Saat saya bertemu Melati, 14 tahun, bulan Juli tahun ini, ia sedang mencari pekerjaan. Saat keluarganya tidak mampu lagi membiayai biaya pendidikan, Melati terpaksa berhenti sekolah pada usia 12 tahun, tidak mampu menuntaskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Keinginan untuk membiayai hidup ibunya yang seorang janda dan adik laki-lakinya membuat Melati meninggalkan desanya di Jawa Timur dengan harapan mendapat penghasilan dengan bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Yogyakarta. Pada saat Melati menatap kedua tangannya dengan gugup dalam diam, saya mencemaskan apa yang kira-kira akan didapatkannya dari kehidupan di Yogyakarta.
Ada banyak alasan untuk cemas. Riset yang dilakukan oleh Human Rights Watch, yang berlangsung sejak tahun 2004, membuktikan bahwa anak perempuan dalam jumlah yang menghawatirkan bekerja sebagai PRT, beberapa di antara mereka masih berusia 11 tahun, menghadapi pelecehan fisik dan seksual dan juga ekploitasi tenaga kerja berat. Mereka tersembunyi di dalam rumah majikan mereka, terpisah dari orang tua mereka, dan tanpa pengawasan atau perlindungan dari pemerintah. Anak-anak ini tergantung sepenuhnya kepada belas kasihan majikan mereka.
Hal ini ditanggapi oleh Dewan Kota Yogyakarta yang saat ini sedang mempertimbangkan sebuah Peraturan Daerah mengenai Penyelenggaraan Ketenagakerjaan baru yang menurut para pembuat kebijakan akan memperbaiki situasi, baik bagi pekerja anak maupun PRT. Sayangnya, draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang ada saat ini sangat lemah. Yang penting untuk diperhatikan, Raperda-tanpa pembenaran sama sekali-tidak memberikan PRT standar ketenagakerjaan minimum yang dinikmati oleh pekerja lain, antara lain satu hari istirahat mingguan dalam seminggu, pembatasan jam kerja, dan upah minimum.
Majikan-majikan akan tetap bebas untuk memaksa PRT untuk bekerja selama jam kerja yang panjang di siang hari dan malam hari, tanpa istirahat, dengan upah yang setara dengan bagian kecil dari upah yang didapatkan oleh pekerja-pekerja lain. Raperda ini mencerminkan sebuah pandangan bahwa kerja yang dilakukan oleh anak-anak perempuan seperti Melati tidak terlihat dan tidak berharga.
Salah satu anggota Dewan Kota Yogyakarta yang sangat terlibat dalam perancangan Peraturan Daerah ini memberitahu saya bahwa PRT anak di Yogyakarta tidak memerlukan perlindungan hukum, karena, menurutnya, "mereka diperlakukan seperti keluarga sendiri." Tetapi pengalaman banyak PRT anak yang diwawancarai oleh Human Rights Watch di Yogyakarta memberi gambaran yang berbeda:
Ria, yang mulai bekerja di Yogyakarta pada usia 15 tahun, memberitahu kami bahwa ia bekerja 18 jam per hari untuk majikannya, selama tujuh hari dalam seminggu, dengan hanya satu jam istirahat dalam sehari. Bekerja untuk jangka waktu yang begitu lama tanpa waktu untuk istirahat dan rekreasi dapat menghambat perkembangan mental, fisik, sosial dan intelektual anak. Meski demikian, kebanyakan anak-anak perempuan yang diwawancarai oleh Human Rights Watch bekerja antara 14 sampai 18 jam per hari. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat jumlah kerja harian yang diperbolehkan untuk dilakuan buruh pabrik atau pekerja kantor di Yogyakarta. Raperda gagal dalam mengatasi ketidakseimbangan ini.
Hasana, yang mulai bekerja pada usia 12 tahun, memberitahu kami "Awalnya saya sangat senang... Majikan saya terus-terusan janji kalau dia akan menyekolahkan saya, tapi akhirnya tidak pernah disekolahkan-dia bohong." Karena hukum di Indonesia mewajibkan anak-anak untuk menuntaskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, Raperda ini lemah karena tidak menetapkan mekanisme untuk memeriksa bahwa memang benar bekerja tidak akan menghambat kesempatan anak-anak seperti Hasana untuk melanjutkan sekolah.
Selain itu, mengurung anak-anak perempuan yang masih muda di dalam rumah orang yang tidak mereka kenal dengan baik adalah resep untuk eksploitasi. Meski demikian, Raperda tidak memasukkan ketetapan untuk memonitor perlakuan para majikan terhadap PRT anak. Hasana meneruskan untuk mengatakan: "Saya tidak dapat hari libur. Walaupun orangtua saya tinggal hanya duapuluh kilometer dari rumah majikan saya, saya tidak boleh mengunjungi orangtua saya. Saya merasa seperti dipenjara. Saya tidak boleh keluar dari rumah majikan. Saya tidak punya teman. Keluarga saya tidak bisa mengunjungi saya. Saya putus asa." Atin, yang mulai bekerja di usia 11 tahun, juga dikurung di dalam rumah majikannya. Ia bercerita: "Saya merasa ditekan oleh majikan saya karena saya tidak boleh keluar rumah untuk mengunjungi keluarga saya atau bertemu dengan teman-teman saya. Saya sedih. Saya diawasi terus-terusan."
Tidak setiap PRT anak semenderita ini, tetapi hukum yang kuat dibutuhkan untuk melindungi mereka yang rentan terhadap risiko mendapatkan perlakuan tidak layak. Motivasi seorang majikan untuk merekrut anak dan bukan orang dewasa seringkali adalah agar mereka mendapatkan seseorang yang bersedia untuk dibayar lebih sedikit, yang jarang mengeluh, yang lebih mudah diberi perintah dan yang mempunyai lebih sedikit teman dan kenalan. Faktor-faktor ini jugalah yang memungkinkan seorang PRT lebih rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi dan kurang mampu melindungi dirinya sendiri.
Di pabrik-pabrik dan kantor-kantor di Yogyakarta, banyak karyawan yang diperlakukan dengan baik, tetapi peraturan-peraturan yang jelas jugalah yang membantu mencegah perlakuan tidak layak oleh majikan-majikan yang mungkin memperlakukan karyawan mereka dengan tidak layak.
Seorang anggota sangat senior pemerintah Yogyakarta memberitahu saya bahwa, meskipun secara pribadi ia sangat mendukung peningkatan perlindungan untuk PRT, ia merasa peraturan-peraturan seperti itu tidak cocok dengan "nilai-nilai yang dianut masyarakat." Tetapi kalau memang kebanyakan majikan menganggap PRT mereka sebagai bagian dari keluarga mereka, mengapa mereka tidak mau mendukung pemberian jaminan untuk PRT untuk mendapat perlindungan minimum yang mereka nikmati dalam bekerja di pabrik-pabrik dan kantor-kantor di Yogyakarta?
PRT seharusnya tidak tergantung semata-mata kepada kebaikan majikan mereka untuk menjamin bahwa hak mereka untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan yang layak dihormati. Bulan ini, saat banyak anak-anak perempuan yang masih muda seperti Melati datang ke Yogyakarta setelah hari raya untuk mencari pekerjaan, anggota Dewan Kota seharusnya melakukan jauh lebih banyak untuk melindungi hak-hak mereka. Mengesahkan Peraturan Daerah yang mengakui kenyataan yang ada-bahwa PRT melakukan pekerjaan yang selain pantas mendapat imbalan juga produktif, dan pantas diberi pengakuan yang diberikan berdasarkan persamaan kedudukan hukum dengan bentuk-bentuk pekerjaan yang lain-adalah sebuah permulaan yang baik.
Penulis adalah seorang periset di Divisi Perlindungan Hak Anak di Human Rights Watch. Human Rights Watch adalah sebuah organisasi hak asasi manusia internasional yang bekerja di lebih dari 70 negara di seluruh dunia, yang juga melakukan advokasi untuk hak-hak PRT migran asal Indonesia yang bekerja di Malaysia, Singapura, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Human Rights Watch telah mewawancarai lebih dari 200 orang di Indonesia mengenai masalah PRT anak, termasuk 80 PRT anak dan mantan PRT anak yang berusia 11 tahun ke atas. Untuk melindungi identitas anak, semua nama anak yang dipergunakan adalah nama samaran.