Presiden Indonesia Joko Widodo pekan lalu mencuitkan dukungannya untuk Hari Perempuan Internasional dengan menyatakan bahwa “Dalam membangun Indonesia, kita butuh perempuan-perempuan tangguh.“ Pesan itu memberi kesan dukungan satu hari yang didedikasikan untuk “memberdayakan perempuan dalam semua keadaan.”
Tetapi Jokowi lupa menambahkan bahwa pemerintahnya terus melakukan kekerasan berbasis gender pada ribuan “perempuan tangguh” yang tertarik untuk "membangun Indonesia" – khususnya mereka yang mengajukan permohonan untuk bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian. Itu karena para pelamar perempuan secara rutin harus melalui “tes keperawanan” yang kejam.
Jokowi telah secara konsisten gagal untuk mengutuk atau memerintahkan penghapusan sebuah pemeriksaan yang disebut tes “dua jari” – yang invasif dan diskriminatif telah banyak dicela, termasuk oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Human Rights Watch pertama kali membeberkan penggunaan “tes keperawanan” oleh tantara Indonesia pada 2014, namun sejak itu pemerintah gagal mengambil langkah untuk melarang pelaksanaan tes itu. Meski HRW menemukan bahwa pelamar yang dianggap telah “gagal” tidak perlu dihukum, semua perempuan yang kami wawancarai menggambarkan tes itu sebagai sesuatu yang menyakitkan, memalukan, dan traumatis.
Kepolisian Republik Indonesia telah memberlakukan tes yang melecehkan dan merendahkan ribuan pelamar perempuan ini sejak 1965, meskipun bertentangan dengan prinsip mereka sendiri bahwa rekrutmen harus berjalan “tidak diskriminatif” dan “manusiawi.”
Pada 19 November 2014, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Tedjo Edhi, kepada wartawan mengatakan bahwa tes semacam itu telah lama menjadi kewajiban bagi calon anggota militer perempuan. Mayor Jenderal Fuad Basya, juru bicara TNI, mengatakan militer Indonesia telah melakukan “tes keperawanan” pada pelamar perempuan lebih lama daripada kepolisian, tanpa menyebutkan kapan praktik itu dimulai.
Penelitian Human Rights Watch menemukan bahwa semua angkatan di TNI – Angkatan Udara, Angkatan Darat dan Angkatan Laut – telah mewajibkan tes ini selama puluhan tahun dan juga memperluas keharusan ini bagi tunangan para perwira militer.
Pemerintah Indonesia tak bisa berpura-pura tidak tahu soal sifat kejam dari “tes-tes” semacam itu. Secara internasional tes semacam itu dipandang sebagai pelanggaran hak atas non-diskriminasi dan larangan terhadap “perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat” berdasarkan perjanjian hak asasi manusia internasional, yang telah diratifikasi Indonesia.
Pada November 2014, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dengan jelas bahwa “Tak ada tempat untuk tes keperawanan (atau tes 'dua jari'); tes itu tidak punya validitas ilmiah.”
Namun, sejumlah pejabat senior di kalangan militer dan polisi telah mengabaikan tekanan oleh perempuan di Indonesia selama bertahun-tahun untuk mengakhiri pelanggaran ini. Beberapa pejabat laki-laki secara terbuka mendukung praktik tersebut.
Inspektur Jenderal Polisi Moechgiyarto pada November 2014 menegaskan soal persyaratan itu dan mengatakan tes tersebut merupakan sarana untuk memastikan “standar moral yang tinggi.” Kepada media ia menyatakan bahwa mereka yang gagal dalam ujian itu adalah pelacur.
Pada Mei 2015, Panglima TNI pada saat itu, Jenderal Moeldoko, menanggapi kritik “tes keperawanan” dengan mengatakan kepada media, “Terus apa masalahnya? Kalau itu untuk kebaikan, kenapa harus dikritik? ”Komentar tercela itu tidak membahayakan karir pasca militer Moeldoko. Setelah pensiun, ia malah ditunjuk oleh Jokowi sebagai kepala stafnya.
Sekarang Jokowi punya sebuah pilihan. Ia bisa melontarkan kata-kata hampa tentang dukungannya untuk hak-hak perempuan Indonesia. Atau ia bisa menunjukkan kemauan politik dengan mengesampingkan pejabat senior militer dan polisi – serta kepala stafnya – dan memerintahkan pasukan keamanan untuk segera menghapuskan “tes keperawanan.”
Sampai Jokowi melakukan hal itu, terlalu banyak “perempuan tangguh” yang menurut Jokowi diperlukan untuk “membangun Indonesia” akan terus membayar harga yang tidak dapat diterima untuk pelayanan publik.