(Bangkok) - Keputusan Bangladesh tertanggal 22 Januari 2018, untuk menunda pemulangan pengungsi Rohingya ke Burma selayaknya diikuti dengan penangguhan rencana bilateral, yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan para pengungsi, kata Human Rights Watch hari ini. Pada 16 Januari, Burma dan Bangladesh mengumumkan sebuah kesepakatan yang memberikan rincian tambahan mengenai rencana pemulangan lebih dari 770.000 pengungsi Muslim Rohingya yang meninggalkan Negara Bagian Rakhine Burma sejak Oktober 2016.
Mayoritas dari mereka melarikan diri dari kampanye pembersihan etnis militer Burma yang dimulai pada akhir Agustus. Sejak 19 Januari, ratusan pengungsi Rohingya di kamp-kamp Bangladesh telah menentang rencana untuk memulai pemulangan.
“Para pengungsi Rohingya seharusnya tidak dikembalikan ke kamp-kamp yang dijaga oleh pasukan Burma yang sama, yang sebelumnya memaksa mereka untuk melarikan diri dari pembantaian massal dan pemerkosaan, dan pembakaran desa-desa,” kata Brad Adams, direktur Asia. “Rencana pemulangan tersebut tampaknya merupakan strategi humas untuk menyembunyikan fakta bahwa Burma belum mengambil tindakan untuk memastikan pemulangan yang aman dan berkelanjutan.”
Pihak berwenang Burma tidak menunjukkan kemampuan untuk memastikan pemulangan pengungsi Rohingya berjalan aman, bermartabat, dan secara sukarela sebagaimana yang ditentukan oleh standar internasional. Rencana, yang disepakati pada November 2017, akan memindahkan orang-orang yang pulang dari pusat persiapan ke “kamp transit” yang telah dibangun dengan cepat sebelum mereka kembali ke daerah asal mereka, di mana ratusan desa telah dibakar habis. Pengungsi internal Rohingya di masa lalu pindah ke kamp-kamp “sementara” semacam itu yang tidak memiliki cukup bantuan dan tidak dapat bergerak dengan bebas, sementara hak-hak dasar lainnya tidak dipenuhi.
Pada 22 Januari, Abul Kalam, komisioner bantuan dan rehabilitasi pengungsi Bangladesh, mengatakan pemulangan telah ditunda karena, “Daftar orang yang akan dikirim pulang belum disiapkan, verifikasi dan pengaturan kamp transit mereka masih dilakukan.”
Pada 16 Januari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa António Guterres kepada wartawan mengatakan: "Yang terburuk adalah memindahkan orang-orang ini dari kamp-kamp di Bangladesh ke kamp-kamp di Myanmar [Burma], mempertahankan situasi palsu untuk waktu yang lama dan tidak membiarkan mereka mendapatkan kembali kehidupan normal.”
Rencana yang diumumkan oleh Burma dan Bangladesh akan memulangkan lebih dari 770.000 orang Rohingya dan beberapa ratus pengungsi Hindu. Menurut laporan dan pernyataan di media, rencana itu mencakup jumlah target dan jangka waktu untuk pemulangan, serta pendirian pusat persiapan di Bangladesh dan Burma. Kedua pemerintah sepakat untuk memulangkan sedikitnya 300 pengungsi per hari, lima hari per minggu. Telah diberitakan secara luas bahwa proses tersebut diperkirakan akan berjalan selama dua tahun ke depan. Membuat kuota dan tenggat waktu terhadap pemulangan pengungsi menambah risiko pengembalian pengungsi berlangsung secara paksa.
Media pemerintah Burma melaporkan pada 15 Januari bahwa tiga kamp akan dibuat di Kota Maungdaw di Negara Bagian Rakhine, untuk memproses dan mengembalikan pengungsi ke rumah. Dua kamp di Taung Pyo Letwe dan Nga Khu Ya akan digunakan untuk memproses pengungsi, sementara sebuah kamp di Hla Po Khaung akan menampung pengungsi yang kembali. Media milik pemerintah melaporkan bahwa: “Hla Po Khaung seluas 124 hektar akan menampung sekitar 30.000 orang di 625 bangunannya. Empat puluh bangunan akan selesai pada 25 Januari dan 100 pada 31 Januari. Setiap bangunan bisa menampung 80 orang.”
Media milik pemerintah Burma telah menerbitkan foto bangunan berbahan kayu di Taung Pyo Letwe dengan pagar pembatas kawat berduri yang tinggi. Meskipun Bangladesh mengatakan bahwa proses pemulangan belum dilakukan, Ko Ko Naing, direktur jenderal Kementerian Kesejahteraan Sosial, Bantuan dan Pemukiman Kembali Burma mengatakan kepada Reuters, “Kami siap untuk menerima mereka begitu mereka kembali. Pada bagian kami, persiapannya sudah siap.” Namun, rinciannya, termasuk proses identifikasi pengungsi untuk pemulangan dan pembuktian sebagai warga Burma, masih belum jelas.
Sejak Agustus, Human Rights Watch telah mewawancarai lebih dari 200 pengungsi Rohingya di Bangladesh. Banyak dari mereka mengaku ingin pulang, tapi tidak yakin akan aman bila pulang di masa mendatang, atau sampai keamanan, tanah, dan mata pencaharian mereka dapat dipastikan.
Pemerintah Burma secara sistematis telah menindas populasi Muslim Rohingya dan mendiskriminasi mereka dalam mendapatkan hak-hak mereka termasuk kebebasan bergerak dan akses terhadap kewarganegaraan, perawatan kesehatan, pendidikan, dan mata pencaharian.
Pemerintah Burma memiliki catatan buruk dalam memperlakukan pengungsi Rohingya dengan pelanggaran di masa lalu atau dalam menciptakan kondisi berkelanjutan untuk pemulangan mereka. Lebih dari 120.000 orang Rohingya yang melarikan diri dari pembersihan etnis pada 2012 tetap berada di kamp-kamp yang seharusnya bersifat “sementara” di jantung Negara Bagian Rakhine.
"Semua indikasi menunjukkan bahwa kamp-kamp Burma yang direncanakan untuk orang Rohingya akan menjadi penjara terbuka,” kata Adams. “Tidak ada alasan memadai untuk percaya bahwa kamp-kamp baru itu akan lebih baik daripada kamp ‘sementara’ yang telah didiami 120.000 orang Rohingya selama lima tahun.”
Melindungi pengungsi yang kembali akan mustahil dilakukan tanpa upaya pemantauan yang signifikan dari para pengamat internasional. Pemerintah telah menolak sebagian besar rekomendasi internasional untuk membuka akses bebas bagi badan-badan bantuan, media, dan pengamat hak asasi manusia, hanya mengizinkan beberapa kelompok kemanusiaan untuk memberikan bantuan di Negara Bagian Rakhine utara dan menolak akses bagi jurnalis independen dan pemantau HAM.
Kondisi kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine tengah dan utara tetap buruk, dengan berkurangnya akses yang dimiliki oleh lembaga bantuan sejak Agustus 2017, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok bantuan. Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) baru-baru ini melaporkan situasi yang sangat meresahkan, dengan mengatakan bahwa “gambaran sebenarnya” tidak dapat diketahui karena mereka “tidak punya cukup akses.” Marixie Mercado, juru bicara UNICEF, mengatakan ada situasi yang mengerikan di Kota Maungdaw, di mana “area yang luas telah diruntuhkan dan diratakan oleh buldoser, sebagian besar toko ditutup, hanya sedikit orang yang berada di jalanan, sangat sedikit perempuan dan bahkan lebih sedikit lagi anak-anak.“ Dominik Stillhart, direktur operasional di Komite Internasional Palang Merah (ICRC), satu dari sedikit organisasi internasional yang diizinkan untuk mendistribusikan bantuan di Negara Bagian Rakhine utara, setelah kunjungannya pada Desember mengatakan, “kehidupan telah berhenti pada jalurnya.”
Bangladesh terikat oleh larangan hukum kebiasaan internasional terkait refoulement - yang melarang pemulangan secara paksa siapapun ke wilayah di mana mereka akan menghadapi pemburuan sewenang-wenang alias persekusi, penyiksaan, perlakuan semena-mena, atau kematian. Pemerintah tidak dapat menekan individu untuk kembali ke negara di mana mereka akan menghadapi risiko bahaya serius.
Berdasarkan standar internasional, pengungsi harus diberi informasi yang obyektif, terkini, dan akurat mengenai kondisi di wilayah pemulangan, termasuk kondisi keamanan, bantuan, dan perlindungan untuk proses penyatuan kembali. Mereka membutuhkan pilihan yang sungguh-sungguh, antara tinggal atau pulang.
Bangladesh dan Burma sejauh ini mengabaikan badan pengungsi PBB dalam diskusi pemulangan mereka, meskipun Bangladesh telah berjanji untuk menyertakan mereka dalam proses pemulangan.
Bangladesh yang telah melindungi ratusan ribu pengungsi baru-baru ini, berusaha untuk memenuhi kebutuhan mendesak mereka, dan meminta Burma untuk mengatasi akar penyebab dari pelarian tersebut. Namun, pada masa lalu, pemerintah Bangladesh tidak menghormati hak-hak pengungsi Rohingya. Pada 1970-an dan 1990an, pemerintah melakukan pemulangan paksa pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri dari penganiayaan dan kekerasan di Burma. Pada 1978, ribuan pengungsi Rohingya mati kelaparan setelah pihak berwenang Bangladesh mengurangi jatah di kamp untuk memaksa pengungsi kembali. Pada 1990-an, Bangladesh melakukan beberapa kali deportasi besar-besaran orang Rohingya yang dipaksa untuk pulang secara “sukarela.”
Human Rights Watch mendesak Burma dan Bangladesh untuk menunda dan menegosiasikan kembali kesepakatan pemulangan ini, karena banyak kekurangan yang membahayakan kehidupan para pengungsi; jangka waktu yang tidak memungkinkan pemulangan secara sukarela, keamanan, dan berkelanjutan; dan kegagalan untuk melibatkan badan pengungsi PBB.
“Burma telah menolak untuk mengizinkan keterlibatan internasional dalam menangani krisis Rohingya,” kata Adams. “Alih-alih pemulangan paksa, para donor seharusnya menuntut agar Burma memastikan partisipasi internasional dalam rencana pemulangan tersebut.”