(New York, 6 Maret 2012) –Keputusan Kementerian Tenaga Kerja Singapura memberikan hari libur mingguan bagi pekerja rumah tangga (domestik) dari luar negeri merupakan langkah maju tapi belum cukup untuk standar inernasional, pernyataan Human Rights Watch hari ini. Perubahan tersebut, diumumkan 5 Maret 2012, mulai berlaku untuk kontrak baru sejak Januari 2013 serta tidak melibatkan pekerja rumah tangga dalam perlindungan UU Ketenagakerjaan Singapura secara umum.
"Bahwa pemerintah Singapura memberi hari libur mingguan sebagai hak buruh akan membuat kehidupan pekerja migran di sektor rumah tangga jadi lebih baik," kata Nisha Varia, peneliti senior hak-hak perempuan Human Rights Watch. "Tapi reformasi penting ini harus mulai efektif tahun ini dan berlaku bagi semua pekerja rumah tangga yang tengah menjalani kontrak."
Menteri Tenaga Kerja Tan Chuan-Jin mengumumkan bahwa majikan dapat memberikan ganti upah bagi pekerja rumah tangga yang tetap bekerja di hari libur dengan persetujuan si pekerja. Menurut Human Rights Watch, pasal ini mengundang risiko penyelewengan dimana majikan dapat memaksa pekerja melakukan bekerja di hari libur.
Banyak keluarga di Singapura mempekerjakan sekitar 206.000 pekerja rumah tangga asing, terutama dari Indonesia, Filipina, Sri Lanka, dan India. Mereka rata-rata bekerja seminggu penuh dengan jam kerja panjang, agen tenaga kerja mengharuskan mereka menyerahkan gaji beberapa bulan sebagai imbal jasa penyaluran, dan menghadapi kesulitan meninggalkan tempat kerja sekalipun di hari libur.
"Seperti disampaikan dalam pidato Menteri Tenaga Kerja Tan di hadapan parlemen, hari libur sangat penting untuk fisik, mental, dan kesejahteraan emosional pekerja rumah tangga," kata Varia. "Pemerintah harus menutup celah penyalahgunaan dan menjamin bahwa pekerja akan benar-benar mendapatkan setidaknya sejumlah hari minimal untuk berlibur."
Selama beberapa tahun terakhir Singapuramulai reformasi untuk meningkatkan kondisi pekerja rumah tangga asing, termasuk wajib ikut program orientasi dan mengetatkan regulasi bagi agen tenaga kerja. Para jaksa juga semakin cermat menuntut majikan yang melakukan kekerasan fisik, terlihat dari peningkatan jumlah denda dan hukuman penjara yang telah dijatuhkan.
Namun, perlindungan terhadap tenaga kerja asing di Singapura masih tertinggal jauh dibanding negara-negara penerima lainnya, ujar Human Rights Watch, termasuk Hong Kong, yang memasukkan pekerja rumah tangga ke dalam UU Pokok Perburuhan-nya. Perlindungan perburuhan di Singapura juga di bawah standar yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization) melakui Konvensi No 189 tentang Pekerjaan yang Layak untuk Pekerja Rumah Tangga, yang diadopsi pada bulan Juni 2011.
Konvensi ILO menetapkan standar global pertama untuk sekitar 50 juta hingga 100 juta pekerja domestik di seluruh dunia. Elemen-elemen kunci dari konvensi tersebut menuntut pemerintah memperlakukan pekerja rumah tangga setara dengan pekerja lain, termasuk jam kerja, cakupan upah minimum, kompensasi lembur, libur harian dan mingguan, jaminan sosial, dan perlindungan kehamilan. Singapura satu dari hanya sembilan negara yang tak mendukung adopsi konvensi.
"Reformasi Singapura ini hanya sebagian kecil dari perubahan yang diperlukan untuk melindungi pekerja perempuan yang terlalu sering direndahkan dan dibebani kerja berlebihan," kata Varia. "Singapura harus bergabung dengan negara-negara di seluruh dunia yang telah mengakui ketidakadilan diskriminasi terhadap pekerja rumah tangga dan membuat reformasi komprehensif untuk menjamin hak mereka, sama seperti pekerja lainnya."