(Jakarta, 26 April 2017) – Pemerintah Indonesia harus mengambil sejumlah kebijakan guna memastikan agar aparat keamanan, yang melakukan kekerasan terhadap wartawan, diberhentikan dan dihukum secara pantas, kata Human Rights Watch hari ini. Data dan studi kasus terbaru menunjukkan ada peningkatan kasus intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan yang meresahkan dalam dua tahun terakhir.
Irina Bokova, Direktur Jenderal Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO), yang menunjuk Jakarta menjadi tuan rumah ajang tahunan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei 2017, harus menggunakan kesempatan tersebut untuk mengangkat persoalan meningkatnya kasus kekerasan ini di depan publik, sekaligus mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk meresponnya dengan tindakan lebih tegas.
“Hari Kebebasan Pers Sedunia harus menjadi momen untuk merayakan peran para wartawan dalam masyarakat, namun di Indonesia fokusnya seringkali pada ketakutan para wartawan,” ujar Phelim Kine, wakil direktur Asia di Human Rights Watch. “Pemerintah Indonesia harus menanggulangi penurunan kebebasan pers yang berbahaya di Indonesia serta menghukum aparat keamanan yang melakukan kekerasan terhadap wartawan.”
Aliansi Jurnalis Independen, sebuah perkumpulan non-pemerintah, melaporkan pada 2016 ada 78 insiden kekerasan terhadap wartawan, termasuk yang dilakukan aparat keamanan. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan pada 2015 (42 insiden) dan 2014 (40 insiden). AJI menemukan bahwa dari 78 kasus, hanya segelitir saja yang diseret ke pengadilan. Undang-undang Pers Tahun 1999 secara eksplisit menyebutkan perlindungan pada wartawan, termasuk hukuman penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp. 500 juta, bagi pelaku kekerasan terhadap wartawan.
Human Rights Watch mewawancarai 18 wartawan dan enam pembela kebebasan pers di Balikpapan, Banten, Jakarta, Jayapura, Makassar, Medan, Padang, Pekanbaru, dan Surabaya. Mereka menggambarkan suasana resah, kekuatiran dan tindakan swasensor di banyak ruang redaksi, yang disebabkan oleh penganiayaan dan ancaman, yang dilakukan oleh aparat keamanan dan pihak berwenang setempat, yang tidak ditindak atau, dalam banyak kasus, bahkan tak diselidiki secara menyeluruh.
Penganiayaan yang dimaksud mencakup perusakan peralatan wartawan —terutama kamera dan kartu memori-- pelecehan, intimidasi, ancaman, dan serangan fisik. Bentuk-bentuk penganiayaan ini terjadi di semua pulau utama di Indonesia, khususnya di ibukota provinsi dan kota-kota kabupaten. Kasus kekerasan terhadap wartawan jarang ditemui di Jakarta karena mereka lebih tahu dengan hak mereka dan didukung oleh berbagai organisasi wartawan.
Human Rights Watch menyelidiki tiga kasus penyerangan terhadap lima wartawan. Kelima korban telah melaporkan kasus yang menimpa mereka dan khawatir dengan kemungkinan adanya aksi balasan karena merinci kekerasan yang mereka alami.
Provinsi Papua dan Papua Barat — (biasa disebut bersamaan sebagai “Papua”)—masih menjadi tempat yang sulit, baik bagi wartawan Indonesia maupun asing. Wartawan etnik Papua khususnya kerap menghadapi pelecehan dan intimidasi, dan sering menjadi korban, tindak kekerasan aparat keamanan dan pro-kemerdekaan saat meliput dugaan korupsi, pelanggaran HAM, perampasan lahan, dan topik peka lain. Pemerintah Indonesia juga masih terus membatasi akses para wartawan asing untuk melakukan liputan di Papua dengan alasan “keamanan” yang terkesan dibuat-buat, meski 10 Mei 2015 lalu Presiden Jokowi mengumumkan bahwa wartawan asing yang telah terakreditasi memiliki akses tanpa hambatan ke Papua.
Kemajuan yang dicapai Indonesia dalam hal kebebasan pers sejak Presiden Suharto mundur takkan berlanjut, jika pemerintah tak segera menanggapi secara tegas setiap kali wartawan dan organisasi media dilecehkan atau menjadi korban kekerasan, kata Human Rights Watch. Untuk memastikan agar hukum yang melindungi para awak media ini ditegakkan, Jokowi harus mendesak lembaga-lembaga negara, khususnya Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia, untuk menerapkan kebijakan yang sama sekali tak memberi toleransi pada kekerasan terhadap wartawan.
Sejumlah aparat keamanan yang diduga melakukan penyerangan terhadap wartawan harus segera diskors dari kesatuannya, dan sebagai sebuah bukti kesungguhan pemerintah, dituntut sebagai pelaku tindak kriminal. Setiap pejabat yang turut melakukan upaya menyelesaikan kasus kekerasan “secara kekeluargaan” –eufemisme buat penyelesaian di luar hukum-- harus dibebastugaskan. Akhirnya, pemerintah harus menyelenggarakan program pendidikan yang memadai tentang kebebasan pers bagi para pejabat pemerintah, polisi, dan aparat militer.
Menurut Human Rights Watch, UNESCO dan beberapa lembaga donor internasional diharapkan bisa mendukung berbagai upaya dari kelompok advokasi media nonpemerintah, guna turut mendidik para wartawan soal hak-hak mereka dan jalur hukum yang bisa ditempuh jika hak mereka dilanggar. UNESCO juga harus mendukung Dewan Pers dalam mengkampanyekan edukasi publik mengenai kebebasan berekspresi.
“Pemerintah Indonesia wajib mengatasi ancaman keamanan terhadap para wartawan sehingga mereka tidak berisiko menjadi korban kekerasan fisik karena menjalankan tugas,” ujar Kine. “Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Jakarta semata akan menjadi latihan hubungan kemasyarakatan yang sinis kecuali pemerintah Indonesia, dengan bantuan UNESCO, menempatkan kebebasan media sebagai agenda utama.”
Serangan Terhadap Wartawan
Kebebasan media di Indonesia meningkat tajam dalam kurun waktu hampir dua dasawarsa terakhir sejak berakhirnya pemerintahan otoriter Presiden Suharto. Indonesia kini memiliki ratusan stasiun televisi (termasuk tv kabel), lebih dari 2,000 stasiun radio dan 1.000 surat kabar dan media berbasis web. Seluruh media ini dimiliki dan dikelola oleh 13 konglomerat. Jumlah wartawan juga mengalami peningkatan, dari 15,000 orang di masa Suharto menjadi setidaknya 100,000. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan pelaporan pelecehan dan intimidasi terhadap wartawan, dan belum lama ini, laporan kasus kekerasan terhadap wartawan meningkat tajam.
Kasus-kasus berikut merinci risiko yang bisa dihadapi wartawan ketika meliput berita sensitif dan kegagalan aparat keamanan dan sistem peradilan di Indonesia untuk memberikan pertanggungjawaban.
Iqbal Lubis, fotografer Tempo Group
Vincent Waldy, videografer Metro TV
Diserang oleh beberapa anggota polisi saat meliput demonstrasi mahasiswa di Makassar, 13 November 2014
Pada 13 November 2014, Iqbal Lubis, fotografer dari Tempo, mendatangi kampus Universitas Negeri Makassar untuk memotret demonstrasi mahasiswa menolak keputusan pemerintahan Jokowi menaikkan harga BBM. Demonstrasi tersebut sudah berlangsung selama satu minggu.
Aksi protes yang berlangsung hari itu berujung pada kekerasan, dengan adanya mahasiswa melempar batu kepada ratusan polisi. Ratusan polisi –dengan truk anti huru-hara, tameng, pentungan, dan gas air mata— yang telah disiagakan di sekitar kampus memastikan agar keributan tak menyebar ke wilayah sekitar kampus.
Kepada Human Rights Watch, Lubis mengatakan pada siang 13 November, pasukan polisi yang berjaga depan kampus, mengetahui lewat radio komunikasi bahwa Wakapolrestabes Makassar AKBP Totok Lisdiarto, atasan mereka, jadi korban pemahanan.
Polisi tampaknya marah, berteriak “Masuk! Masuk!”
Lubis mengatakan, ratusan polisi memasuki kampus dan mulai mengejar para mahasiswa yang mencoba kabur. Mereka menendang deretan sepeda motor dan menghancurkan kaca dari sejumlah mobil di lokasi parkir. Mereka menerobos sejumlah ruangan kelas dan memerintahkan mahasiswa yang berada di situ untuk pergi. Beberapa orang polisi mencegah kolega mereka menghancurkan kaca-kaca gedung kampus. Lubis mengatakan, ia dan lebih dari selusin wartawan lainnya mengikuti polisi seraya menelusuri kampus lebih dalam. Beberapa polisi berseru, “Tangkap! Tangkap!”
Polisi menjotos dan menendang laki-laki tua yang, menurut para mahasiswa, adalah seorang wakil dekan. Ketika polisi memborgol dan menggiringnya ke mobil polisi terdekat, sejumlah mahasiswi mulai menangis dan menjerit. Lubis, bersama Vincent Waldy dari Metro TV, meninggalkan rombongan wartawan dan melihat pasukan polisi mengepung sekelompok mahasiswa dekat sebuah pohon. Pasukan tersebut mengusir para mahasiswi, dan memukuli dan menendangi mahasiswa laki-laki. Lubis memotret saat polisi memukul dan merobek pakaian mahasiswa. Kata Lubis:
Tiba-tiba, sebuah tameng polisi menghantam kamera saya. Saya bilang ke polisi bahwa saya wartawan. Saya tunjukkan pada mereka kartu pers saya. Tapi polisi-polisi lainnya mendekat. Saya mengenali seragam mereka: Brimob dan polisi Sabhara (anti huru-hara). Mereka memukul saya dengan tangan dan tameng mereka. Saya menggunakan kedua tangan untuk mengelakkan pukulan ke arah kepala. Itu menyelamatkan saya dari cedera serius. Saya hanya terluka di bagian tangan.
Waldy berusaha menghentikan polisi yang memukuli Lubis, dengan mengatakan bahwa Lubis adalah seorang wartawan. Lubis memanfaatkan kesempatan itu untuk menghindar. Polisi malah memukuli Waldy. Kata Waldy:
Saya mendekati Iqbal [Lubis] dan menyeretnya menjauh [dari polisi]. Saya bilang bahwa kami adalah wartawan. Saya berusaha menghentikan polisi yang mendorong Iqbal. Iqbal berhasil kabur. Tiba-tiba seorang petugas Brimob menjotos saya dari sisi kiri dan dahi saya langsung berdarah. Saya tidak sempat melihat pelaku maupun alat apa yang ia gunakan untuk memukul saya. Tebakan saya itu tameng anti huru-hara. Berat dan besar. Seketika saya tak sadarkan diri dan terjatuh.
Beberapa wartawan lain mendekat dan memotret Waldy saat dipukuli. Wartawan lainnya mencoba melindungi Waldy. Kata Lubis:
Polisi berteriak, “Jangan foto! Jangan foto!” Saya terus lari tapi dua anggota Brimob mengejar saya. Anggota Brimob yang ketiga menghentikan saya. Tapi fotografer lain, Ikhsan Arham, berteriak bahwa saya adalah wartawan. Seorang petugas memukul Arham yang lantas tersulut emosinya. Arham bilang kalau [polisi] mau berkelahi, sebaiknya satu lawan satu. Ternyata pernyataannya mengubah [sikap] mereka. Para anggota Brimob itu akhirnya melepaskan saya. Arham memberi tahu saya bahwaWaldy berdarah dan sudah dilarikan ke rumah sakit.
Waldy dibawa seorang koleganya ke rumah sakit terdekat, RSU Islam Faisal, di mana luka pada dahinya dijahit dengan lima jahitan. Atas anjuran para koleganya, malam itu Waldy dan seorang penasihat dari Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) melapor ke Polrestabes Makassar. Dua pekan kemudian, ia kembali dipanggil kepolisian untuk memberikan keterangan lebih lanjut mengenai penyerangan yang dialaminya. Ia diminta polisi untuk mengidentifikasi polisi yang menyerangnya, namun Waldy tidak bisa karena tak melihat wajah si penyerang pada saat kejadian.
Lubis juga menuntut ganti rugi atas luka yang dialaminya. Ia mengatakan dapat mengidentifikasi satu dari lima atau lebih polisi yang menyerangnya karena lencana bertuliskan nama ada dalam video serta foto yang diambil sejumlah wartawan lain.
Keesokan harinya, 14 November, kepolisian memanggi Lubis ke Polrestabes Makassar untuk membuat laporan resmi atas petugas kepolisian yang menyerangnya. Wakil-wakil dari Aliansi Jurnalis Independen dan Pewarta Foto Indonesia mendampingi Lubis. Tiga hari kemudian, Lubis diminta datang kembali untuk mengulang kesaksiannya; pada 19 November Lubis memenuhi panggilan tersebut. Saat itu penyelidik kepolisian mengajukan 22 pertanyaan mengenai insiden itu.
Selama satu bulan, koalisi antara wartawan dan mahasiswa mengadakan unjuk rasa harian, menuntut keadilan bagi Lubis dan kawan-kawan. Namun, tersebar kabar bohong bahwa Lubis dan wartawan lainnya, yang diserang pada 13 November, telah menyetujui kesepakatan informal dengan Poltabes Makassar. Kesepakatan tersebut meliputi ganti rugi kamera-kamera milik para wartawan yang rusak sebagai imbalan agar tuntutan tidak dilayangkan. Lubis berujar:
Saya belum bertemu dengan Kapolrestabes sejak insiden itu. Saya meminjam kamera kawan-kawan saya supaya bisa bekerja. Saya hanya seorang pekerja freelance. Saya dibayar per foto. Tiga bulan setelah itu, saya menghindari area sekitar Mapolrestabes Makassar. Saya trauma. Sampai sekarang polisi yang menghajar para mahasiswa dan wartawan tidak diadili.
Kata Lubis pada Maret 2017, tidak ada perkembangan dalam kasusnya dan polisi yang menyerangnya belum juga dihukum.
Waldy juga berujar bahwa dia tidak mendengar kabar apa pun mengenai tuntutan terhadap polisi atas pemukulan itu:
Sampai sekarang belum ada tindaklanjut dari kepolisian. Saya mendapat pelajaran. Lebih baik sangat hati-hati kalau meliput polisi. Mereka bisa menyerang tanpa alasan. Waktu itu sangat kacau. Kami para wartawan harus bisa jaga diri sendiri.
Fadjriani Langgeng, Direktur LBH Pers Makassar, mengatakan bahwa kantornya telah mendokumentasikan penyerangan pada 13 November oleh polisi terhadap 10 wartawan, termasuk dari Metro TV, Tempo, Celebes TV, dan harian Rakyat Sulsel. Fadjriani mengatakan praktis tidak ada tanggapan kepolisian terhadap keluhan mereka, “Kasus-kasus ini tidak akan ditindaklanjuti.”
Array Argus, wartawan harian Tribun Medan
Andri Syafrin Poerba, kamerawan MNC News Group
Dihajar anggota TNI Angkatan Udara saat meliput sengketa lahan di Medan, 15 Agustus 2016
Pada 15 Agustus 2016, Array Argus dari harian Tribun Medan meliput demonstrasi hak atas lahan oleh warga Sarirejo, dekat Pangkalan Udara Soewondo. Sengketa atas lahan seluas 5,000 hektar lebih ini berujung pada penolakan pihak Angkatan Udara atas keputusan Mahkamah Agung bahwa lahan tersebut milik warga dan tidak bisa digunakan untuk pembangunan rumah susun.
Argus mendatangi lokasi demonstrasi bersama Teddy Akbari, wartawan Sumut Pos sekitar pukul 3 sore. Di sana mereka bertemu seorang perempuan menangis dan mengatakan anaknya “diculik.” Saat mereka mewawancarai perempuan itu, sebuah truk TNI AU tiba di lokasi dan serdadu berseragammenggunakan tongkat untuk membubarkan demonstrasi, ujar Argus. Seorang anggota TNI AU berseragam mendekat dan memaksa melihat kartu pers Argus. Dia menuruti permintaan tersebut. Seorang anggota TNI AU yang lain tiba-tiba berseru: “Itu tuh orangnya!” sambil menunjuk Argus. Argus berkata:
Mendadak mereka mulai menghajar dan menendang saya. Saya dengar seorang teriak bahwa saya telah memotret mereka. Saya kabur ke gang kecil, tapi ternyata buntu. [Beberapa anggota TNI AU] menarik rambut saya. Mereka menendang saya. Mereka menghajar saya dengan tongkat mereka. Mereka terus-terusan berteriak, “Kamu kan yang motret-motret! Kamu kan yang motret-motret!” Saya menyahut, bukan saya yang memotret mereka. Saya terjatuh dan mereka menginjak dada saya dengan sepatu boot mereka. Mereka menyita ponsel saya lalu pergi.
Argus berjalan kembali ke perempatan dan bertemu dengan seorang polisi militer yang kemudian mengembalikan ponselnya. Si polisi militer teriak, “Pergi sana! Pergi dari sini!” Argus melihat sepasukan TNI AU, yang telah menyerangnya, meninggalkan lokasi dengan jalan kaki.
Wartawan-wartawan lain tiba di lokasi dan membawa Argus ke rumah sakit terdekat, RS Mitra Sejati. Dokter di sana memberikan perawatan darurat mulai pukul 5 sore hingga 9 malam. Mereka mengatakan Argus mengalami memar pada beberapa tulang rusuk kiri dan pendarahan dalam pada bagian lengan kanannya. Dokter memberikan bantuan oksigen. Ketika Argus minta rumah sakit untuk bikin visum yang merinci luka-lukanya, ia diberitahu bahwa laporan tersebut hanya bisa dikeluarkan rumah sakit atas permintaan kepolisian. Argus menghubungi Kapolsek Medan Baru, yang yurisdiksinya mencakup wilayah Sarirejo, dan minta dia mengarahkan rumah sakit tersebut untuk keluarkan visum. Namun, permintaan Argus ditolak oleh Kapolsek Ronni Bonic, dengan alasan insiden yang dialaminya berada dalam yurisdiksi TNI AU dan mengarahkan Argus untuk mendapatkan izin dari Polisi Militer TNI AU (POM TNI AU).
Tiga hari kemudian, pada 18 Agustus, wakil LBH Medan, AJI Medan, dan Dewan Pers mendampingi Argus untuk melaporkan serangan yang dialaminya ke POM TNI AU, yang lantas menerbitkan permohonan kepada Rumah Sakit TNI AU agar mengeluarkan visum luka-luka Argus.
Pada hari itu juga Argus menjalani pemeriksaan medis yang diminta. Rumah sakit TNI AU memberikan laporan medis Argus kepada POM TNI AU namun menolak memberikan salinan itu kepada Argus tanpa penjelasan.
Selama satu bulan selanjutnya, Argus kembali mendatangi POM TNI AU tiga kali atas permintaan aparat, untuk memberikan kesaksian atas serangan yang ia alami dan luka-lukanya. Mereka bertanya apakah Argus mengenali wajah penyerangnya. Argus memberikan nama-nama yang dia ingat dari lencana salah satu penyerangnya, juga polisi militer yang mengembalikan ponselnya.
Pada November 2016, setelah Argus memberi kesaksian untuk kali keempat di markas POM TNI AU, komandan POM TNI AU Mayor Nicolas Sinaga mengatakan bahwa dua personel TNI AU telah ditetapkan menjadi tersangka, namun tak mau menyebut nama mereka. Kata Mayor Sinaga, ia akan mengirimkan semua berkas kepada oditur militer Medan. Argus mengetahui dari sumber-sumber lainnya bahwa penyerang yang lencananya ia kenali menjadi satu dari dua tersangka. Meski begitu, Human Rights Watch belum bisa memperoleh informasi mengenai kemajuan dalam penetapan tersangka dan peradilan anggota TNI AU yang menyerang Argus.
Andri Syafrin Poerba, kamerawan MNC News Group, tiba di tempat protes tersebut tak lama setelah pukul 3 dan mulai merekam protes warga. Poerba bilang, beberapa tentara tiba-tiba mengepungnya. Satu anggota TNI AU menendang kepalanya. Poerba berteriak, “Saya wartawan!” dan menunjukkan kartu persnya. Dua tentara berpakaian preman memegang lengannya sambil menyita kartu persnya. Kata Poerba:
Mereka menyeret saya ke sebuah toko. Mereka tidak peduli. Mereka menghajar saya dengan tangan kosong. Mereka menendang saya dengan sepatu boot. Mereka memukuli saya dengan tongkat. Tidak terhitung berapa kali mereka menghajar, menendang, dan memukul saya dengan tongkat. Mereka merebut kamera Sony saya. Saya melihat mereka bawa kamera saya kepada seorang perwira TNI AU dengan seragam biru muda, yang berdiri di sekitar tempat itu. Setelah kira-kira lima sampai delapan menit dipukuli, saya mampu berdiri dan kabur ke rumah salah satu warga. Darah mengucur dari dahi, dagu, dan lengan saya.
Adik Poerba, yang kebetulan ada di lokasi, membawanya ke RS Mitra Sejati namun pegawai rumah sakit menolak untuk menerimanya. Poerba meyakini, pegawai rumah sakit takut akan dipermasalahkan pihak Angkatan Udara. Poerba kemudian beranjak ke RS Royal Prima, dan dokter dan perawat di situ diagnosa beberapa tulang rusuknya patah. Poerba dirawat di rumah sakit selama seminggu.
Pada 18 Agustus, istri Poerba melaporkan penyerangan itu kepada POM TNI AU di Medan. Poerba, setelah keluar dari rumah sakit pada bulan September, mengajukan laporan resmi kepada POM Medan. POM Medan menanyakan jumlah anggota TNI AU yang menyerang Poerba, identitas mereka dan apakah ada saksi pada kejadian. Poerba bilang, inilah yang ia katakan kepada POM TNI AU:
Saya tidak mengenali wajah atau nama mereka. Saya menggunakan kedua tangan untuk melindungi kepala saya. Ada sekitar lima sampai delapan serdadu yang menyerang saya. Mereka hanya mengenakan kaus militer—jadi tidak ada lencana namanya.
Poerba mengatakan, setelah dia mengajukan keluhannya, POM TNI AU tak pernah menghubunginya lagi. Juru bicara TNI AU hanya mengembalikan dompet dan ponsel Poerba yang disita saat penyerangan, tanpa kamera dan kartu pers. Bagi Poerba, serangan tersebut meninggalkan trauma fisik dan psikologis yang tak kunjung hilang:
Di mana keadilan? Apa ada kekebalan hukum? Ada yang ditutup-tutupi? Saya belum bisa bekerja kembali. Saya masih menjalani perawatan dengan ramuan herbal dan urut [untuk mengatasi nyeri di rusuk dan kepala]. Saya mulai menjalani perawatan ini sebulan setelah keluar dari rumah sakit. Saya tidak hanya memar-memar, tapi juga mengalami kerusakan syaraf [dan cedera lainnya] di kepala, kedua lengan dan pinggul. Istri saya melihat darah di bantal saya, pada hari ketiga saya di rumah sakit. Dulu saya wartawan yang aktif, sekarang saya hanya bisa di rumah. Belum lagi masalah psikologis. Terkadang saya menangis di malam hari, saat melihat anak-anak saya tertidur.
Sonny Misdianto, wartawan NET TV
Diserang oleh anggota Batalyon Infanteri Para Raider 501 Kostrad, di Madiun 2 Oktober, 2016
Pada 2 Oktober 2016, sekitar pukul 2 siang Sonny Misdianto sedang mengendarai sepeda motor di pusat kota Madiun saat ia melihat pawai perguruan silat Setia Hati Terate baru saja berakhir dan para peserta sekaligus penonton mulai meninggalkan tempat itu. Gerimis mulai turun, ia berteduh sejenak di pinggiran pertokoan.
Di jalan itu, para pemuda pegiat seni bela diri tengah memacu gas dan melakukan aksi mengangkat roda depan sepeda motor mereka. Misdianto melihat salah satu sepeda motor menerobos lampu merah dan menabrak seorang perempuan. Misdianto segera mengambil kamera dan mulai merekam tempat kejadian perkara.
Beberapa saat kemudian, sekitar 20 tentara berseragam lengkap dari TNI AD Yonif 501 Rider Madiun, sebuah unit dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), lari menuju perempatan jalan. Misdianto, awalnya mengira sekelompok tentara itu berniat membantu perempuan korban kecelakaan. Tapi, mereka bawa double stick dan selang plastik berisi pasir tersebut justru menyerang para pemuda Terate yang berkumpul di tempat kejadian untuk menolong korban. Kata Misdianto, seorang tentara tiba-tiba menghampirinya dan bertanya, “Hei, mengapa kamu rekam?”
Saya bilang, “Saya wartawan”. Saya pun menunjukkan kartu pers di leher saya. Ia kemudian berkata, “Kenapa kamu rekam? Kamu salah. Kamu tidak punya hak merekam. Wartawan goblok!”
Kata Misdianto, salah satu tentara kemudian menangkap dan memaksanya ikut ke toko terdekat, menjauhi perempatan di mana sekelompok tentara itu masih memukuli para pemuda penggemar bela diri. Beberapa tentara memaksa Misdianto untuk mengapus file rekaman kameranya. Ketika ia menolak, mereka terus memaksa, sambil memukuli dan menendangnya. Salah satu tentara memukul kepala Misdianto dengan double stick, membuatnya gelap beberapa saat. Sedangkan satu tentara lain memukulnya di bagian pipi kanan dan satu tentara lainnya menendang punggung Misdianto. Mereka memaksanya membuka kamera dan mencabut kartu memori di dalamnya, kemudian mereka pun sengaja merusak kartu memori dan kamera tersebut.
Setelahnya, seorang anggota Polisi Militer yang sedang lewat, menyelamatkan Misdianto dari serangan tentara dan dengan sepeda motor membawanya ke Markas Detasemen Polisi Militer Madiun. Di sana, wakil komandan detasemen memaksa Misdianto untuk menghapus semua foto di ponselnya. Kata Misdianto, tidak punya pilihan lain kecuali menghapus semua foto tersebut.
Selagi masih berada di Markas Detasemen Polisi Militer Madiun, Misdianto melaporkan penyerangan terhadap dirinya ke atasannya di NET TV, yang kemudian memutuskan untuk menuntut TNI AD Yonif 501 Raider Madiun. Saat ia masih berada di kantor Polisi Militer, para wartawan dari media massa lainnya pun memotret bukti cedera dan mewawancarai Misdianto. Para anggota Polisi Militer tampak khawatir atas peliputan tersebut dan membawa Misdianto ke ruangan terpisah dan melarang wartawan lain untuk masuk.
Kata Misdianto, pukul 5 sore, Kapolres Madiun tiba di kantor Polisi Militer dan mengajaknya masuk ke mobilnya:
Saya bilang padanya saya mengalami cedera. Kepala saya pusing, sekujur badan saya pun memar. Ia mengantarkan saya ke Unit Gawat Darurat Polres Madiun di mana saya mendapat perawatan medis pertama. [Kapolres] mengajak saya bicara empat mata. Katanya, “Mohon [tuntutan hukumnya] tidak usah dilanjutkan.”
Misdianto mengatakan dia juga menolak pemberian amplop dari polisi, yang ia yakini berisi sejumlah uang. Misdianto menegaskan ingin kasus ini dilanjutkan lewat jalur hukum.
Pada hari yang sama, Misdianto dikunjungi seorang perwira dari Yonif 501 Raider Madiun di rumahnya, dengan maksud ingin menyelesaikan kasus tersebut lewat “jalur kekeluargaan,” bukan jalur hukum. Ia mendesak Misdianto agar membatalkan tuntutan hukum pada unitnya, sembari berkata “Kita kan sudah kenal sejak lama.”
Ketika Misdianto sedang berbicara dengan perwira tersebut, Misdianto menerima telepon dari ayahnya di Ponorogo. Sang ayah bercerita dua tentara baru saja mendatangi rumahnya, memintanya untuk menunjukkan surat-surat identitasnya dan menanyakan hubungannya dengan Misdianto.
Misdianto pun bertanya pada perwira yang mendatanginya, mengapa tentara di Ponorogo juga mendatangi ayahnya? Si perwira membantah inisiatif itu berasal darinya, meski mengakui bahwa Polisi Militer Madiun bertanggungjawab. Malam harinya, seorang Polisi Militer kembali mendatangi rumah Misdianto untuk menyita kameranya dengan menjadikannya sebagai “barang bukti.”
Sekitar jam 8 malam, Misdianto bersama seorang sejawat dari NET TV mendatangi Polres Madiun dan melaporkan penyerangan terhadap dirinya sebagai perbuatan kriminal. Namun, menurut polisi di kantor itu, kepolisian tak memiliki kewenangan atas kasus tersebut dan menyuruhnya untuk melaporkan kasus itu ke Polisi Militer. Misdianto dan kawannya kembali ke markas Polisi Militer dan melaporkan kasus tersebut secara resmi, walau anggota Polisi Militer tersebut bersikeras menyelesaikannya secara “kekeluargaan.” Keesokannya, Misdianto diminta menghadap kembali untuk melaporkan ulang kasus itu, dengan alasan telah terjadi ”kesalahan teknis” pada berkas laporan pertamanya.
Hari yang sama, isteri Misdianto mengatakan beberapa laki-laki dengan potongan rambut cepak, lalu-lalang di depan rumahnya, sementara beberapa pria lain tiba-tiba muncul di sawah belakang rumah. Pekan itu, beberapa perwira menelepon Misdianto sebanyak empat atau lima kali setiap hari, mendesaknya untuk membatalkan tuntutan dan menyelesaikan kasus tersebut secara “kekeluargaan.” Para perwira juga menyampaikan permintaan serupa pada atasan Misdianto di NET TV biro Surabaya dan Jakarta lewat telepon.
NET TV memindahkan Misdianto ke Surabaya untuk beberapa hari demi menghindari tekanan terkait kasus itu. Namun istrinya di Madiun, yang baru melahirkan anak kedua mereka, kerap mengabarkan kehadiran beberapa laki-laki tak dikenal berambut cepak, di sekitar rumah mereka. Mereka coba menyamar dengan jogging, pengepul besi bekas atau petani, tapi istrinya merasa sedang diawasi.
Selama sepuluh hari, Misdianto dan keluarga menerima lebih dari 100 kali sambungan telepon dari beberapa perwira TNI AD. Tekanan ini akhirnya membuat Misdianto membatalkan tuntutannya dan menerima penyelesaian kasus ini secara “kekeluargaan.”
Seminggu kemudian, Misdianto bertolak dari Surabaya bersama seorang produser NET TV untuk menemui jendral berbintang dua di markas Kostrad di Jakarta. Misdianto bersedia mencabut laporan namun ganti rugi atas kameranya yang telah rusak, sanksi indisipliner bagi tentara yang menyerangnya, dan jaminan dari Kostrad untuk menghormati kebebasan pers. Ia juga menuntut agar para tentara berhenti menganggu istri dan keluarganya.
Misdianto hanya berada di Jakarta selama dua hari. Sekembalinya di Madiun, Misdianto mencabut tuntutannya di kantor Polisi Militer. Mereka mengembalikan kamera rusak Misdianto namun tidak memberikan kompensasi untuk biaya perbaikan. Di saat yang hampir bersamaan, pria-pria misterius berambut cepak menghilang dari sekitar rumahnya. Menurut Misdianto, penyerangan itu mengajarkannya bahwa: “kebebasan pers di Indonesia adalah omong kosong.”
Mekanisme Kompensasi dan Akuntabilitas
Berdasarkan hukum internasional hak mengenai asasi manusia, aparat negara Indonesia wajib menyediakan kompensasi dan akuntabilitas ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak wartawan dan organisasi media.
Hukum internasional mengenai hak asasi manusia, terutama Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pasal 19, menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi dan media. Pasal tersebut juga memberikan batasan pada kebebasan yang dimaksud: pembatasan hukum bisa diterapkan untuk melindungi hak asasi dan reputasi orang lain, yaitu melalui hukum pencemaran nama baik, selama sanksi yang dijatuhkan sesuai dengan kerugian yang ditimbulkan. Meski demikian, para editor dan media harus bertanggung jawab atas hal-hal yang mereka sampaikan kepada pembaca dan pendengar mereka, kepada kelompok-kelompok masyarakat sipil, dan asosiasi wartawan yang independen—namun tidak kepada pemerintah.
Hukum Indonesia mewajibkan para wartawan, yang menjadi sasaran serangan fisik, untuk melaporkan insiden seperti itu kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Div Propam Polri) jika penyerang adalah anggota kepolisian, atau kepada Polisi Militer jika penyerang adalah tentara. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sebuah badan bentukan pemerintah, menemukan fakta bahwa penyelidikan kepolisian mengenai kekerasan yang menimpa wartawan seringkali tersendat “karena alasan teknis atau akibat dari tekanan politik dan sosial.”
Aliansi Jurnalis Independen dan LBH Pers, lembaga bantuan hukum swadaya masyarakat yang berfokus pada persoalan kebebasan media, mengaitkan peningkatan serangan terhadap wartawan sebagai dampak berkepanjangan impunitas aparat keamanan di Indonesia, dan keengganan perusahaan-perusahaan media untuk mendukung wartawan mereka yang menjadi sasaran tindak kekerasan itu. Menurut LBH Pers, banyak wartawan yang menjadi korban kekerasan cenderung menerima tawaran kepolisian atau militer atas kompensasi finansial informal supaya bisa memperbaiki atau mengganti ponsel dan kamera yang rusak. Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) di Makassar mengaitkan sebagian impunitas dalam kasus-kasus penyerangan wartawan, dengan kurangnya pengetahuan atas hak-hak dan proses hukum yang dapat ditempuh kedua pihak demi akuntabilitas.