penilaian memverifikasi kepatuhan perusahaan dengan undang-undang yang melindungi hak masyarakat setempat atas tanah, termasuk prosedur izin “hak eksploitas” (HGU) dari pemerintah yang memerlukan keterlibatan masyarakat dalam proses pengalihan lahan.
- Memastikan bahwa kebijakan dan praktik perusahaan tentang keberlanjutan sosial dan lingkungan telah efektif dalam mencegah kerugian, tak sekadar mensurvei apakah rencana sudah ada tanpa memperhatikan dampak aktualnya.
- Menerapkan perjanjian ganti rugi, termasuk perjanjian perkebunan plasma masyarakat, dengan desa-desa yang terkena dampak.
- Memperkuat transparansi sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dengan cara:
- Membuat pedoman yang jelas untuk partisipasi masyarakat sipil selama proses audit—mulai dari merancang audit, mengumpulkan informasi, briefing pascaaudit, hingga berbagi temuan. Pedoman ini juga harus mencakup kerja sama penuh dengan pemantau masyarakat sipil seperti Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) dan Konsorium Pembaruan Agraria, termasuk dengan memberikan informasi yang memadai agar masyarakat sipil yang bertindak sebagai pemantau dapat melakukan pengawasan dan berpartisipasi penuh dalam audit.
- Membuat mekanisme penyelesaian keluhan bagi masyarakat yang terkena dampak dan pemangku kepentingan untuk mengajukan keberatan atas sertifikasi yang telah dikeluarkan, menilai kembali sertifikasi yang dikeluarkan oleh badan independen, dan mempublikasikan hasil dari penilaian tersebut.
- Mempublikasikan semua hasil audit dan sertifikasi ISPO yang dikeluarkan.
- Meningkatkan kesadaran dan memberikan pelatihan tentang alternatif dari teknik tradisional “tebang dan bakar”, yang biasa digunakan oleh petani kecil pedesaan, alih-alih menangkap dan menuntut kegiatan pembakaran skala kecil.
Kepada Kepolisian Republik Indonesia
- Memastikan penegakan hukum terkait sengketa tanah yang transparan dan tidak memihak
- Mengembangkan pedoman internal untuk menangani sengketa terkait lahan antara masyarakat lokal dan perusahaan negara atau swasta, termasuk di perkebunan kelapa sawit.
- Merujuk petani kecil pedesaan yang ditemukan menggunakan teknik tradisional tebang-dan-bakar ke layanan penyuluhan pertanian untuk menerima pelatihan tentang metode alternatif dari teknik ini, alih-alih menuntut mereka.
Kepada PT Sintang Raya dan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Lainnya
- Mematuhi kewajiban di bawah hukum Indonesia untuk melakukan konsultasi yang memadai dengan masyarakat setempat yang terkena dampak pembebasan lahan, dampak sosial dan lingkungan sebelum membangun atau memperluas operasi. Memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat, dan memberikan mereka kompensasi yang adil, sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang.
- Melakukan penilaian uji tuntas hak asasi manusia atas usaha sawit yang diusulkan untuk mengidentifikasi dampak yang berpotensi membahayakan. Hanya melanjutkan proses jika dampak hak asasi manusia dapat dimitigasi secara memadai untuk menghindari kerugian bagi masyarakat terdampak.
- Tak melanjutkan pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan yang sudah diklaim sebelumnya, sampai klaim tersebut diselesaikan.
- Mempublikasikan upaya hasil uji tuntas hak asasi manusia secara berkala, termasuk kajian tentang:
- risiko hak asasi manusia dan dampak merugikan dari operasi yang diidentifikasi (termasuk pada lingkungan setempat dan kontribusi dampak operasi terhadap perubahan iklim);
- berbagai tindakan yang diambil untuk mengatasinya;
- metode untuk memastikan pemulihan yang tepat; dan
- hasil dan efektivitas dari langkah-langkah tersebut.
- Melibatkan LSM lokal untuk merancang dan melembagakan prosedur pengaduan yang transparan, efektif, bermakna, dan dapat diakses untuk masyarakat terdampak.
- Mempublikasikan nama, lokasi, dan informasi penting lainnya dari pihak-pihak lain yang terlibat dalam rantai pasok mereka untuk memfasilitasi peningkatan prosedur pengaduan bagi mereka yang terkena dampak merugikan.
Kepada Semua Perusahaan, Baik Lokal maupun Internasional, yang Memperoleh Minyak Sawit dari Indonesia
- Menjadikan keterlacakan sebagai bagian penting dari proses uji tuntas hak asasi manusia perusahaan dan mempublikasikan nama, alamat, dan detail relevan lainnya dari perkebunan kelapa sawit yang merupakan bagian dari rantai pasok perusahaan.
- Mengakui keterbatasan serius dari sertifikasi ISPO untuk minyak sawit termasuk minimnya kredibilitas, dan mendorong akses pekerja perkebunan kelapa sawit dan masyarakat untuk mekanisme penyelesaian keluhan yang efektif, termasuk mekanisme anti-pembalasan. Melibatkan LSM lokal untuk merancang dan mengembangkan prosedur pengaduan yang efektif dan mudah diakses.
- Mempublikasikan secara rutin keseluruhan tindakan analisis, pencegahan, dan mitigasi risiko hak asasi manusia oleh perusahaan, serta ukuran yang digunakan untuk menilai dampak dari langkah-langkah tersebut. Secara khusus, memastikan bahwa penilaian risiko perusahaan bisa menangani risiko hak asasi manusia yang terkait dengan sumber minyak sawit, khususnya risiko hak atas tanah, mata pencarian, dan lingkungan.
- Menyusun kode etik bagi pemasok untuk mengidentifikasi dan menilai risiko dan dampak hak asasi manusia dan lingkungan dari tindakan dan kelalaian perusahaan kelapa sawit dalam menjalankan operasi perkebunan, penyulingan, dan relasi bisnis, termasuk dalam rantai pasok global mereka.
- Identifikasi dan penilaian risiko hak asasi manusia dan lingkungan harus mencakup semua aktivitas bisnis, termasuk memeriksa praktik yang menyebabkan atau berkontribusi pada dampak lingkungan dan dampak lainnya yang merugikan, atau dampak yang mungkin terkait langsung dengan operasi, produk, atau layanan melalui relasi bisnis.
Kepada Pemerintah Donor, Uni Eropa, dan Lembaga Internasional Lainnya
- Secara aktif mendukung reformasi tata kelola di Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Pertanian, termasuk skema sertifikasi ISPO, agar dapat lebih melindungi hak asasi bagi mereka yang terkena dampak perkebunan kelapa sawit, termasuk yang terkait dengan lingkungan dan perubahan iklim, keterlacakan, dan uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan untuk minyak sawit dan turunannya.
- Mendesak pihak berwenang Indonesia untuk mengadopsi semua reformasi dan kebijakan yang diperlukan seperti yang tercantum di atas.
- Merundingkan dan memastikan bahwa ketentuan yang kuat dan dapat ditegakkan terkait hak asasi manusia dan pembangunan berkelanjutan dimasukkan ke dalam semua kesepakatan perdagangan bilateral dengan Indonesia.
- Menerapkan hukum wajib tentang hak asasi manusia dan uji tuntas lingkungan yang berlaku untuk rantai nilai global perusahaan internasional, termasuk pengadaan bahan mentah mereka seperti minyak sawit.
- Mengesahkan uji tuntas yang mencegah deforestasi di rantai pasokan komoditas berbasis lahan, seperti minyak sawit.
Kepada Pemerintah Keuangan Internasional, PBB, dan Lembaga Bantuan Internasional Lainnya
- Mendesak tercapainya hasil reformasi tata kelola tertentu, termasuk moratorium izin kelapa sawit yang berlaku saat ini dan moratorium penggunaan lahan baru di hutan primer dan lahan gambut.
- Menyertakan perlindungan lahan gambut di hutan dalam semua perjanjian antar pemerintah terkait yang berkaitan dengan perubahan iklim, keanekaragaman geologi, dan keanekaragaman hayati.
Metodologi
Laporan ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Human Rights Watch antara Maret hingga September 2018 di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, serta wawancara dan konsultasi lanjutan dari September hingga Desember 2020 melalui platform virtual. Peneliti Human Rights Watch mengunjungi desa Seruat Dua, Mengkalang Jambu, dan Olak Olak, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, pada April dan Mei 2018. Human Rights Watch juga melakukan wawancara dengan perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan pengacara di Jakarta, Bogor, dan Pontianak antara Februari 2018 hingga Maret 2021.
Fokus penelitian adalah perkebunan kelapa sawit dan dampaknya terhadap komunitas transmigran yang tinggal di lahan gambut. Kami dibantu oleh konsultan lokal dan perwakilan LSM di Pontianak, Kalimantan Barat. Penelitian ini melengkapi laporan Human Rights Watch sebelumnya yang terbit pada September 2019, “’Kehilangan Hutan Berarti Kehilangan Segalanya’: Perkebunan Kelapa Sawit dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia”, yang ditulis bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi hak-hak adat terbesar di Indonesia.[1]
Para peneliti melakukan wawancara dengan lebih dari 90 warga komunitas transmigran di Kabupaten Kubu Raya, pengacara yang memberi bantuan hukum, dan perwakilan LSM yang fokus pada reformasi pertanahan dan agraria di Indonesia. Delapan wawancara dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari tiga sampai sepuluh orang; sedangkan sisanya adalah wawancara individu. Semua wawancara, kecuali beberapa wawancara dengan perwakilan LSM nasional dan akademisi, dilakukan dalam bahasa Indonesia, dibantu oleh juru bahasa perempuan. Tidak ada anak yang diwawancarai untuk penelitian ini.
Warga yang diwawancarai tidak menerima kompensasi apa pun untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Para responden diberitahu tentang tujuan wawancara, sifat sukarela, dan cara penggunaan data. Mereka diberitahu bahwa mereka dapat menolak untuk menjawab pertanyaan atau dapat mengakhiri wawancara kapan saja. Mereka secara lisan setuju untuk diwawancarai.
Pada Februari 2021, Human Rights Watch mengirimkan surat via surat elektronik (email) dan kurir, menjelaskan tentang riset yang kami lakukan sekaligus meminta informasi dari PT Sintang Raya dalam bentuk daftar pertanyaan. Perusahaan tidak menanggapi surat kami tersebut. Pada Mei 2021, Human Rights Watch kembali mengirimkan surat melalui email, faks, dan kurir kepada PT Sintang Raya dan perusahaan induknya, PT Miwon Indonesia Tbk dan Daesang Corporation. Surat kedua ini menjelaskan hasil temuan kami, berikut sejumlah pertanyaan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Hingga laporan ini diterbitkan, baik PT Sintang Raya maupun kedua perusahaan induknya belum memberikan tanggapan.
Pada Februari 2021, Human Rights Watch mengirimkan surat via email dan kurir kepada sejumlah instansi pemerintah daerah di Kalimantan Barat, termasuk Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Pertanian, Kantor Perwakilan Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Barat, Kepala Kepolisian Daerah, dan Kantor Gubernur Kalimantan Barat. Human Rights Watch juga melayangkan surat via email dan kurir kepada Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Jakarta. Human Rights Watch belum menerima tanggapan dari kementerian/lembaga dan instansi-instansi tersebut.
Para peneliti mengkaji berbagai sumber data primer, antara lain undang-undang, peraturan menteri, putusan pengadilan, dan dokumen hukum lainnya yang terkait dengan komunitas-komunitas yang diteliti di Kalimantan Barat. Human Rights Watch menganalisis citra satelit, peta, dan data lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya untuk memantau deforestasi, keberadaan dan degradasi lahan gambut, serta perluasan perkebunan ke Desa Seruat Dua, Mengkalang Jambu, dan Olak Olak. Human Rights Watch juga meninjau sejumlah sumber data sekunder, termasuk artikel-artikel jurnal ilmiah tentang perubahan iklim dan degradasi lahan gambut, laporan dari berbagai LSM dan lembaga penelitian, serta publikasi media untuk menguatkan temuan penelitian.
Laporan ini menggunakan nama samaran untuk beberapa individu yang diwawancarai Human Rights Watch demi melindungi privasi mereka. Dalam beberapa kasus, informasi lainnya juga dirahasiakan untuk mencegah kemungkinan tindakan pembalasan.
Tentang Lokasi dan Komunitas yang Diteliti
Desa Seruat Dua, Mengkalang Jambu, dan Olak Olak di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, adalah rumah bagi komunitas nelayan dan petani yang umumnya menggarap tanaman pangan seperti padi dan sayur mayur untuk menghidupi keluarga mereka, juga tanaman kelapa, yang diolah menjadi kopra (gula kelapa) atau minyak untuk dijual di Kubu dan Pontianak. Masyarakat juga bergantung pada panen kepiting, ikan, dan udang untuk dimakan sendiri atau dijual. Mereka terdiri dari keluarga para pendatang sukarela yang tiba pada 1930-an dan keluarga transmigran yang direlokasi melalui program pemerintah pada 1950-an. Pengaturan tenurial bergantung pada status keluarga. Sebagian besar transmigran memiliki dokumentasi formal untuk membuktikan hak milik atas tanah mereka, termasuk lahan pertanian, sementara sebagian besar dari para pendatang sukarela ini tidak punya hak milik atas tanah yang mereka garap, dan karena itu mereka mengelola tanah melalui sistem adat.
Hampir seluruh wilayah Kubu Raya merupakan dataran rendah dan rawa-rawa dengan ekosistem bakau yang kaya akan flora dan fauna. Data sebaran lahan gambut dari Badan Restorasi Gambut (BRG), berdasarkan sebuah platform daring milik pemerintah untuk memantau restorasi gambut, menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Kubu Raya terdiri dari lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter.[2]
Seruat Dua
Seruat Dua adalah sebuah desa yang indah di sepanjang cerukan masuk yang terhubung ke Sungai Kapuas dan dipenuhi hutan bakau dan pohon kelapa dewasa. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, Seruat Dua berpenduduk 1.753 jiwa termasuk anak-anak.[3] Luas wilayah Desa Seruat Dua adalah sekitar 7.750 hektar. [4] Letaknya berada di dekat pesisir di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dan merupakan wilayah yang mengalami salah satu tingkat deforestasi tertinggi di dunia terutama karena kelapa sawit. Kawasan ini juga memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia. Berdasarkan estimasi sebaran lahan gambut dari JAMRUT KALBAR (Jaringan Masyarakat Gambut Kalimantan Barat), sekitar 2.060 hektare atau 40 persen dari total luas Seruat Dua merupakan lahan gambut. Seruat Dua dibagi menjadi empat wilayah yang masing-masing dipimpin oleh seorang Ketua Rukun Warga (RW). Keempat RW tersebut adalah: Parit H. Abdurrahman, Parit Haji Husein, Parit Longkader, dan Parit Surabaya.
Mengkalang Jambu[5]
Lahan di Desa Mengkalang Jambu terdiri dari campuran lahan gambut, rawa, dan dataran berlumpur dengan luas sekitar 6.200 hektare. PT Sintang Raya mengoperasikan perkebunan di wilayah yang mencakup sebagian tanah desa. Sekitar 3.500 hektare (56 persen dari total luas desa) adalah lahan gambut, di mana 29 persen—lebih dari 1.000 hektare—berada dalam wilayah konsesi Perkebunan PT Sintang Raya. Sisanya, sekitar 2.700 hektare (44 persen) dari luas desa, merupakan lahan bakau. Menurut SK Menteri Kehutanan tahun 2014, 40 persen desa Mengkalang Jambu ditetapkan sebagai hutan lindung dan kawasan pemanfaatan lainnya.[6] Menurut seorang Ketua RT (Rukun Tetangga) di Mengkalang Jambu, Pada 2015 diperkirakan 137 KK (700 jiwa) terdampak konflik hak atas tanah antara masyarakat dengan PT Sintang Raya.[7] Keluarga pendatang di Mengkalang Jambu dapat menelusuri sejarah mereka di daerah tersebut sejak tahun 1935. Masyarakat di Desa Mengkalang Jambu terdiri dari beberapa suku, antara lain Melayu, Jawa, dan Bugis.
Olak Olak [8]
Olak Olak adalah desa transmigrasi, dengan gelombang transmigran pertama dari pulau Jawa tiba pada 1957.[9] Setelah itu, makin banyak transmigran Jawa yang datang antara 1969 hingga 1997. Pemerintah memberikan para transmigran ini sertifikat untuk dua hektare lahan, yang digunakan oleh kebanyakan transmigran untuk menanam padi, berbagai tanaman pangan, dan kelapa. Dengan luas total sekitar 5.568 hektare, Olak Olak merupakan desa terbesar kedua di Kabupaten Kubu Raya. Sekitar 331 hektare (6 persen dari total luas desa) merupakan hutan bakau yang berada di sepanjang Sungai Kapuas. Diperkirarakan jumlah penduduknya sekitar 4.860 jiwa (lebih dari 1.250 KK). Perkebunan kelapa sawit yang dimiliki PT Sintang Raya (PT SR) dan PT Cipta Tumbuh Berkembang (PT CTB) mencapai sekitar 76 persen dari total wilayah desa. Sisa wilayah di luar konsesi perkebunan digunakan warga untuk pemukiman, kebun dan persawahan, serta hutan bakau. Sekitar 4.831 hektare (87 persen dari total luas desa) adalah lahan gambut yang mengalami degradasi akibat pembukaan dan pengeringan lahan untuk ekspansi dan eksploitasi perkebunan kelapa sawit.[10] Kebakaran lahan gambut pada 2015 akibat pengeringan yang berlebihan memperparah penurunan populasi flora dan fauna di Desa Olak Olak Kubu.
I. Latar Belakang
Pemerintah Indonesia mendorong kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk pembangunan ekonomi, tetapi pada praktiknya, kebijakan tersebut melemahkan hak milik, hak atas mata pencarian, dan hak asasi manusia lainnya dari masyarakat pedesaan yang tinggal di atau dekat lahan yang diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Dengan mengizinkan konversi lahan gambut untuk pertanian komersial, Indonesia telah membiarkan penghancuran besar-besaran salah satu penyerap karbon terpenting di dunia, dan menghambat upaya mengurangi emisi karbon untuk mencegah dampak terburuk dari perubahan iklim.
Program transmigrasi yang berlangsung selama puluhan tahun untuk merelokasi puluhan juta orang ke daerah yang kurang padat penduduknya ini diwarnai dengan kritik terkait degradasi lingkungan dan konflik antara masyarakat adat dan komunitas transmigran. Pemerintah Indonesia juga telah mendorong produksi minyak sawit berskala luas oleh petani komersial besar. Selain itu, konsesi perkebunan yang dialokasikan bertumpang tindih dengan tanah yang diklaim oleh masyarakat adat dan pemukiman transmigran. Meski pemerintah menggembar-gemborkan program transmigrasi dan kebijakan terkait produksi minyak sawit sebagai kunci kemajuan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, program ini menyebabkan masyarakat tidak memiliki jaminan kepemilikan atas tanah yang mereka andalkan untuk bertahan hidup. Dengan tiadanya pengawasan yang memadai dan penegakan hak, kepentingan yang bersaing di antara masyarakat adat, komunitas transmigran, dan bisnis atas tanah dan hutan telah menimbulkan konflik dan mengakibatkan pelanggaran hak yang parah. Lahan hutan dan lahan gambut yang menjadi objek sengketa berperan penting dalam menyerap karbon dioksida yang dilepaskan dari pembakaran bahan bakar fosil.
Program Transmigrasi Indonesia
Program Transmigrasi adalah salah satu skema pemindahan penduduk yang terbesar di dunia.[11] Kebijakan transmigrasi difokuskan pada pemindahan penduduk Indonesia dari pulau-pulau padat penduduk seperti Jawa, Madura, Bali dan—sejak 1973—Lombok, ke pulau-pulau terluar yang kurang padat penduduknya, terutama Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan baru-baru ini Papua.[12] Meski program ini merupakan skema pemerintah, keluarga transmigran dihadapkan pada kerentanan terkait kepemilikan dan sengketa tanah dengan masyarakat adat dan perusahaan bisnis.
Pemindahan penduduk miskin, terutama petani Jawa, yang disponsori negara ini telah menciptakan ketidaknyamanan yang dirasakan komunitas migran saat hidup berdampingan dengan penduduk asli di wilayah-wilayah seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya (sekarang disebut Papua dan Papua Barat).[13] Sejumlah pihak yang mengkritik program ini mengklaim bahwa para transmigran mengancam budaya masyarakat asli dan “semakin mengakibatkan ketidakstabilan di daerah-daerah yang sebelumnya sudah bermasalah”. [14] Pada 1985, program tersebut dijuluki sebagai '”Proyek Bank Dunia yang paling tidak bertanggung jawab“ oleh Survival International karena dampaknya terhadap deforestasi dan hak asasi manusia.[15]
Program transmigrasi masih berlangsung hingga saat ini.[16] Wakil Presiden Indonesia kala itu, Jusuf Kalla, dalam pembukaan Rapat Koordinasi Transmigrasi Nasional di Jakarta pada Agustus 2019, menyebut transmigrasi sebagai salah satu program yang telah memajukan negara dan meningkatkan produktivitas pertanian dengan menggabungkan berbagai keterampilan transmigran dan penduduk lokal.[17] Pemerintah meluncurkan gelombang baru program ini pada Desember 2019 sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, dengan target untuk mengembangkan 52 lokasi transmigrasi menjadi kota-kota baru.[18]
Hak-hak Tanah untuk Transmigran
Para transmigran ditempatkan ke dalam skema atau klaster di wilayah-wilayah yang telah ditentukan dan dengan dokumentasi resmi yang menetapkan hak atas kepemilikan.[19] Sebagian besar keluarga transmigran memiliki hak milik atas tanah mereka, tetapi mayoritas petani pemukim lainnya tidak secara formal menjadi bagian dari program ini termasuk di daerah pinggiran. Biasanya, setiap rumah tangga menerima dua hektare tanah yang terdiri dari tiga bidang: lahan usaha 1 (tanah untuk pertanian; LU1 0,75 hektare), lahan usaha 2 (LU2, 1 hektare), dan 0,25 hektare untuk pekarangan termasuk rumah dan kebun.[20]
Tanah dan rumah dibagikan dengan cara diundi. Program tersebut juga mencakup wilayah untuk fasilitas umum bagi masyarakat (sekolah, gereja, masjid, kuil, kuburan, kantor desa, dll.), serta tanah cadangan yang disebut tanah restan, sebagian besar terdiri dari hutan yang tersisa dari pembagian lahan. Para pihak yang mengkritik program ini berpendapat bahwa “pemberian sertifikasi tanah untuk transmigran tidak didefinisikan dengan jelas” dan bahwa ia “tidak mengandung perlindungan hukum preventif dan represif bagi transmigran dan masyarakat lokal dalam hal sertifikasi tanah untuk mencegah masalah hukum di masa depan.”[21] Dalam praktiknya, pemerintah telah memberikan konsesi lahan kepada perusahaan yang ternyata tumpang tindih dengan lahan yang dialokasikan untuk masyarakat transmigran. Ketika perusahaan tidak berkonsultasi dan memberi kompensasi kepada penduduk setempat, atau gagal melakukan penilaian dampak lingkungan dan sosial, hal ini mengakibatkan konflik.
Indonesia sebagai Penghasil Sawit Terbesar
Indonesia adalah penghasil dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Sebagian besar minyak sawit ini diproduksi di Riau, Kalimantan, dan Sumatra, wilayah-wilayah yang secara historis menjadi daerah fokus relokasi dalam program transmigrasi. Pada 2019, negara menghasilkan lebih dari 50 juta ton minyak sawit mentah (CPO), lebih dari setengah total produksi dunia dan lebih dari dua kali lipat produksi Malaysia sebagai produsen terbesar kedua.[22] Pada 2019, pasar ekspor utama minyak sawit Indonesia adalah Tiongkok (6 juta ton), India (4,8 juta ton), dan Uni Eropa (4,6 juta).[23]
Produksi minyak sawit Indonesia diproyeksikan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang, didorong oleh permintaan global akan oleokimia (senyawa kimia yang berasal dari industri yang diolah dari minyak atau lemak hewani atau nabati) dan biodiesel.[24] Meski Uni Eropa mengumumkan akan membatasi semua impor minyak sawit untuk biofuel seperti pada 2019 hingga 2023, dan penghapusan total pada 2030, destinasi ekspor baru di Afrika dan Amerika Utara mulai terbuka.[25]
Laporan-laporan terdahulu baik oleh Human Rights Watch maupun organisasi lainnya telah banyak menyoroti bahwa hukum yang lemah, diperparah dengan pengawasan pemerintah yang buruk, memungkinkan perusahaan perkebunan kelapa sawit melangkahi hak asasi manusia di dua komunitas adat di Provinsi Kalimantan Barat dan Jambi.[26] Pada 2019, penyelidikan pemerintah menemukan bahwa 3,1 juta hektare, atau sekitar 19 persen dari total perkebunan kelapa sawit di negeri ini, beroperasi di kawasan hutan tanpa izin yang sah dari pemerintah.[27]
Jumlah Sengketa Lahan Terkait Kelapa Sawit Data resmi yang lengkap dan mutakhir terkait konflik lahan sulit diperoleh. Ombudsman Republik Indonesia, lembaga pemerintah independen yang menyelidiki keluhan maladministrasi, menerima 450 laporan konflik terkait lahan di tingkat nasional, di mana 163 konflik melibatkan perkebunan kelapa sawit pada 2017. Konflik yang melibatkan perkebunan kelapa sawit merupakan konflik dengan jumlah tertinggi di semua sektor pada 2016 dan 2017. Pada 2018, tercatat ada lebih dari 1.000 pengaduan tanah oleh masyarakat, termasuk masyarakat adat, terhadap perusahaan. Pada 2017, Konsorsium Pembaruan Agraria, sebuah koalisi yang terdiri dari 153 organisasi masyarakat (petani, masyarakat adat, perempuan, nelayan, dan kelompok miskin kota), mendokumentasikan sekitar 659 “konflik agraria” (perselisihan terkait tanah) di seluruh negeri dan memengaruhi lebih dari 650.000 rumah tangga. Tercatat ada 410 konflik agraria pada 2018 dan 279 kasus Pada 2019. Laporan mereka menyatakan bahwa meski angka konflik baru terus menurun, “tingkat kebrutalan yang luar biasa, terjadi […] akibat konflik agraria, [oleh] aparat pemerintah”. Hal itu terlihat dari eskalasi kekerasan dalam penanganan sengketa tanah Pada 2019: 14 orang tewas dan 211 orang dianiaya, serta 258 orang ditangkap karena berjuang mempertahankan tanahnya. |
Pengeringan Lahan Gambut Besar-Besaran di Indonesia untuk Sawit
Lahan gambut adalah sejenis lahan basah yang terdapat di hampir setiap negara di dunia, dan menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar.[28] Faktanya, lahan gambut adalah penyimpan karbon terestrial alami terbesar; mengandung lebih banyak karbon dibandingkan gabungan semua jenis vegetasi lain di bumi.[29] Tindakan pemerintah yang lemah dan lamban karena kurangnya kemauan politik dan kepentingan persaingan lainnya, terutama dari sektor bisnis, menunjukan bahwa secara global, ekosistem unik ini telah dieksploitasi secara berlebihan dan dirusak melalui pengeringan, konversi lahan, pembakaran, dan penambangan untuk bahan bakar. Tindakan eksploitasi ini telah melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca ke atmosfer, termasuk karbon dioksida (CO2), dari karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut selama berabad-abad. Jika dibiarkan, pengeringan lahan gambut akan membuat pencapaian target penurunan 1,5 derajat Celcius dari Perjanjian Paris mustahil tercapai.[30]
Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 80 miliar ton karbon yang setara dengan sekitar 5 persen dari seluruh karbon tanah dunia. Perkiraannya bervariasi, tetapi sekitar 13 hingga 21 juta hektar lahan gambut menutupi sebagian dari provinsi Kalimantan, Sumatra, dan Papua.[31] Lahan gambut mencakup sekitar 29 persen dari Provinsi Kalimantan Barat, yang menurut perkirakan Wetlands International, luasnya mencapai sekitar 1,7 juta hektare. Menurut perkiraan tersebut, lahan gambut di Kalimantan Barat menyimpan 3,6 miliar ton karbon. Pada 2020, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan Indonesia memiliki sekitar 15 juta hektare lahan gambut, sebagian besar berada di Sumatra dan Kalimantan, di mana sekitar 25 persen atau 4 juta hektare, telah dikonversi menjadi hutan industri dan perkebunan melalui konsesi lahan untuk perusahaan.[32] Total luas lahan gambut di dalam wilayah konsesi, termasuk kawasan yang belum ditanami, berpotensi jauh lebih besar.
GAPKI dan lembaga pemerintah seperti Indonesia Sustainable Palm Oil atau Lembaga Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) memiliki tujuan utama meningkatkan produksi minyak sawit, termasuk di lahan gambut, dan GAPKI menyatakan hal ini dapat dilakukan secara “berkelanjutan”. [33] Namun, pengeringan yang diperlukan untuk budidaya kelapa sawit berskala besar di lahan gambut memiliki dampak lingkungan dan iklim yang serius yang jauh melampaui area perkebunan, seperti emisi CO2 yang tinggi dari oksidasi gambut, penurunan tanah, dan membuat tanah menjadi rentan terhadap kebakaran dan banjir. Peraturan yang ada tidak memadai, belum lagi penegakannya yang sangat lemah, untuk memastikan praktik yang berkelanjutan dan mematuhi hak asasi manusia di dalam industri ini.
Di seluruh dunia, lahan gambut yang terdegradasi, lewat pembukaan dan pengeringan lahan, merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca, yang melepaskan hampir 6 persen emisi antropogenik global—atau sekitar 1,3 gigaton—emisi CO2 setiap tahunnya.[34] Pembukaan lahan gambut untuk penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan (LULUCF), dan pengeringan yang dilakukan dalam kegiatan-kegiatan tersebut telah menjadi penyebab utama deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan penurunan lahan gambut di Indonesia.[35]
Selain memiliki signifikansi global yang berdampak secara langsung pada perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca yang tinggi, budidaya kelapa sawit di lahan gambut juga punya dampak lokal yang cukup besar, termasuk penurunan permukaan tanah gambut, banjir dan hilangnya produktivitas, dan perubahan aliran air/hidrologi. Pengeringan yang diperlukan untuk budidaya kelapa sawit menyebabkan oksidasi gambut dan membuat tanah lebih rentan terhadap kebakaran dan banjir.[36] Hidrologi perkebunan turut memengaruhi hidrologi di daerah sekitarnya, dan itu sebabnya dampak pengeringan dapat dirasakan hingga lima kilometer dari batas perkebunan dan dapat memicu kebakaran di luar perkebunan.[37] Selain pelepasan simpanan karbon, pengeringan lahan gambut juga mengubah lahan gambut menjadi titik api yang dapat berkontribusi terhadap polusi udara dan lonjakan mengkhawatirkan dalam berbagai emisi gas rumah kaca, di mana emisi CO2 menjadi perhatian terbesar.[38] Dengan pembukaan, pengeringan, dan pembakaran untuk menggantikan ekosistem gambut asli dengan kelapa sawit, tanah menyusut, dan dalam kasus komunitas yang kami teliti, menjadi lebih rentan dibanjiri air laut yang asin.[39]
Berdasarkan data sebaran lahan gambut dari Badan Restorasi Gambut (BRG), lembaga pemerintah yang memantau restorasi gambut, sebagian besar wilayah Kabupaten Kubu Raya adalah lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter. Hukum di Indonesia melarang perusahaan menanam di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, tetapi hukum acapkali dilanggar, dan penegakannya pun sulit dilakukan.[40] Kurangnya pemetaan pasti tentang sebaran lahan gambut dan kedalamannya mengakibatkan pemahaman yang memadai sulit diperoleh tentang di mana saja lokasi terjadinya budidaya di lahan gambut berskala besar yang tidak patuh di Indonesia. Data JAMRUT KALBAR (Jaringan Masyarakat Gambut Kalimantan Barat) menunjukkan bahwa sekitar 2.060 hektare atau 40 persen dari total luas Seruat Dua adalah lahan gambut.
Minimnya Upaya Pemerintah dan Industri untuk Mengatasi Risiko Lingkungan dari Perkebunan Sawit
Selama dua dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah langkah untuk mengurangi deforestasi[41] dan membatasi degradasi lahan gambut. Berbagai regulasi telah ditetapkan untuk mengelola pemanfaatan kawasan gambut.[42] Pada 2016, sebagai bagian dari kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contribution atau NDC)—komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi berdasarkan Perjanjian Paris—Presiden Indonesia Joko Widodo mendirikan BRG untuk merestorasi sekitar dua juta hektar lahan gambut yang sebagian terdegradasi, dan melarang kegiatan pembakaran untuk pembukaan lahan gambut.[43] Lembaga ini diberi mandat untuk mengkoordinasikan pemulihan sebagian lahan gambut yang terdegradasi di tujuh provinsi di bawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.[44]
Namun, terlepas dari mandat yang luas ini, BRG tidak memiliki kewenangan untuk memulai restorasi di lahan gambut di dalam wilayah konsesi mana pun, termasuk konsesi hutan industri dan kelapa sawit, dan kewenangan BRG untuk memberikan dukungan teknis terbatas hanya jika pemegang konsesi bersedia bekerja dengan lembaga ini untuk memulihkan sebagian lahan gambut yang terdegradasi. Sebagai contoh, BRG menandatangani nota kesepahaman dengan masyarakat Olak Olak dan Mengkalang Jambu untuk membantu pemulihan lahan gambut yang terdegradasi di kawasan tersebut.[45] Namun, BRG harus meminta persetujuan dari PT Sintang Raya untuk memulihkan lahan gambut di dalam wilayah konsesinya. Pada 2018, BRG telah merestorasi kurang dari 12 persen dari sekitar 1,7 juta hektare lahan gambut di lahan konsesi, dibandingkan dengan 87 persen restorasi dari 890.000 hektare lahan gambut yang terletak di lahan non-konsesi.[46]
Pada 2019, Presiden Jokowi membuat permanen moratorium yang sudah berlangsung lama terkait pembukaan hutan primer, termasuk lahan gambut berhutan dengan tujuan membatasi deforestasi dan degradasi lahan gambut.[47] Namun, moratorium ini punya banyak kelemahan: jutaan hektare hutan primer tidak lagi dimasukkan ke dalam wilayah yang dilindungi sejak larangan pertama pada 2011 menyusul klasifikasi ulang hutan oleh pemerintah; selain itu, moratorium ini mengecualikan wilayah yang sudah memiliki izin prinsip pada 2011, seperti izin kelapa sawit, meski wilayah tersebut berada di hutan primer.[48] Negara memiliki banyak regulasi yang berkaitan dengan hutan, pertanian, dan lingkungan. Namun, celah peraturan, pengawasan yang buruk, dan kepentingan pemerintah dalam mempromosikan peningkatan produksi minyak sawit untuk pasar domestik dan luar negeri membuat pemerintah kesulitan dalam mengkoordinasikan provinsi dan pemerintah pusat, menegakkan hukumnya sendiri, dan menjatuhkan sanksi atas ketidakpatuhan.[49]
Sementara itu, emisi gas rumah kaca Indonesia terus meningkat dan pemerintah gagal menetapkan target pengurangan yang memadai.[50] Climate Action Tracker, sebuah lembaga pemikir independen yang melacak aksi pemerintah untuk iklim, menilai bahwa target pengurangan emisi Indonesia dalam NDC 2016-nya “Sangat Tidak Mencukupi”, dan “sama sekali tidak konsisten dalam menjaga agar pemanasan tetap di bawah 2°C, apalagi dengan perjanjian Paris yang batasnya lebih ketat yaitu 1,5°C.” Pemerintah saat ini sedang dalam proses menyusun NDC baru.[51]
Sertifikasi Sawit
Pemerintah Indonesia memiliki mekanisme sertifikasi industri kelapa sawit, yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang menggabungkan sejumlah undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan, pembebasan lahan, dan budidaya kelapa sawit.[52] Mekanisme sertifikasi ini bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global, mendukung komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan keberlanjutan.[53] ISPO mengakreditasi perkebunan kelapa sawit yang mematuhi hukum lokal Indonesia dan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial, pengelolaan konservasi, termasuk melindungi hutan primer dan lahan gambut, meski komitmen iklim mereka tidak secara eksplisit melarang pembukaan hutan alam (primer dan sekunder) atau lahan gambut untuk perkebunan.[54] Tidak ada pedoman yang mewajibkan perkebunan untuk menyelesaikan sengketa terkait lahan dengan masyarakat adat atau komunitas lokal. Sertifikasi ISPO bersifat wajib bagi semua pelaku usaha perkebunan kelapa sawit besar di Indonesia dengan masa berlaku dan persyaratan kepatuhan yang bervariasi tergantung ukuran operasional perusahaan.[55] Pemerintah dapat menurunkan dan mencabut izin usaha perusahaan perkebunan yang tidak bersertifikat ISPO. Pada praktiknya, di tengah kurangnya pengawasan dan penegakan yang efektif, hanya ada sedikit bukti bahwa pemerintah memberikan sanksi kepada perkebunan yang belum memperoleh sertifikasi yang disyaratkan.[56] Para ahli mengkritik ISPO karena tidak memiliki perlindungan lingkungan yang memadai, mengabaikan hak asasi manusia, pemantauan dan pengawasan yang lemah, kurangnya mekanisme penyelesaian terkait keluhan masyarakat, dan penegakan hukum yang buruk.[57] ISPO dinilai masih kurang efektif jika dibandingkan dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), standar sertifikasi minyak sawit global.[58]
II. Temuan Penelitian: Kesewenang-wenangan terhadap Masyarakat Transmigran di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat
Pemerintah Indonesia telah memberikan sejumlah konsesi perkebunan atas lahan yang mencakup tanah milik desa-desa transmigrasi,[59] melanggar hak kepemilikan mereka, serta memicu konflik di antara perusahaan-perusahaan perkebunan dan para petani. Berbagai badan pemerintahan yang terlibat juga telah lalai mengawasi kepatuhan perusahaan-perusahaan itu terhadap prosedur wajib untuk mendapatkan sertifikat serta pengesahan dari pemerintah. Perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit menyerobot lahan warga desa tanpa menyediakan lahan pengganti dan kompensasi yang memadai, bahkan tanpa berkonsultasi—mempertebal lapisan pelanggaran atas hak milik warga. Sementara itu, anggota masyarakat yang berusaha memperjuangkan hak-hak mereka diintimidasi oleh polisi. Polisi juga menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh masyarakat serta memaksakan kehadiran aparat di desa-desa sebagai upaya yang terang-terangan untuk menggembosi perlawanan. Rangkaian investigasi Human Rights Watch terhadap perkebunan-perkebunan yang dikelola PT Sintang Raya bermaksud menggambarkan isu-isu yang lebih luas tersebut.
Human Rights Watch meneliti kegiatan-kegiatan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sintang Raya di lahan-lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Perusahaan ini memiliki sejumlah perkebunan di berbagai desa di seluruh kabupaten, termasuk Seruat Dua, Mengkalang Jambu, dan Olak Olak. Kebun-kebun kelapa sawit ini mulai beroperasi di antara 2004 dan 2007, kian meluas, dan berlanjut hingga hari ini.
Sebagaimana diuraikan di bawah, kami menemukan bahwa kegiatan operasi PT Sintang Raya tidak mematuhi aturan setempat dan telah merampas lahan yang dimiliki para transmigran serta ditinggali masyarakat pendatang tanpa konsultasi atau ganti rugi yang memadai, sementara instansi pemerintah terkait tak kunjung menjamin penyelesaian masalah-masalah yang dikeluhkan warga. PT Sintang Raya tidak berkonsultasi secara memadai dengan masyarakat sebelum mengupayakan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah yang memperbolehkannya membuka perkebunan di lahan tersebut. Perusahaan ini membangun perkebunan-perkebunan kelapa sawit di lahan pertanian, mengakibatkan warga kehilangan mata pencarian; dan operasi perkebunan berkontribusi terhadap penurunan mutu lingkungan: hama bertambah banyak, salinitas (kadar garam) air di permukaan dan tanah meninggi, dan pada gilirannya semua itu memengaruhi hasil panen dan ketahanan pangan.
Masyarakat transmigran dan pendatang masih berjibaku dengan dampak serius kegiatan perkebunan terhadap hak-hak kepemilikan mereka atas lahan, standar hidup layak, partisipasi, dan ganti rugi yang tepat. Hak para aktivis dan pembela HAM masyarakat untuk memperjuangkan isu-isu lahan juga diserang. Lembaga-lembaga masyarakat dan warga menyatakan bahwa kepolisian setempat membalas unjuk rasa damai untuk memprotes perluasan perkebunan ke lahan-lahan pertanian warga dengan intimidasi. Mereka menduga kepolisian memanfaatkan bentrokan yang terjadi dalam aksi-aksi itu untuk membenarkan penggerebekan rumah, pelecehan, dan penangkapan anggota-anggota masyarakat. Kerugian demi kerugian, khususnya yang dialami para perempuan transmigran, diabaikan begitu saja. Pemerintah gagal menjalankan amar putusan pengadilan di ketiga daerah terdampak,[60] yaitu menjamin penyelesaian konflik antara perusahaan dan warga serta memastikan perusahaan mengambil langkah-langkah untuk memitigasi kerugian yang telah disebabkan oleh operasinya di kawasan ini.
Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit: PT Sintang Raya di Kubu Raya
Pada 2004, pemerintah Indonesia menerbitkan surat izin lokasi untuk PT Sintang Raya atas lahan seluas 20.000 hektare di Kubu Raya, termasuk lahan yang dianggap oleh kelompok-kelompok masyarakat transmigran dan pendatang sebagai milik mereka, ditambah Izin Usaha Perkebunan (IUP).[61] Pada 2007, PT Sintang Raya mulai membuka lahan, termasuk hutan-hutan di kawasan tersebut, dan memperoleh izin lingkungan hidup (AMDAL) pada 2008.[62] Berselang setahun, Badan Pertanahan Nasional menerbitkan HGU untuk perusahaan tersebut atas lahan seluas lebih dari 11.000 hektare.[63] HGU adalah surat izin pemerintah yang memberikan hak mengeksploitasi kawasan tertentu pada lahan, umumnya berlaku 25 tahun, tetapi bisa menjadi 35 tahun bagi usaha-usaha yang memerlukan waktu ekstra, dan durasi ini dapat diperpanjang.
Pada 11 November 2009, PT Sintang Raya menjadi Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (joint venture) dengan PT Miwon Agro Kencana Sakti (PT Miwon Indonesia Tbk), anak perusahaan Daesang Corporation yang berbasis di Korea Selatan.[64] Dalam sebuah surat yang dikirimkan PT Sintang Raya kepada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengenai tuduhan pelanggaran-pelanggaran HAM dalam kegiatan usahanya di Kubu Raya, perusahaan ini menerangkan bahwa operasinya tidak lagi terafiliasi dengan konglomerat Miwon.[65] Situsweb PT Miwon Indonesia menunjukkan bahwa kedua perusahaan masih berafiliasi. Hingga Maret 2016, PT Sintang Raya telah menanam kelapa sawit di 9.300 dari 11.000 hektare lahan konsesinya; dan menggunakan 556 hektare untuk membangun jalan-jalan, gedung-gedung, jalur-jalur irigasi, dan infrastruktur lainnya.[66] PT Sintang Raya bukan anggota RSPO, tetapi mengantongi sertifikasi wajib Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).[67]
Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan (PBHK) menyatakan bahwa lahan yang diberikan pemerintah untuk PT Sintang Raya pada 2009 menerabas tanah milik tujuh desa pertanian—Seruat Dua, Seruat III, Mengkalang Jambu, Mengkalang Guntung, Sui Selamat, Sui Ambawang, dan Dabong.[68] Dengan penerbitan HGU, PT Sintang Raya telah memperluas perkebunan dan operasi penggilingannya di seluruh desa-desa tersebut sekaligus merangsek ke desa kedelapan, Olak Olak.[69]
Indonesia memiliki sejumlah undang-undang dan peraturan yang mewajibkan perusahaan berkonsultasi dengan masyarakat yang akan terdampak oleh kegiatan-kegiatannya pada tahap awal permohonan izin pemerintah.[70] Namun, kenyataannya, pengawasan pemerintah atas pelaksanaan konsultasi ini longgar, kalau bukan tak ada sama sekali.[71]
Menurut hukum Indonesia, perusahaan harus membayar kompensasi atas lahan sekaligus potensi keuntungan dari lahan tersebut kepada para pemiliknya. UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 39/2014 tentang Perkebunan mengharuskan perusahaan pemegang surat izin mengganti kerugian masyarakat yang kehilangan akses terhadap lahannya akibat proyek-proyek kehutanan atau agrikultur baru.[72] Undang-undang yang mengatur proses permohonan izin perkebunan juga menyatakan bahwa pejabat yang berwenang harus terlebih dahulu memastikan bahwa perusahaan telah berencana membangun “perkebunan rakyat” (plasma) atau menyediakan peluang-peluang bisnis lain yang menguntungkan bagi warga setempat.[73] “Perkebunan rakyat” adalah skema kemitraan di mana perusahaan perkebunan kelapa sawit membuka perkebunan untuk masyarakat dengan luas sekurangnya 20 persen dari keseluruhan lahan yang dikelola perusahaan. Kemitraan ini bertujuan untuk membantu masyarakat, termasuk lewat pinjaman, pembagian keuntungan, dan model-model pembiayaan lain yang telah disepakati.[74]
Pada 2020, Human Rights Watch menyurati PT Sintang Raya untuk meminta informasi tentang operasinya, kajian risiko HAM-nya, serta rencananya perihal mencegah risiko, mitigasi, dan ganti rugi. Pada 2021, kami kembali menyurati PT Sintang Raya untuk membagikan temuan penelitian kami sekaligus melayangkan sejumlah pertanyaan. Hingga laporan ini diterbitkan, perusahaan tersebut belum merespons.
Melangkahi Hak-Hak Lahan Masyarakat Transmigran
Dengan mengizinkan dan membuka perkebunan-perkebunan kelapa sawit di tanah milik masyarakat transmigran, pemerintah Indonesia dan PT Sintang Raya telah merampas lahan penghidupan para petani secara sewenang-wenang. Hukum dan standar hak asasi manusia internasional mengatur bahwa negara hanya boleh menjalankan pengambilalihan lahan dari masyarakat terdampak yang tak menyerahkannya secara sukarela setelah berkonsultasi dengan mereka, memberikan kompensasi yang memadai—idealnya lewat penyediaan lahan pengganti yang setara—serta bantuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar dan memulihkan penghidupan mereka. Masyarakat yang kehilangan lahan berhak memperoleh akses terhadap mekanisme penyelesaian pengaduan yang dapat menangani keberatan-keberatan mereka.[75]
Dalam hal ini, penelitian Human Rights Watch menengarai bahwa PT Sintang Raya, yang tak berkonsultasi dengan warga transmigran dan pendatang sebelum membuka perkebunan-perkebunannya serta tidak memberi mereka ganti rugi yang memadai, termasuk lahan pengganti yang setara, telah menginjak hak-hak masyarakat. PT Sintang Raya hanya memberikan bantuan ala kadarnya—kalau bukan sama sekali tidak membantu—untuk memulihkan penghidupan warga, dan tidak menyediakan mekanisme penyelesaian pengaduan apa pun bagi orang-orang yang kehilangan lahannya.
Konsultasi dan Kompensasi Tak Memadai (Seruat Dua dan Mengkalang Jambu)
Penelitian Human Rights Watch menemukan bahwa PT Sintang Raya tidak berkonsultasi sebagaimana mestinya dengan masyarakat—termasuk tidak menjalankan kajian sosial dan lingkungan mendasar serta tidak menyebarluaskan informasi tentang kegiatan-kegiatan yang telah direncanakannya—sebelum memperoleh HGU dan surat-surat izin lainnya, sebagaimana diwajibkan oleh hukum Indonesia.
Human Rights Watch mewawancarai 42 warga Serat Dua dan Mengkalang Jambu tentang keterlibatan komunitas mereka dengan PT Sintang Raya sebelum dan setelah perusahaan tersebut memperoleh surat-surat izin yang dibutuhkannya. Semua mengaku tidak pernah diajak berkonsultasi oleh pemerintah sebelum penerbitan surat-surat izin untuk PT Sintang Raya. Adapun perusahaan perkebunan kelapa sawit itu hanya memberikan sejumlah informasi tentang kegiatannya, tetapi tidak berkonsultasi dengan masyarakat Seruat Dua dan Mengkalang Jambu, dan sama sekali tidak berinteraksi dengan penduduk Olak Olak, sebagaimana dituntut oleh peraturan perundangan. Warga ketiga desa mengaku hanya mendapatkan sedikit atau tidak mendapatkan ganti rugi sama sekali untuk lahan dan penghidupan mereka yang hilang.[76]
Warga Desa Seruat Dua mengatakan PT Sintang Raya datang pada 2008. Mereka mengaku terkejut menyaksikan bagaimana pekerja-pekerja perusahaan sekonyong-konyong membabat hutan serta menanam kelapa sawit di lahan dekat desa mereka Pada itu.[77] Ketika para pekerja perusahaan kian dekat dengan lahan pertanian mereka, para penduduk desa berbondong-bondong mencegat alat-alat berat yang dipakai untuk membuka lahan. Adiratna, seorang perempuan berusia 48 tahun di Seruat Dua, mengatakan:
Saya kesulitan mengingat kapan persisnya perusahaan itu datang. Setelah sekian lama, kami baru sadar bahwa ada perusahaan yang beroperasi di sini dan terus memperluas garapannya. Saya ingat kami datang berbondong-bondong ke lahan (yang sedang dibuka perusahaan) untuk menghadang, dan kami terus menghadang mereka sejak saat itu. Kami mendirikan pondok-pondok di tanah kami untuk menunjukkan (PT Sintang Raya) bahwa tanah ini didiami dan digunakan oleh warga.[78]
Adiratna dan penduduk lainnya mengatakan bahwa tokoh-tokoh masyarakat mereka mengunjungi kantor polisi dan pejabat-pejabat setempat di Kecamatan Kubu untuk bertanya mengapa perusahaan itu menanam kelapa sawit di tanah mereka.[79]
“Lebih dari seratus orang, termasuk warga dari desa-desa lain, datang ke [PT Sintang Raya] untuk memprotes,” kata Adiratna. “[PT Sintang Raya] tidak mengajak saya bicara, tetapi merampas lahan saya. Kami memprotes. Kami bahkan mendatangi pejabat-pejabat kabupaten di Kubu. Kami melapor ke bupati, polisi, dan mereka tak berbuat apa-apa,” katanya menjelaskan.[80] Penduduk-penduduk lain membagikan cerita serupa.[81]
Warga mengatakan bahwa para pejabat daerah, termasuk dari pihak kepolisian, akhirnya menyelenggarakan pertemuan antara tokoh-tokoh masyarakat dan perwakilan PT Sintang Raya pada 2010.[82] Abdul Majid, seorang laki-laki berumur 42 tahun dari Seruat Dua, mengatakan:
Ketika polisi dan pejabat menggelar pertemuan dengan perusahaan pada 2010, saya hadir. Perusahaan [perwakilan PT Sintang Raya] mengatakan, “Kami punya semua surat izin yang diperlukan dari pemerintah, silakan bawa 10 pengacara untuk menuntut, kami tunggu.” Tidak ada pembicaraan soal kompensasi atau apa pun.[83]
Bayang-bayang ekspansi perkebunan kelapa sawit, kekurangan informasi yang relevan tentang cakupan konsesi atau dampak-dampak lingkungannya, tekanan tanpa henti oleh perusahaan agar warga menjual lahan, serta rasa takut kehilangan kesempatan memperoleh kompensasi barang sepeser membuat kecurigaan merajalela dan memperburuk tegangan di kalangan warga. Banyak penduduk mengaku dipaksa oleh anggota-anggota keluarganya untuk menandatangani surat-surat yang nyaris tidak mereka pahami—sekarang mereka sadar bahwa dokumen-dokumen itu mungkin saja telah “membebaskan lahan” mereka alias menjualnya kepada perusahaan. Amisha, seorang warga perempuan berumur 45 tahun, mengatakan:
Awalnya saya mempercayai saudara saya. Dia bekerja di divisi humas perusahaan (PT Sintang Raya). Dia bilang lahan saya tidak berguna, dan saya akan kehilangan segalanya kalau tak menjual lahan itu. Dia bilang mereka (perusahaan) mau membayar 80 juta rupiah [US$ 5.670] untuk tanah yang luasnya 280 patok. Saya serahkan KTP. Sekarang perusahaan sudah menanam kelapa sawit di sebagian lahan itu, tetapi saya tidak menerima uang sepeser pun. Waktu saya sadar perusahaan mau mengambil sisa lahan, saya menolak dan meminta saudara saya mengembalikan KTP saya.[84]
Sejumlah orang yang dipercaya warga terafiliasi dengan perusahaan mengumpulkan nomor Kartu Perlindungan Sosial (KPS) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) anggota-anggota keluarganya dan menjual tanah keluarga kepada perusahaan dan, dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjual lahan yang bukan milik sendiri atau keluarganya. Angkasa, seorang perempuan berumur 46 tahun, mengatakan, “Ini bukan masalah menyerahkan KTP. Tanahnya dijual.”[85]
Kata Abdul Majid, “Perusahaan [PT Sintang Raya] memanfaatkan orang-orang yang kami percaya. Mereka bilang, ‘Lahanmu sudah masuk ke HGU perusahaan, kasih saya nomor KPS dan KTP-mu, biar saya minta perusahaan menyerahkan ganti rugi.’” Dia menambahkan, “Perusahaan memperlihatkan dokumen berisi nomor-nomor perlindungan sosial keluarga-keluarga di desa kami, yang juga mencantumkan nama semua anak. Mereka bisa mengatakan semua orang rela mereka mengambil lahan kami.”[86]
Para penduduk Seruat Dua mengaku pernah dikumpulkan untuk menandatangani petisi yang memprotes ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit, tetapi di kemudian hari malah menemukan dokumen itu dimanfaatkan perusahaan sebagai izin untuk “membebaskan lahan.” Kata Amisha, “Waktu kami memberikan cap jari, kami kira itu untuk [petisi] melawan perusahaan …. [Setelah itu] saya diberitahu bahwa dokumen yang saya beri cap jari itu untuk membebaskan lahan, bukan menentang perusahaan. Kami dijebak.”[87]
Beberapa kilometer dari Seruat Dua, di Mengkalang Jambu, warga mengatakan bahwa perusahaan mengadakan “sosialisasi” tentang kegiatan-kegiatannya pada 2005 (sosialisasi berarti mengabarkan sekaligus meminta restu warga terhadap suatu keputusan atau kebijakan), praktik yang umum dalam negosiasi-negosiasi antara perusahaan dan masyarakat.[88] Namun, para penduduk yang hadir dalam diskusi-diskusi itu menyatakan PT Sintang Raya tidak membahas proses permohonan HGU-nya, juga kerugian-kerugian yang mungkin diakibatkan oleh operasinya terhadap masyarakat atau lingkungan setempat—apalagi soal mitigasi kerusakan-kerusakan tersebut.
Warga mengatakan bahwa menurut perusahaan, tujuan utama sosialisasi adalah memberitahu warga bahwa perusahaan telah mendapatkan HGU, dan itu berarti perusahaan berhak mengeksploitasi atau mengolah lahan. Kesempatan warga untuk menyatakan ketidaksetujuan dalam diskusi-diskusi itu terbatas, dan kesempatan untuk bernegosiasi tentang penyediaan lahan pengganti atau kompensasi sama sekali tidak ada. Ahmad, seorang aktivis berusia 39 tahun, mengatakan: “Waktu sosialisasi, mereka [PT Sintang Raya] bilang, ‘Ini HGU, bukti kepemilikan.’ Bagaimana mungkin pemerintah menyerahkan kepemilikan lahan kami tanpa mengajak kami bicara?”[89]
Menurut warga, perwakilan perusahaan tidak membahas apakah mereka akan dipindahkan, seperti apa dan bagaimana mereka akan memperoleh kompensasi, serta tidak menawarkan pembukaan kebun rakyat (plasma) untuk menjamin masyarakat turut diuntungkan oleh produksi.[90] Memang, memberikan informasi serta meningkatkan kesadaran warga tentang perusahaan merupakan langkah yang benar menuju partisipasi menyeluruh, namun apabila sebuah perusahaan tidak menyediakan kesempatan yang bermakna bagi warga untuk membagikan pandangan mereka, atau tidak mempertimbangkan pendapat-pendapat mereka, perusahaan itu telah gagal memenuhi rangkaian tanggung jawabnya untuk melaksanakan uji tuntas hak-hak asasi manusia.[91]
PT Sintang Raya, menurut para penduduk, bahkan tidak menjelaskan batas-batas perkebunan kelapa sawitnya, padahal itu informasi yang penting bagi anggota-anggota masyarakat untuk memahami cakupan konsesi serta seluas apa lahan mereka yang termasuk wilayah perusahaan. Baik di Seruat Dua maupun Mengkalang Jambu, tidak seorang pun penduduk yang diwawancarai oleh Human Rights Watch—termasuk para kepala desa yang menghadiri rangkaian diskusi dengan perwakilan perusahaan pada 2005, 2008, atau 2010—benar-benar tahu batas perkebunan kelapa sawit milik perusahaan di daerah mereka.
Warga mengaku tidak memiliki informasi yang jelas tentang hutan gambut yang izin pemanfaatannya diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan, bagaimana perusahaan akan menggunakannya, serta apa saja dampaknya terhadap hidup dan penghidupan mereka. Kebanyakan takut bahwa konsesi PT Sintang Raya mencaplok tanah masyarakat, dan bahwa perkebunan-perkebunan kelapa sawit itu kelak mengurung desa-desa mereka beserta lahan-lahan sepetak tempat mereka menyandarkan hidup. Sebagai contoh, Aninda, seorang ibu berumur 32 tahun dari Mengkalang Jambu, mengatakan, “Saya tidak mengerti apa itu HGU. Semua orang ketakutan tanahnya masuk HGU [...]. Kami takut lahan kami dirampas berbarengan dengan perluasan oleh perusahaan.”[92]
Di Seruat Dua, para penduduk mengatakan bahwa tokoh masyarakat desa pernah meminta perusahaan menunjukkan batas-batas HGU-nya, tetapi sampai sekarang warga tetap tidak memperoleh kejelasan batas-batas resmi perkebunan kelapa sawit perusahaan. Amisha, seorang ibu dua anak berumur 47 tahun, mengingat sebuah insiden pada November 2009 ketika tokoh masyarakat desa di Seruat Dua meminta PT Sintang Raya menunjukkan dan menandai batas-batasnya:
Dua perwakilan masyarakat desa pergi ke Sintang Raya untuk meminta perusahaan mendirikan batas yang jelas. Mereka (para pejabat perusahaan) memasang pagar kayu, tetapi esoknya pagar-pagar itu berpindah. Di desa ada omongan bahwa tanah perusahaan itu batasnya di laut sana. Jangan-jangan, rumah ini juga nanti jadi punya mereka.[93]
Warga mengatakan, pada 2015, setelah mereka memenangkan gugatan terhadap perusahaan (dibahas di bawah), perusahaan perkebunan kelapa sawit itu menyuruh 43 keluarga di Mengkalang Jambu untuk mengambil surat-surat yang mengakui bahwa lahan mereka merupakan bagian dari HGU perkebunan PT Sintang Raya serta menjamin penyediaan kompensasi. Ahmad, seorang aktivis masyarakat berumur 41 tahun, mengatakan:
Saya tidak paham mengapa 43 keluarga ini (yang menerima surat) sementara ada 137 keluarga [di Mengkalang Jambu]. Membayar 43 keluarga untuk lahan 120 hektare. Mereka [perusahaan] mengaku membayar 6 orang untuk lahan 30 hektare, 10 juta rupiah per hektare ($678). Keenam orang itu tidak tinggal di sini, tetapi mewarisi lahannya.[94]
Para anggota masyarakat, termasuk sebagian yang berpeluang mendapatkan kompensasi, menolak kesepakatan itu. Kata Arief, “Pak Nasir [karyawan humas perusahaan] bilang hanya 43 orang yang tanahnya masuk HGU. Kami tidak terima! Seharusnya ada relokasi yang setara.”[95]
Perwakilan warga mendatangi perusahaan, memberitahukan bahwa 137 keluarga dan 700 orang berdasarkan sensus terakhir pada 2015 terdampak oleh kegiatan perusahaan serta meminta agar semua keluarga diberikan kompensasi.[96] Namun, kata mereka, perusahaan tidak pernah menanggapi permintaan itu serta tidak menyediakan kompensasi lebih lanjut. Seorang ketua RW di Mengkalang Jambu menduga 43 keluarga yang dipilih perusahaan adalah “keluarga-keluarga yang tempat tinggalnya mungkin paling dekat dengan perkebunan, tapi saya juga tidak yakin.”[97]
Baik di Seruat Dua maupun Mengkalang Jambu, para penduduk mengatakan semua upaya timbal balik yang bermakna dengan PT Sintang Raya diinisiasi oleh anggota-anggota masyarakat lewat protes dan demonstrasi. Dan meski warga laki-laki dan perempuan sama-sama mengalami hasil proses sosialiasi yang keruh, perempuan mengalami ketersisihan yang lebih dalam. Semua warga perempuan yang diwawancarai Human Rights Watch mengaku tidak dilibatkan dalam diskusi-diskusi dengan perwakilan PT Sintang Raya dan pejabat-pejabat pemerintah, dan hal ini membatasi akses mereka terhadap informasi serta partisipasi dalam proses yang berdampak langsung kepada mereka.[98]
Warga menyatakan bahwa mereka tidak tahu-menahu tentang mekanisme penyelesaian pengaduan resmi dari perusahaan, dan setiap laporan mereka kepada petugas humas perusahaan tidak menghasilkan apa pun. Arief, seorang ketua RT berumur 33 tahun, mengatakan, “Kami sudah berkali-kali datang ke perusahaan dan bertemu Pak Nasir—karyawan humas perusahaan, untuk menanyakan bagaimana ujung pangkalnya tanah kami bisa masuk ke HGU perusahaan.”[99] Warga mengaku belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Human Rights Watch menanyakan kepada perusahaan tentang mekanisme penyelesaian pengaduan, namun tidak ada tanggapan.
Kehilangan Lahan Tanpa Ganti Rugi yang Efektif (Olak Olak)
Penelitian Human Rights Watch menemukan bahwa PT Sintang Raya tidak menjalankan uji tuntas hak asasi manusia yang cukup untuk menjernihkan hak kepemilikan tanah yang diklaim keluarga-keluarga di Desa Olak Olak ketika perusahaan ini mengambil alih lahan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit sebelumnya, PT Cipta Tumbuh Berkembang. Akuisisi lahan diselesaikan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan warga yang lahannya akan terdampak.[100] PT Sintang Raya tidak menyiapkan mekanisme penyelesaian pengaduan yang efektif untuk mengatasi keberatan-keberatan yang mungkin dipunyai para anggota masyarakat tentang lahan tersebut, termasuk masalah-masalah “warisan” PT CTB. PT Sintang Raya juga tidak mematuhi putusan pengadilan untuk mengembalikan lahan kepada para penduduk Olak Olak.
Prinsip-Prinsip Pedoman PBB Mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia mengarahkan badan-badan usaha agar menerapkan proses uji tuntas hak asasi manusia untuk mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, serta menjelaskan bagaimana mereka menangani dampak-dampak negatif kegiatan perusahaan, baik yang aktual maupun potensial, terhadap hak asasi manusia.[101] Panduan Sukarela PBB tentang Tata Kelola Tenurial yang Bertanggung Jawab atas Tanah, Perikanan, dan Kehutanan secara khusus meminta uji tuntas tersebut diterapkan sehubungan dengan “dampak negatif terhadap hak asasi manusia dan hak-hak kepemilikan yang sah.”[102]
Pada 2011, para penduduk Olak Olak dan desa-desa lain yang mempermasalahkan HGU PT Sintang Raya mengambil langkah-langkah untuk merebut kembali tanah mereka. Warga menggugat penerbitan izin pemerintah untuk operasi PT Sintang Raya di pengadilan dan gugatan mereka dimenangkan.[103]
Pada 2012, Pengadilan Tata Usaha Negara Pontianak membatalkan HGU PT Sintang Raya berdasarkan gugatan warga Pada sebelumnya.[104] Banding yang diajukan perusahaan pada 2013 dan 2015 ditolak.[105] Pada 2014, Mahkamah Agung Indonesia menegaskan bahwa PT Sintang Raya harus menyisihkan lahan milik keluarga-keluarga yang menggugat dari konsesinya.[106] Pada 2016, media mengutip pengakuan seorang penasihat hukum perusahaan bahwa Mahkamah Agung telah memerintahkan agar PT Sintang Raya mengembalikan lahan kepada warga.[107] Namun, perusahaan justru terus-menerus memunggungi putusan itu dan tetap menentang klaim warga atas tanah mereka. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga telah gagal menegakkan putusan pengadilan.
Wahyu Setiawan, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalimantan Barat, mengatakan:
Meskipun sudah ada putusan Mahkamah Agung, PT Sintang Raya tetap beroperasi, seolah-olah putusan itu cuma sehelai kertas tak bermakna. Bupati [Kubu Raya] saat itu, Rusman Ali, bicara di depan umum bahwa perusahaan harus menjalankan putusan pengadilan, tetapi perusahaan tetap tidak melakukannya. Kami sudah melakukan segala yang kami bisa secara hukum.[108]
Warga mengaku sudah menyerahkan laporan-laporan ke sejumlah badan dan pejabat pemerintahan agar putusan pengadilan ditegakkan, tetapi upaya pemerintah untuk memediasi dan menuntaskan sengketa menahun ini suam-suam kuku saja. Kata Arif R., “Bagaimana ceritanya negara bisa dijalankan oleh perusahaan? Saya sudah melawan dari awal sampai akhir, dan saya lelah. Negara seharusnya melindungi kami.”[109]
Masyarakat kedelapan desa di Kubu Raya masih memprotes pengambilalihan tanah mereka oleh PT Sintang Raya dan telah melakukan berbagai upaya untuk merebutnya kembali. Perusahaan membalas dengan melaporkan mereka ke polisi dan meminta agar warga ditangkap.[110] Pada 2016, sebagai usaha merebut kembali tanahnya, sejumlah warga memanen tandan-tandan buah kelapa sawit di bagian perkebunan yang menurut mereka bertumpang-tindih dengan lahan mereka. Perusahaan melaporkan mereka ke polisi sebagai pelaku pencurian, dan polisi menyerbu desa, melakukan penangkapan massal serta membuat banyak warga yang takut ditangkap melarikan diri.[111] Kata Wahyu Setiawan, “Lebih dari 300 polisi dan anggota kesatuan Brimob (Brigade Mobil) masuk desa. 26 penduduk ditangkap dan lebih dari 100 orang dinyatakan sebagai tersangka.”[112]
Kurangnya Koordinasi Pemerintah dalam Menyelesaikan Sengketa Lahan Ada lebih dari 1.000 kantor pemerintahan dengan kewenangan yang saling silang atas penyelesaian sengketa di tingkat daerah dan nasional di Indonesia. Lima institusi tertinggi dengan kantor-kantor cabang di setiap provinsi antara lain Dewan Kehutanan Nasional (DKN), badan penasihat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mewakili berbagai pemangku kepentingan, dibentuk pada 2009, dengan unit khusus penanganan sengketa lahan; Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang berwenang menunjuk mediator bersertifikat; Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), yang mempunyai bagian penanganan sengketa lahan, namun pengaruhnya terbatas perihal kehutanan, termasuk hutan-hutan rawa gambut; Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); dan pengadilan-pengadilan, yang sangat diandalkan dalam penyelesaian sengketa. Meski demikian, pengadilan biasanya mengambil keputusan berdasarkan surat-surat resmi yang menetapkan kepemilikan, yang umumnya tidak dipunyai para petani di perdesaan. Sekitar 63 persen lahan di Indonesia ditetapkan sebagai hutan, membatasi kepemilikan formal oleh warga negara di pedesaan.[113] Masyarakat juga menghadapi tugas raksasa untuk menegakkan putusan pengadilan yang menguntungkan mereka—lazimnya, mereka harus menunggu BPN bertindak dan mengembalikan tanah. Warga yang berjuang menuntaskan sengketa-sengketa lahan dengan perusahaan atau pemerintah menyadari bahwa salah satu hambatan utama bagi mereka adalah lemahnya koordinasi antarkementerian. Institusi-institusi yang bertugas memediasi sengketa-sengketa lahan tak kunjung berhasil meredakan atau menuntaskannya. Banyak di antara mediasi sengketa lahan yang berlarut-larut merupakan akibat dari penegakan hukum bermutu rendah atau keberpihakan para petugas institusi-institusi tersebut. Petugas-petugas yang sama agaknya mustahil menuntaskan masalah-masalah yang turut diciptakannya ini secara imparsial. Organisasi-organisasi masyarakat sipil, juga Komnas HAM, kini mengadvokasi pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang akan berkantor di Kantor Kepresidenan dan mengonsolidasikan berbagai forum penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lahan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. |
Penyingkiran Ekonomi dan Perampasan Mata Pencarian
Penelitian Human Rights Watch menemukan bahwa pengabaian PT Sintang Raya terhadap hak-hak tenurial masyarakat membuat warga tak bisa mengakses lahan pertanian dan hutan, kehilangan berbagai peluang penghidupan, dan mengalami peningkatan kemiskinan serta kerawanan pangan, yang berpotensi mengancam hidup dan kesehatan serta kesejahteraan masyarakat.[114]
Komunitas-komunitas ini hidup di kawasan-kawasan terpencil yang sulit dijangkau, di mana mata pencarian umumnya berbasis pemenuhan kebutuhan dasar. Banyak warga di Seruat Dua, Mengkalang Jambu, dan Olak Olak bercerita kepada Human Rights Watch bahwa lahan sumber pangan mereka berkurang akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit PT Sintang Raya. Sejumlah keluarga mengaku kehilangan akses terhadap kebun dan sawah tanpa diajak berkonsultasi, hanya mendapat sedikit ganti rugi atau tidak sama sekali, serta diduga mengalami pemaksaan dan intimidasi oleh pemerintah dan pejabat-pejabat perusahaan. Banyak lagi yang takut sebentar lagi mengalami nasib serupa.
Warga ketiga desa tersebut mengatakan ekspansi PT Sintang Raya ke tanah mereka dan hutan di sekelilingnya telah merampas akses mereka terhadap perkebunan. Artinya, ruang yang tersedia bagi warga untuk menanam sumber-sumber pangan kian sempit, tinggal pekarangan belakang rumah masing-masing, dan itu mengurangi jumlah hasil bumi yang dapat mereka makan atau jual, sehingga mereka terpaksa membeli makanan dengan uang yang sebelumnya disiapkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain rumah tangga. Adiratna, seorang warga perempuan berumur 46 tahun di Desa Seruat Dua, mengatakan:
Sebelum perusahaan merampas kebun saya, saya menanam pisang, jagung, nanas, ubi jalar, singkong, dan talas. Sekarang saya beli tiga buah talas besar seharga 10.000 rupiah ($0.68). Dulu saya biasa menanam jagung—dulu jagung murah. Sekarang jagung mahal dan saya cuma bisa menanam sedikit. Saya tidak tahu lagi sudah rugi berapa.[115]
Sejumlah penduduk Seruat Dua dan Mengkalang Jambu mengatakan ketidakjelasan batas-batas antara desa dengan PT Sintang Raya, ditambah hal-hal yang mereka rasakan sebagai intimidasi oleh satpam perusahaan dan polisi dari Kubu, membuat mereka berhenti mengolah lahan perkebunan mereka yang luas. Kata Adiratna:
Saya tidak bisa menggarap lahan karena mereka (PT Sintang Raya) memarkir eskavator di dekatnya. Kalau saya bakar semak-semak untuk buka lahan, apinya mereka padamkan. Orang-orang bilang tanah saya masuk HGU perusahaan, dari 180 patok tinggal 30 patok. Saya tidak bisa menanam apa-apa.[116]
Warga dan perwakilan LSM menyatakan pemerintah maupun perusahaan sama-sama belum menawarkan lahan alternatif untuk menggantikan tanah keluarga yang hilang.[117] Seorang penduduk Olak Olak mengaku keluarganya memperoleh manfaat dari skema perkebunan rakyat (plasma), tetapi hampir tidak tahu sama sekali tentang lokasi dan ukuran kebunnya, siapa orang yang bertanggung jawab atas kebun tersebut, seperti apa hasil yang dibayarkan kepada warga, serta bagaimana distribusinya.[118] Seorang warga lain di Olak Olak mengaku ikut kesepakatan plasma, tetapi jarang menerima pembayaran manfaat.[119] Tidak satu pun warga yang diwawancara Human Rights Watch di Seruat Dua dan Mengkalang Jambu mengetahui soal perkebunan plasma untuk komunitas mereka.
Warga yang tidak punya lahan kebun tak punya kebebasan untuk menentukan apa saja dan berapa banyak yang mereka tanam, dan itu menyebabkan pemasukan mereka berkurang. Budiwati, perempuan berumur 55 tahun di Olak Olak yang berjualan makanan dan barang-barang keperluan rumah tangga di warung kecil, mengatakan:
Saya tidak tahu yang salah kepala desa atau perusahaan, tetapi sekarang hidup sudah lain. Dulu saya bisa berkebun. Tidak banyak, tapi cukup. Sekarang hidup susah. Untuk perempuan yang tidak punya tanah, susah. Perempuan seperti itu tidak bisa berkebun dan menjual hasilnya. Kalau kamu tidak punya uang, kamu tidak bisa belanja di warung saya. Saya tidak bisa kasih kasbon.[120]
Kebanyakan penduduk yang diwawancara Human Rights Watch bilang, tanpa kebun sendiri, mereka harus mengandalkan pekerjaan-pekerjaan yang tersedia di perkebunan-perkebunan kelapa sawit PT Sintang Raya. Menurut Budiwati, warga lansia dan para perempuan tanpa lahan untuk ditanami sumber-sumber pangan yang tidak mungkin dipekerjakan oleh perkebunan kelapa sawit mengalami kesulitan luar biasa untuk menyediakan makanan bergizi bagi keluarga mereka.[121]
Aulia, seorang ibu berumur 58 tahun dengan 6 anak dan 5 cucu di Olak Olak, mengatakan:
Kami menanam padi di tanah yang tersisa. Panen kali ini kami dapat tujuh karung, tidak cukup. Perusahaan tidak mau mempekerjakan suami saya (karena dia sudah tua). Yang kami punya cuma gabah yang kami tanam sendiri. Tidak cukup untuk makan anak-cucu tiga kali sehari—sarapan, makan siang, dan makan malam. Kalau beras habis, saya menggali singkong. Saya harus kreatif untuk memberi makan seisi rumah.[122]
Banyak penduduk mengakui bahwa perkebunan kelapa sawit PT Sintang Raya menciptakan lapangan kerja dalam komunitas mereka. Yang membuat mereka keberatan adalah tidak adanya pilihan lain untuk menghidupi keluarga. Mereka juga menyatakan kondisi kerja yang ditentukan oleh PT Sintang Raya tidak adil, dengan target harian yang mustahil dicapai. Bagi sebagian warga, itu berarti mereka harus mengerahkan seluruh keluarga, termasuk anak-anak, untuk mencapai target-target perusahaan, meskipun hanya satu anggota keluarga yang jadi karyawan perkebunan. Bethari, seorang perempuan berumur 44 tahun dengan bayi 8 bulan di Olak Olak, mengatakan, “Suami saya kerja di perkebunan. Saya dan putra-putra kami harus membantunya untuk mencapai target. Saya bekerja sambil menggendong bayi, sebab dia tidak mungkin ditinggal di rumah.”[123]
Perempuan Harus Membayar Mahal untuk Bekerja Karena kelangkaan lahan dan hilangnya mata pencarian, banyak perempuan di Kubu Raya mengais pekerjaan di perkebunan-perkebunan kelapa sawit untuk menambah pemasukan keluarga dan membayar tetek bengek sekolah anak-anak. Di semua komunitas Kubu Raya yang dikunjungi oleh Human Rights Watch, para perempuan bisa mendapat pekerjaan di perkebunan-perkebunan PT Sintang Raya. Banyak di antara mereka menganggap pekerjaan yang sangat berat itu sebagai keharusan, bukan pilihan. Bulan, seorang perempuan berumur 42 tahun di Mengkalang Jambu, mengatakan: Sebelum kedatangan (PT Sintang Raya) kami punya pohon-pohon kelapa dan saya punya tanah luas yang saya tanami nanas, sayur-sayuran, dan jagung. Sekarang tidak ada pilihan lain, saya harus kerja di perkebunan kelapa sawit perusahaan. Status saya berubah, dari petani-pemilik lahan jadi buruh penggarap. Saya bangun pukul 4 pagi untuk beres-beres rumah dan masak sarapan. Berangkat kerja pukul 6, menyiangi rumput sampai tengah hari. Saya pulang, masak makan siang, lalu bekerja di kebun saya, mengumpulkan kelapa dan pinang. Saya baru bisa beristirahat malam hari. Saking sibuknya, saya tidak sempat membuat minyak kelapa (untuk masak.) Sekarang saya harus membeli minyak goreng.[124] Para perempuan dari keluarga-keluarga tanpa lahan dan yang suami-suaminya tidak dipekerjakan oleh perkebunan harus bekerja lebih lama, biasanya sampai pukul 6 sore, untuk menambah pemasukan keluarga. Aninda, perempuan berumur 30 tahun di Mengkalang Jambu, mengatakan: Kebanyakan orang menganggur. Sebelum (tanah diambil PT Sintang Raya) mereka menggarap lahan sendiri. Sekarang, tidak bekerja di perkebunan perusahaan berarti tidak punya pekerjaan. Karena kami tidak punya tanah dan butuh uang, kami harus bekerja untuk PT Sintang Raya. Kalau punya tanah sendiri, saya pasti menggarapnya. Saya tidak perlu takut rugi atau dipecat kalau sakit. Hasil yang saya dapatkan dari pohon-pohon kelapa sudah cukup.[125] |
Panen Merosot Karena Hama Merajalela dan Intrusi Air Laut
Penelitian Human Rights Watch mengindikasikan bahwa PT Sintang Raya belum mengidentifikasi dan memitigasi dampak operasinya terhadap lingkungan setempat. Para anggota masyarakat melaporkan bahwa pertumbuhan jumlah hama dan intrusi air laut berdampak buruk terhadap pertanian dan hasil panen di kawasan serta menyumbang terhadap perburukan kerentanan pangan keluarga mereka.
Sejumlah penduduk di Seruat Dua dan Mengkalang Jambu mengatakan, sejak perkebunan-perkebunan kelapa sawit PT Sintang Jaya dibuka di dekat desa-desa mereka, pohon-pohon kelapa yang selama ini menjadi sumber pemasukan utama warga semakin sering diserbu kumbang-kumbang badak yang, menurut penelitian, kerap ditemukan di perkebunan-perkebunan kelapa sawit.[126] Citra, seorang perempuan berumur 40 tahun yang telah hidup di Mengkalang Jambu selama 15 tahun, mengaku pernah memiliki 1.000 batang kelapa di lahan 450 patok.[127] Dalam rentang 2003 dan 2009, dia bilang hampir tidak ada serangan hama terhadap pohon-pohon kelapanya. Namun, dalam sembilan tahun sejak perkebunan kelapa sawit beroperasi sekitar satu kilometer dari kebunnya, pohon-pohon kelapanya semakin lama semakin banyak yang ditumpas hama. Dia kehilangan lebih dari 950 pohon dalam sembilan musim panen kelapa. “Sekarang tinggal tiga pohon,” katanya pada Mei 2018. “Selagi kita mengobrol sekarang ini, kumbang-kumbang itu sedang mengunyah pohon-pohon kelapa.”[128]
Aninda, perempuan berumur 30 tahun dari Mengkalang Jambu, mengatakan, “Kumbang semakin menjadi-jadi. Mereka menggasak kelapa yang kami tanam, mereka makan kembang kelapa, dan panen kami berkurang. Dulu kami punya lebih dari 10.000 batang kelapa. Gara-gara kumbang, sekarang tinggal ratusan.”[129]
Hewan-hewan beruas (artropoda) seperti kumbang adalah predator yang paling banyak di perkebunan-perkebunan kelapa sawit; mamalia dan burung menyusul di posisi kedua dan ketiga.[130] Hama-hama yang biasanya tertarik pada perkebunan-perkebunan sawit adalah kumbang badak, ulat api, ulat kantong, ulat siput, tungau, dan kutu.[131] Hama-hama ini bisa menyebabkan kerusakan parah pada pohon-pohon kelapa sawit dan kelapa. Para warga tidak mempunyai informasi atau pestisida yang cukup untuk mengelola serangan hama yang mengakibatkan kehancuran kebun-kebun kelapa mereka.
Banyak penduduk juga mengaku menghadapi peningkatan populasi tikus selama lebih dari enam tahun di area-area yang berdempetan dengan perkebunan-perkebunan kelapa sawit. Tikus menghabisi sawah-sawah. Memang hewan-hewan pengerat dan kelelawar biasa ditemukan dalam habitat-habitat agrikultur Asia Tenggara,[132] tetapi ada kecenderungan konsentrasi hama lebih tinggi di habitat monokultur, di mana hanya ada satu jenis tanaman yang dipelihara.[133] Diah, seorang perempuan berumur 48 tahun yang keluarganya menggarap sawah padi di Olak Olak sejak kedatangan mereka pada 1957, mengatakan sebelum perkebunan kelapa sawit beroperasi pada 2012, mereka memanen cukup gabah untuk memberi makan keluarga besar mereka setiap tahunnya. Namun, beberapa tahun setelah perkebunan kelapa sawit dibuka, produksi sawah keluarganya merosot gara-gara serbuan tikus, membuat mereka hanya bisa memanen jauh lebih sedikit gabah per tahun. “Kata kakak saya, tidak usah repot-repot menanam padi lagi. Perusahaan akan membuka perkebunan di dekat sawah kami, dan hama-hama pasti datang.”[134]
Human Rights Watch tidah tahu apakah ada studi yang bisa diakses publik tentang dampak operasi PT Sintang Raya terhadap lingkungan dan komunitas-komunitas terdampak di Kubu Raya. Tidak satu pun penduduk ketiga desa yang diwawancara Human Rights Watch pernah menerima informasi dari perusahaan atau pemerintah tentang dampak-dampak lingkungan yang mungkin muncul dari operasi-operasi PT Sintang Raya—sebagaimana diwajibkan hukum.[135] Human Rights Watch bertanya kepada PT Sintang Raya tentang kemungkinan kaitan antara perkebunan kelapa sawit mereka dan pertambahan jumlah hama, tetapi belum memperoleh jawaban. Adapun para warga, berdasarkan pengalaman bertahun-tahun tinggal di kawasan tersebut, mengungkapkan kekhawatiran tentang apa-apa yang bagi mereka merupakan efek penggarapan lahan kelapa sawit berskala besar terhadap lingkungan serta penghidupan mereka.
Beberapa penduduk Seruat Dua mengatakan bahwa komunitas mereka juga semakin sering dilanda intrusi air laut pada musim kemarau, dan itu memperburuk hasil panen. Desa mereka terletak di zona ombak, dan mereka menemukan air asin di sumur-sumur air tawar seiring dengan penyusutan lahan gambut.[136] Kata warga, salinitas tanah juga meningkat gara-gara intrusi air laut, dan itu mengurangi produksi gabah dan sayur-mayur.[137]
Abdul Majid, seorang aktivis dan tokoh masyarakat, berkata:
Sebelum ada perkebunan kelapa sawit, air sungai tidak asin. Sekarang biasanya asin. Air laut mengalir ke kebun-kebun warga, ke sawah-sawah. Air laut merusak padi … Kami berunjuk rasa, minta air dibendung 20 kilometer dari laut untuk mencegah air asin masuk ke sungai, tetapi perusahaan (PT Sintang Raya) tidak setuju.[138]
Pada 2009, para penduduk Seruat Dua memohon kepada Bupati Kubu Raya dan kepala-kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah, Dinas Pertanian dan Kehutanan, serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) tingkat kabupaten agar menindaklanjuti kekhawatiran bahwa pembukaan lahan oleh PT Sintang Raya akan memengaruhi kualitas tanah dan produktivitas lahan warga.[139] Sampai lebih dari satu dekade berselang, operasi perkebunan terus meluas dan warga tidak melihat satu pun bukti tindakan pihak-pihak berwenang.
Pelecehan, Penangkapan dan Penuntutan terhadap Pengunjuk Rasa dan Aktivis Hak atas Tanah
Aparat pemerintah telah melecehkan dan mengancam anggota masyarakat yang berdemonstrasi menentang perluasan perkebunan, melakukan penangkapan massal, penahanan, dan penindakan sewenang-wenang. Warga yang berbicara dengan Human Rights Watch menuduh polisi menunjukkan keberpihakan dalam melindungi kegiatan operasional PT Sintang Raya, sementara pemerintah tidak memberi perlakuan serupa dalam melaksanakan putusan pengadilan yang memerintahkan untuk mengembalikan kepemilikan tanah warga yang diambil perusahaan.
Semua warga yang diwawancarai di Seruat Dua, Mengkalang Jambu, dan Olak Olak menceritakan bahwa berbagai satuan kepolisian, baik dari kepolisian sektor, resort, dan kepolisian daerah, mengancam mereka dan komunitas mereka setiap kali mereka memprotes perluasan perkebunan kelapa sawit PT Sintang Raya ke lahan pertanian masyarakat. Dewi, 62 tahun, mengatakan, “Sebelum perusahaan datang, saya tidak pernah melihat polisi di sini. Jika Anda mau melihat polisi Anda pergi ke kota [Pontianak]. Sekarang polisi sering datang ke sini, mengancam saya dan keluarga saya.” Dia mengatakan kehadiran polisi menciptakan situasi dimana masyarakat merasa terintimidasi.[140]
Pada 2016, masyarakat Olak Olak melakukan aksi protes untuk menuntut PT Sintang Raya mengembalikan tanah yang telah diambil untuk perkebunan dan mematuhi keputusan Mahkamah Agung yang baru dikeluarkan. Polisi menangkap banyak warga dan secara sewenang-wenang menahan mereka karena berdemonstrasi.[141] Ratusan lainnya yang takut ditangkap melarikan diri ke desa tetangga dan Kota Pontianak. [142] Aulia, seorang perempuan berusia 58 tahun, mengatakan, “Tahun 2016, tiga sampai empat truk polisi bersenjata datang ke desa. Mereka menangkap 60 laki-laki, termasuk 2 anak lelaki saya yang adalah ayah dari 2 anak. Mereka ditahan selama dua bulan sebelum dibebaskan.” [143]
The Jakarta Post melaporkan bahwa PT Sintang Raya “menuduh beberapa warga mencuri buah kelapa sawit. Perusahaan juga diduga membayar polisi untuk mengamankan daerah tersebut dan melakukan penangkapan. Tindakan keras perusahaan membuat takut penduduk setempat, dan banyak dari mereka yang mengungsi ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) setempat.”[144] Sekitar 47 warga, termasuk anak-anak, menginap selama sekitar dua minggu di kantor Komnas HAM, takut ditangkap jika pulang.[145] Ketua Komnas HAM Kalimantan Barat, Nelly Yusnita mengatakan, “Beberapa orang melarikan diri dari desanya dan menginap di kantor Komnas HAM. … Akar persoalannya adalah dari berbagai insiden yang terjadi. Penduduk desa tentunya tidak akan melarikan diri ke kantor kami bila tanpa alasan.” [146]
Pada 2017, Komnas HAM Kalimantan Barat mengadakan pertemuan terpisah, masing-masing dengan masyarakat terdampak dan PT Sintang Raya. Para pejabat dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya juga hadir dalam pertemuan-pertemuan tersebut.[147] Intervensi Komnas HAM tidak menyelesaikan keluhan masyarakat atau meredakan ketegangan antara masyarakat dan PT Sintang Raya. Nelly Yusnita mengatakan pada 2021:
Komnas HAM sudah mengeluarkan rekomendasi (tahun 2016). Secara teknis, berkas tersebut telah diambil alih oleh pemerintah kabupaten, melalui Dinas Perkebunan, untuk memantau dan mendukung (warga desa). Saya tidak memiliki kabar terbaru soal masalah ini karena ini sudah ditangani pemerintah kabupaten. Warga desa dapat mengajukan keluhan lain kepada Komnas HAM untuk menindaklanjuti pelaksanaan rekomendasinya.[148]
Pada Februari 2018, setelah serangkaian protes terhadap kegiatan operasional PT Sintang Raya di Olak Olak, enam petugas kepolisian tanpa seragam menangkap dan memenjarakan Kawan Ayub, ketua daerah Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), pada tengah malam saat dia berada di Pontianak.[149] Polisi menetapkan ia sebagai tersangka kasus pencurian setelah PT Sintang Raya menuduhnya mencuri pupuk dari toko mereka, meski dia tidak bekerja di perkebunan dan tidak memiliki akses ke fasilitas mereka. Polisi kemudian menambahkan tuduhal lain, yaitu pencurian buah sawit. Dia didakwa secara resmi dan ditahan selama sekitar satu tahun sebelum dibebaskan.[150]
Tidak hanya anggota masyarakat yang terang-terangan memprotes kegiatan perusahaan yang menghadapi pelecehan, penangkapan dan penuntutan sewenang-wenang, tetapi keluarga mereka juga menderita dampak emosional, psikologis, dan finansial yang serius. Roekato, istri Ayub dan ibu dari dua anak, mengatakan pada 2018:
Saya tidak tahu apa yang terjadi pada suami saya. Saya baru dengar dia dibawa polisi dari kantor AGRA di Pontianak. Tidak ada yang bicara dengannya selama lebih dari seminggu. Dia ditahan pada 23 Februari 2018. Saya pergi ke Pontianak untuk menemuinya sekitar dua minggu setelah dia ditangkap. Biaya transportasinya sangat mahal, dan saya tidak punya uang sebanyak itu. Biaya 400.000 rupiah untuk transportasi itu mahal. … Dia sudah pergi dua bulan tiga hari. Ini membuat saya sangat sedih. Saya takut. Saya harus membayar biaya rumah, kebutuhan sekolah putri saya, memperbaiki sepeda motor, dan kebutuhan hidup sehari-hari. Saya bekerja sebagai penimbang 24 jam, 1 hari seminggu, menimbang biji sawit yang masuk. Penghasilan saya 300.000 rupiah untuk pekerjaan sehari itu. Barang berikutnya baru datang 20 hari lagi—saat itulah saya baru akan bekerja lagi. Saya tidak bisa menghasilkan uang sebanyak suami saya. Saya tidak bisa membeli makanan dan membiayai sekolah putri saya. Saya meminta bantuan dari teman dan keluarga saya, tetapi itu tidak cukup.[151]
Roekato, dengan bantuan AGRA, berangkat ke Jakarta untuk melapor ke Komnas HAM. “Komnas HAM menyatakan akan mengusut masalah ini,” ujarnya. “Tapi saya tidak punya telepon untuk menghubungi mereka dan mencari tahu apa yang telah mereka lakukan untuk suami saya… Banyak penduduk desa yang takut, sehingga akhirnya mereka menyerah dan mencabut klaim atas tanah mereka. Banyak yang berhenti memperjuangkan tanahnya sejak mereka bekerja untuk perusahaan. Beberapa orang yang memperjuangkan tanah mereka sudah terlalu tua untuk bekerja di perkebunan dan tidak memiliki tanah atau sumber pendapatan lain.”[152]
Penduduk dari ketiga desa mengatakan penangkapan dan penuntutan terhadap teman dan keluarga mereka telah menciptakan suasana ketakutan akan aksi pembalasan, disertai dengan keengganan pihak berwenang untuk mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan atas penyitaan tanah yang melanggar hukum. Wahyu Setiawan, Ketua AGRA Kalimantan Barat, mengatakan, “Warga desa mengalami trauma. Mereka ditangkap mendadak. Ada yang ditangkap pada malam hari, seperti Pak Ayub yang terpojok dan diciduk malam-malam. Beberapa orang yang diseret paksa polisi kemudian jatuh sakit. Ini menciptakan trauma di kalangan warga desa.”[153]
Keberadaan aparat, ditambah aksi-aksi penangkapan tersebut, telah menimbulkan ketakutan di kalangan warga Olak Olak dan warga desa-desa di sekitar perkebunan kelapa sawit PT Sintang Raya.[154] Benar atau tidak, warga menengarai penangkapan dan dakwaan terhadap orang-orang adalah tindakan pembalasan dari perusahaan atas upaya warga memperjuangkan hak atas tanah mereka. Ketika Human Rights Watch bertanya kepada Dewi tentang putra dan cucunya yang ditangkap pada 2016 setelah memprotes ekspansi perusahaan ke lahan pertanian mereka, dia menjawab bahwa, “Saya takut kalau saya bicara dengan Anda, polisi bisa datang kapan saja dan menangkap saya seperti yang mereka lakukan terhadap tetangga saya.”[155] Wahyuni mengatakan, “Suami saya menganggur. Saya bekerja sekeras yang saya bisa, anak-anak saya butuh pendidikan. Saya memiliki satu hektare lahan [dalam konsesi]. Sekalipun saya tahu di mana satu hektar itu, saya terlalu takut untuk memanen di sana. Sejak Ayub ditangkap, saya takut dan tidak mau berhubungan dengan urusan itu lagi.”[156] Nur Ayati mengatakan, “Melawan perusahaan [PT Sintang Raya] tidak ada gunanya, nanti ada polisi dan orang yang akan mendatangi rumah Anda.”[157]
Di Seruat Dua, warga mengutarakan kekhawatiran serupa. Abdul Majid, seorang laki-laki berusia 42 tahun, mengatakan, “Dari sembilan desa, dua kepala desa dijebloskan ke dalam penjara. Yang lain takut dan akhirnya membubuhkan tanda tangan di surat-surat permohonan agar PT Sintang Raya memperbaharui HGU-nya dengan pemerintah.”[158] Abdul Majid juga menyebutkan penangkapan dan penahanan Bambang Sudaryanto, mantan kepala desa di Dusun Pelita pada 2013 sebagai alasan lain mengapa warga takut menentang perusahaan.[159]
Elok, perempuan berusia 45 tahun, menjelaskan betapa dirinya tidak berdaya ketika PT Sintang Raya membuka dan menanam pohon kelapa sawit di lahannya pada April 2018:
Teman (saya) yang memberi tahu, "Cepat ke sana dan lihat, perusahaan sedang menanam di tanah kamu.” Saya lalu ke sana dan melihat pohon-pohon palem kecil yang ditanam di tanah saya. Saya sangat takut, saya tidak bisa mencabutnya karena mereka akan membawa saya ke polisi. Suami saya menanam bunga pembatas, tetapi mereka (PT Sintang Raya) tetap menanam sawit. Saya melapor ke RT, RW, dan warga desa lainnya tetapi siapa yang bisa membantu?[160]
Di Mengkalang Jambu, warga menyebut kasus-kasus serupa di mana aparat keamanan masuk ke kampung mereka untuk menertibkan perlawanan terhadap perusahaan perkebunan. Warga mengatakan bahwa pada 2010, meski sudah ada kesepakatan lisan yang menetapkan batas-batas lahan berdasarkan negosiasi antara perusahaan dan masyarakat pada 2005, para pekerja yang dikontrak PT Sintang Raya mulai membuka lahan di luar perbatasan.[161] Setelah warga meminta para pekerja untuk menghentikan upaya perusahaan membuka lahan pertanian warga, polisi mendatangi desa mereka. “Keesokan harinya, polisi datang dengan senjata laras panjang dan pendek,” kata Arief, seorang tokoh masyarakat berusia 35 tahun. “Saat peralatan milik perusahaan (PT Sintang Raya) menebangi pohon dan tanaman kami di dekat sungai, polisi berdiri di pinggir sungai dengan senjata mereka.”[162]
Warga lain juga mengungkapkan hal serupa terkait keterlibatan polisi dalam konflik antara warga Mengkalang Jambu dan PT Sintang Raya. Ahmad mengatakan:
Setiap ada masalah, perusahaan (PT Sintang Raya) membawa polisi. Baru-baru ini, ketika PT Sintang Raya membuka lahan dan mulai menanam, para pekerja yang menanam dijaga petugas kepolisian. Polisi sudah lebih dari 10 kali datang ke sini dengan membawa senjata—setiap kali kami protes, bahkan ketika kami memasang plang pun, polisi langsung datang.[163]
Perwakilan masyarakat sipil mengatakan bahwa pada 2018, telah terjadi peningkatan penangkapan anggota masyarakat, termasuk masyarakat adat dan aktivis lokal yang memprotes operasi perkebunan kelapa sawit di desa mereka.[164] Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebuah konsorsium organisasi LSM untuk hak-hak tanah, menuduh pihak berwenang dan preman sewaan perusahaan melakukan intimidasi dan penangkapan sewenang-wenang.[165] Konsorsium ini juga menyebutkan bahwa pejabat pemerintah dan perusahaan memanfaatkan peraturan hukum yang ada untuk menuntut orang-orang yang dianggap mengancam praktik usaha yang lazim dijalankan perusahaan perkebunan kelapa sawit.[166]
Hukum yang awalnya diberlakukan untuk memberi sanksi kepada perusahaan dan menahan laju deforestasi malah digunakan untuk menuntut masyarakat adat dan anggota masyarakat yang memprotes hilangnya tanah mereka atau yang menolak pengambilan paksa tanah tempat mereka tinggal selama puluhan tahun[167]. Majid, seorang aktivis dan tokoh masyarakat di Seruat Dua, mengatakan:
Seorang petani di Pelita Jaya membersihkan dan membakar rumput di ladangnya. Perusahaan (PT Sintang Raya) lalu menelepon polisi dan dia ditangkap. Begitu dibebaskan, dia menjual tanahnya kepada perusahaan. Pemilik lahan di sebelahnya juga segera menjual tanahnya ke perusahaan. Ia mungkin takut akan menjadi bermasalah dengan perusahaan. Seorang petani lain di Seruat Dua ditangkap ketika dia membakar ladangnya, padahal ada batas drainase. Hal ini membuat semua orang takut ditangkap.[168]
PT Sintang Raya dan polisi telah melecehkan dan mengintimidasi perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat setempat yang berupaya untuk memberdayakan dan memberikan dukungan hukum kepada komunitas-komunitas itu. Perwakilan LSM dari Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) mengatakan bahwa PT Sintang Raya mengintimidasi staf mereka dan perwakilan dari LSM lain yang datang untuk berbicara dengan warga tentang sengketa tanah mereka dengan perusahaan.[169] Majid mengatakan, “Mereka [PT Sintang Raya] melapor ke polisi ketika LSM datang untuk berbicara dan mengumpulkan kami. Mereka [PT Sintang Raya] menuduh LSM menyebabkan keresahan, tetapi kami membutuhkan LSM untuk membantu kami memahami apa hak-hak kami. Kami butuh dibantu bernegosiasi dengan perusahaan.” [170]
Penangkapan dan penuntutan sewenang-wenang yang merajalela terhadap anggota masyarakat yang memprotes hilangnya tanah mereka oleh perusahaan dan polisi dapat mengintimidasi para aktivis dan pembela HAM dan keluarga mereka, serta masyarakat yang mereka wakili. Pada 2020, sejumlah penangkapan menjadi berita nasional: seorang jurnalis yang mengkritik industri kelapa sawit ditangkap karena pelanggaran visa, seorang blogger dituntut karena pencemaran nama baik, dan seorang petani lokal ditangkap karena menebang pohon di tanah yang menjadi objek sengketa antara warga dengan perusahaan.[171]
Proses-Proses Hukum Inti di Tingkat Nasional dan Tanggung Jawab Perusahaan Perkebunan
Di Indonesia, sejumlah undang-undang dan peraturan melindungi hak properti dan hak atas tanah.[172] Ada pula peraturan yang menetapkan izin yang diperlukan untuk memperoleh tanah dan mendirikan perkebunan. Perusahaan harus mengurus perizinan ke otoritas lokal yang relevan dan melakukan penilaian dampak lingkungan dan sosial, yang mensyaratkan konsultasi dengan komunitas lokal kemungkinan akan terdampak. Namun, undang-undang baru yang dibuat untuk mendorong investasi di Indonesia akan berdampak pada proses ini, karena membatasi keterlibatan publik dan pengawasan pemerintah.[173]
Proses Perizinan
Untuk mendirikan perkebunan kelapa sawit, hukum Indonesia mewajibkan perusahaan untuk memperoleh serangkaian izin pemerintah dari berbagai instansi. Ini termasuk Izin Lokasi,[174] yang seyogianya dikeluarkan oleh gubernur atau bupati setelah meninjau status kepemilikan lahan, dan mengkaji jika ada perebutan hak atas lahan tersebut.
Sebelum memulai operasi perkebunannya, perusahaan juga harus melakukan analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan menerima Izin Lingkungan dari pemerintah kabupaten atau provinsi.[175]; Izin Usaha Perkebunan atau IUP pada tingkat kabupaten atau provinsi [176]; izin konversi hutan dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup jika lahan yang diberikan kepada perusahaan berada dalam kawasan hutan [177]; dan terakhir, HGU dari kantor perwakilan BPN di tingkat provinsi.[178]
Kewajiban Berkonsultasi dengan Masyarakat Sebelum Memperoleh Izin
Berbagai undang-undang dan peraturan mengharuskan perusahaan untuk berkonsultasi
dengan masyarakat terdampak sebagai bagian dari permohonan dan sebelum memperoleh izin[179]:
a) Sebelum izin lokasi dikeluarkan[180]: Berbagai tahapan konsultasi yang perlu dilakukan antara lain menyebarkan informasi tentang proyek, mengumpulkan informasi tentang kondisi sosial dan lingkungan, dan partisipasi masyarakat terdampak dalam mencari solusi untuk masalah seperti pemindahan.[181]
b) Sebelum perusahaan memperoleh izin lingkungan dan izin perkebunan: Penilaian dampak lingkungan dan sosial juga mencakup konsultasi masyarakat.[182] Jika masyarakat pemilik tanah dan perusahaan tidak mencapai kesepakatan tentang solusi untuk dampak sosial dan lingkungan yang merugikan, masyarakat dapat mengajukan keberatan kepada komisi penilai AMDAL yang dibentuk oleh pejabat pemerintah terkait (menteri, gubernur atau bupati).[183] Demikian pula, perusahaan harus melakukan konsultasi sebagai bagian dari proses perizinan perkebunannya.[184]
c) Sebelum perusahaan mendapatkan izin HGU: Perusahaan harus berkonsultasi dengan pemegang hak atas tanah di dalam tanah adat atau tanah lain yang pemiliknya dapat diidentifikasi, untuk mencapai kesepakatan tentang pengalihan tanah dan kompensasi.[185]
Meskipun langkah-langkah ini tampak jelas dan lugas, dalam praktiknya terdapat kesenjangan dan pengawasan pemerintah yang lemah terhadap pelaksanaan konsultasi oleh perusahaan.[186]
Sejumlah ahli dan pengacara nonpemerintah yang telah membantu ratusan ribu masyarakat adat yang terkena dampak perkebunan kelapa sawit di hampir semua provinsi di Indonesia, mengatakan pada Human Rights Watch bahwa hampir tidak ada pengawasan kepada perusahaan untuk mematuhi persyaratan konsultasi yang disyaratkan berbagai undang-undang.[187]
Masyarakat mengatakan bahwa pada masa lalu, beberapa pejabat pemerintah dalam wewenangnya telah menghilangkan proses penting seperti konsultasi dengan masyarakat selama proses survei kesesuaian lahan (sebelum izin lokasi dikeluarkan) atau proses AMDAL (sebelum izin perkebunan atau izin hak guna usaha dikeluarkan).[188] Pakar di tingkat lokal mengatakan bahwa penilaian dampak sosial, kalaupun dilakukan, sebagian besar hanya formalitas saja dengan partisipasi masyarakat yang minim.[189] Omnibus Law 2020 atau UU Cipta Lapangan Kerja, yang mengubah 79 undang-undang dan mencabut ribuan peraturan, semakin melemahkan standar lingkungan dengan melonggarkan persyaratan perizinan untuk izin lingkungan (AMDAL), sehingga membatasi keterlibatan masyarakat dan pakar lingkungan dalam penilaian dampak lingkungan, mempercepat proses perizinan untuk bisnis, dan menghapus persyaratan persetujuan DPR dalam pelepasan hutan konservasi untuk penggunaan komersial dengan menyerahkan pengambilan keputusan kepada pemerintah pusat (KLHK).[190]
III. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hak Asasi Manusia
Pemerintah Indonesia menjadi pihak dalam perjanjian-perjanjian internasional utama terkait hak asasi manusia yang melindungi hak atas standar hidup yang layak, properti, partisipasi, akses ke informasi, dan pemulihan yang efektif. Prinsip-prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan adalah fondasi untuk pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia tersebut.
Perjanjian-perjanjian relevan yang telah diratifikasi Indonesia antara lain adalah Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR),[191] Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,[192] Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD),[193] dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).[194] Kewajiban pemerintah Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia dan kebebasan dasar ini juga mencakup segala hal yang berkaitan dengan kegiatan pihak ketiga, seperti badan usaha. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia dapat mengakses pemulihan yudisial dan non-yudisial yang efektif.[195]
Badan usaha, dalam hal ini perusahaan perkebunan kelapa sawit, memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia. Dalam kerangka kerja yang ditetapkan dalam Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, serta Panduan Sukarela PBB tentang Tata Kelola yang Baik tentang Kepemilikan Tanah, Perikanan dan Kehutanan dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional (VGGT), dan Komite Prinsip Ketahanan Pangan Dunia untuk Investasi Bertanggung Jawab dalam Sistem Pertanian dan Pangan,(CFS-RAI),[196] Perusahaan bisnis tidak boleh melanggar hak asasi manusia orang lain dan harus mengatasi dampak buruk hak asasi manusia yang melibatkan mereka. Perusahaan juga harus melakukan uji tuntas hak asasi manusia, termasuk terlibat dalam konsultasi yang berarti dengan kelompok yang berpotensi terdampak. Mereka harus memastikan bahwa individu dan komunitas yang terdampak negatif memiliki akses ke mekanisme penyelesaian keluhan yang efektif. Perusahaan harus memenuhi tanggung jawab ini bahkan ketika pemerintah sendiri gagal memenuhi tanggung jawabnya atau tidak memantau kepatuhan perusahaan.
Perubahan Iklim dan Hak Asasi Manusia
Dalam konteks perubahan iklim, Indonesia memiliki kewajiban khusus untuk melindungi hak asasi manusia dari kerusakan lingkungan termasuk dengan mengambil langkah konkret untuk memenuhi dan meningkatkan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca berdasarkan Perjanjian Paris 2015 tentang Perubahan Iklim.[197] Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen dari skenario business-as-usual pada 2030, atau 41 persen dengan bantuan internasional. Meski demikian, hingga kini Indonesia belum berada di jalur yang sesuai untuk mencapai tujuan tersebut.[198] Selain kondisi cadangan karbon yang menurun signifikan, Indonesia saat ini merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Pembabatan hutan alam terus menerus di Indonesia, termasuk hutan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, merupakan sumber terbesar dari total emisi gas rumah kaca di negara ini.[199]
Pada 2018, Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya memperingatkan bahwa “kegagalan untuk mencegah dampak buruk terhadap hak asasi manusia akibat perubahan iklim, atau kegagalan untuk memberdayakan secara maksimum sumber daya yang tersedia, dapat dianggap sebagai pelanggaran” terhadap kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia untuk semua.[200] Komite ini juga mengingatkan pemerintah bahwa kewajiban pemenuhan hak asasi manusia di bawah ICESCR seyogianya dapat dijadikan sebagai panduan dalam merancang dan menerapkan langkah-langkah untuk mengatasi perubahan iklim.[201]
Pemerintah Indonesia telah menuai kecaman dari dalam dan luar negeri karena tidak lebih ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca berdasarkan Perjanjian Paris.[202] Ia juga dikritik karena buruknya penegakan peraturan yang ditujukan untuk mengelola atau mencegah kebakaran dan kabut asap.[203] Upaya untuk terus mendorong peningkatan produktivitas di sektor kelapa sawit dengan potensi untuk memperluas dan mengubah lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit telah meningkatkan kekhawatiran.[204] Tata kelola lahan yang buruk dan pelanggaran hak asasi manusia berkontribusi pada rusaknya lebih banyak lahan gambut, sehingga semakin kecil kemungkinannya bagi Indonesia untuk memenuhi targetnya saat ini.
Hak atas Properti dan Larangan Perampasan Sewenang-wenang
Hukum internasional melindungi hak yang terkait dengan tanah dan jaminan kepemilikan, termasuk hak atas properti.[205] Setiap orang berhak untuk memiliki properti, baik sendiri maupun secara bersama dengan orang lain dan tidak seorang pun boleh secara sewenang-wenang merampas properti mereka.[206] Hak atas properti sebagaimana tercantum dalam instrumen hak asasi manusia meliputi tanah dan penggunaan tanah. Tidak seorang pun boleh dirampas tanahnya kecuali untuk kepentingan umum, sesuai dengan hukum dan setelah pembayaran kompensasi yang adil.[207]
Berdasarkan hukum Indonesia, tanah yang ditujukan untuk transmigrasi juga memiliki jaminan hak kepemilikan.[208] Masyarakat transmigran yang dimukimkan kembali di seluruh Indonesia melalui program pemerintah memiliki hak untuk menggunakan dan mengelola lahan yang dialokasikan sesuai keinginan mereka. Pemerintah seharusnya tidak mengalokasikan konsesi lahan yang tumpang tindih untuk kelapa sawit, pertanian, dan bisnis ekstraktif lainnya.
Beberapa konvensi hak asasi manusia juga melindungi dari diskriminasi, termasuk berdasarkan jenis kelamin, menghormati kepemilikan, dan yang berhubungan dengan akses untuk penggunaan dan penguasaan atas tanah.[209] Pasal 14 (2) (g) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) mensyaratkan pemerintah untuk “mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan … dan memastikan hak atas perlakuan yang sama seperti laki-laki dalam reformasi tanah dan agraria.”[210] Pemerintah Indonesia harus menangani dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan kondisi dan sikap yang menyebabkan atau melanggengkan diskriminasi, baik diskriminasi substantif maupun de facto, yang membatasi partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan terkait tanah di dalam komunitas mereka.
Hak atas Standar Hidup yang Layak
Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menjamin hak untuk mengamankan mata pencarian seseorang dan menjamin standar hidup yang layak.[211] Hak atas standar hidup yang layak mencakup antara lain hak atas makanan yang tersedia, dapat diakses, dan layak, hak atas perumahan, hak atas air dan sanitasi, dan hak-hak lainnya.[212] Hilangnya lahan masyarakat, serta degradasi lingkungan yang disebabkan oleh meningkatnya hama dan intrusi air asin, telah mengancam ketahanan pangan masyarakat ini.
Hak untuk Berpartisipasi
Untuk melindungi hak setiap orang sekarang dan di masa depan, agar mereka dapat hidup dalam lingkungan yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka, negara harus memastikan bahwa hak atas akses informasi, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, dan akses keadilan lingkungan telah dipenuhi.[213]
Kurangnya keterlibatan yang bermakna dari masyarakat yang terkena dampak dalam pengambilan keputusan atas alokasi tanah mereka untuk PT Sintang Raya dan perluasan operasi perusahaan di wilayah mereka merupakan pelanggaran terhadap hak untuk berpartisipasi. [214]
Hak untuk berpartisipasi berkaitan dengan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi pelaksanaan hak-hak lain, seperti hak atas standar hidup yang layak.[215] Pelanggaran hak untuk berpartisipasi dapat terjadi melalui “kegagalan mengambil langkah-langkah yang wajar untuk memfasilitasi partisipasi, termasuk dengan memastikan hak untuk mengakses informasi.”[216]
Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia atas Air Minum dan Sanitasi yang Aman menggambarkan hak untuk berpartisipasi sebagai kebutuhan untuk menjadi “aktif, bebas, dan bermakna”. Partisipasi ini membutuhkan lebih dari “bentuk partisipasi formalitas”, seperti “sekadar berbagi informasi atau konsultasi yang dangkal”. Sebaliknya, “negara memiliki kewajiban untuk mengundang partisipasi dan untuk menciptakan peluang dari awal musyawarah terhadap suatu tindakan dan sebelum keputusan apa pun diambil, bahkan jika keputusan tersebut, secara de facto, telah diambil.” Selanjutnya, “peserta harus dilibatkan dalam menentukan ketentuan partisipasi, ruang lingkup masalah dan pertanyaan yang akan dibahas, pembingkaian dan urutannya, dan aturan prosedur.”[217]
Badan-badan perjanjian PBB, seperti Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komite Hak Asasi Manusia, dan Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, telah merekomendasikan agar negara memastikan konsultasi dengan komunitas yang terdampak, termasuk dalam konteks-konteks berikut:
- Sebelum melaksanakan proyek pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, dan pembebasan lahan dan konsesi;[218]
- Selama pengelolaan tanah dan sumber daya alam;[219]
- Dalam mengembangkan undang-undang dan mekanisme pengelolaan lahan;[220] dan
- Saat menyelesaikan dan mencegah konflik lahan.[221]
Partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan terkait lahan dapat membantu memastikan bahwa alokasi dan penggunaan lahan akan melayani prioritas warga dan mengurangi kemungkinan proyek akan digagalkan oleh korupsi atau kepentingan pribadi.
Hak atas Akses Informasi
Informasi merupakan prasyarat untuk menjalankan berbagai hak lainnya, termasuk hak atas standar tertinggi untuk kesehatan fisik dan mental yang dapat dicapai, hak untuk berpartisipasi, dan hak atas lingkungan yang sehat. Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia PBB No. 34 pada pasal 19 ICCPR secara tegas menyatakan hak untuk mengakses informasi yang dimiliki oleh badan-badan publik. Komite Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa untuk “memberlakukan hak akses atas informasi, Negara-negara para Pihak harus secara proaktif memasukkan informasi pemerintah domain publik untuk kepentingan publik,” memastikan akses itu mudah, cepat, efektif, dan praktis. [222]
Hak atas Kebebasan Berekspresi, Berserikat, dan Berkumpul Secara Damai
Untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, setiap orang berhak, secara individu atau bersama dengan orang lain, untuk bertemu atau berkumpul secara damai, bebas untuk mempublikasikan, membagikan atau menyebarluaskan pandangan, informasi dan pengetahuan tentang hak asasi manusia dan kebebasan fundamental; dan untuk mempelajari, membentuk dan mempertahankan pendapat terkait hal itu, baik dalam hukum maupun dalam praktik, terkait semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar dan untuk menarik perhatian publik pada hal-hal tersebut.
Pihak berwenang di Indonesia telah melanggar hak warga terdampak dan aktivis lokal untuk memprotes pengambilan tanah mereka oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang melanggar hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai,[223] dan malah terkesan melindungi perusahaan dengan melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap warga, dan melanggar hak warga atas proses peradilan yang adil.[224]
Di antara mereka yang menjadi sasaran adalah para pembela hak asasi manusia, istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang yang, secara individu atau bersama orang lain, bertindak untuk mempromosikan atau melindungi hak asasi manusia.[225] Pembela hak asasi manusia yang menangani masalah tanah merupakan elemen penting dalam penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia.[226]
Hak atas Pemulihan yang Efektif
Di bawah ICCPR, individu yang hak asasi manusianya telah dilanggar berhak atas akses pemulihan yang efektif, baik melalui pengadilan atau mekanisme penyelesaian keluhan lainnya, dan berhak diberikan pemulihan yang memadai untuk kerugian yang diderita sebagai akibat dari pelanggaran tersebut.[227] Negara memiliki kewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran, dan, jika kejahatan telah dilakukan, menuntut mereka yang bertanggung jawab. Kurangnya mekanisme penyelesaian keluhan yang efektif, koordinasi dan tanggung jawab yang jelas di antara otoritas publik untuk menangani keluhan dan memberikan pemulihan, atau adanya korupsi, merusak akses terhadap keadilan dan pemulihan yang efektif bagi orang-orang yang terdampak masalah tanah.[228]
Indonesia memiliki banyak sekali mekanisme penyelesaian sengketa, baik di tingkat pusat maupun daerah. Ironisnya, konflik lahan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, sangat besar jumlahnya. Dalam kasus PT Sintang Raya, bahkan setelah ada keputusan Mahkamah Agung yang mengakui hak sejumlah anggota masyarakat atas tanah mereka yang telah digarap oleh perusahaan, sangat sedikit sekali yang bisa dilakukan masyarakat untuk menegakkan keputusan tersebut.
Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia menetapkan bahwa perusahaan bertanggung jawab melakukan uji tuntas untuk mengidentifikasi dampak terhadap hak asasi manusia, menghindari menyebabkan atau berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi mereka, menghindari keterlibatan dalam pelanggaran, dan memastikan bahwa setiap pelanggaran diperbaiki dan dipulihkan.[229]
Perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang secara langsung berdampak pada anggota masyarakat dan keluarga mereka, punya tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia mereka yang tinggal di lahan mereka sendiri.[230] Meskipun pengawasan pemerintah tak efektif, perusahaan harus mengambil langkah-langkah efektif untuk mengidentifikasi dan mengurangi dampak negatif operasi mereka terhadap hak asasi manusia. Dalam kasus-kasus yang didokumentasikan Human Rights Watch, perusahaan perkebunan kelapa sawit menjalankan operasi dengan melanggar hak asasi manusia masyarakat terdampak karena lemahnya kerangka kerja regulasi di tingkat nasional. Perusahaan seharusnya memastikan bahwa keluarga terdampak menerima kompensasi yang memadai, dan kompensasi tersebut seyogianya diberikan melalui konsultasi yang bermakna dengan semua orang yang terlibat.
Ucapan Terima Kasih
Laporan ini diteliti dan ditulis oleh Juliana Nnoko-Mewanu, periset senior bidang perempuan dan tanah di Divisi Hak Perempuan Human Rights Watch. Sairindri Gita, asisten penelitian, dan Cara Schulte, koordinator Divisi Lingkungan dan HAM, yang menyediakan bantuan riset. Bantuan perancangan dan produksi diupayakan oleh Erika Nguyen dan Susanné Bergsten, para koordinator Divisi Hak Perempuan.
Amanda Klasing, co-director sementara Divisi Hak Perempuan, dan Aruna Kashyap, penasihat senior Divisi Bisnis dan HAM, menyunting laporan ini. Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia; Jim Wormington, peneliti senior pengelolaan sumber daya alam; Katharina Rall, peneliti senior, Luciana Téllez-Chávez, peneliti, dan Felix Horn, peneliti senior Divisi Lingkungan dan HAM, meninjau laporan ini. James Ross, direktur legal dan kebijakan; serta Tom Porteous, wakil direktur program, memberikan tinjauan hukum dan program.
Produksi laporan ini dikerjakan oleh Travis Carr, koordinator publikasi. Persiapan penerbitannya dilakukan oleh Fitzroy Hepkins, manajer administrasi senior, dan Jose Martinez, koordinator administrasi senior.
Meidella Syahni, Kristi Ardiana, dan Esti Wahyuni memberikan bantuan penjurubahasaan dan penelitian lapangan. Meidella Syahni, Vitri Angreni, Dea Anugrah, dan Rara Rizal, konsultan, menerjemahkan dan memeriksa versi bahasa Indonesia laporan ini.
Human Rights Watch juga berterima kasih kepada Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR) Borneo atas bimbingan dan dukungannya. Dan yang terpenting, kami berterima kasih sedalam-dalamnya kepada masyarakat di Kubu Raya yang telah membagikan kisah-kisah mereka kepada kami.