(New York) - Mahkamah Agung (MA) India menguatkan keabsahan hukum dari proyek identifikasi biometrik, Aadhaar, pada 26 September 2018, kata Human Rights Watch hari ini.
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa pemerintah dapat menjadikan Aadhaar sebagai persyaratan untuk mengakses tunjangan pemerintah dan mengarsip pajak penghasilan, tetapi membatasinya untuk tujuan lain. Pemerintah seharusnya menciptakan pengamanan memadai untuk memastikan bahwa persyaratan pencatatan Aadhaar tidak menghalangi orang miskin dan terpinggirkan mendapatkan layanan penting yang dijamin secara konstitusional, termasuk makanan dan perawatan kesehatan.
“Aadhaar telah menyebabkan marginalisasi lanjutan terhadap orang-orang termiskin dan rentan dengan menolak mereka mendapatkan akses atas subsidi dan manfaat yang sangat dibutuhkan,” kata Meenakshi Ganguly, Direktur Asia Selatan di Human Rights Watch. “Pemerintah seharusnya memastikan ada akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar oleh Aadhaar dan tidak memaksakan persyaratan identifikasi yang tidak perlu yang melanggar hak privasi.”
Meski keputusan itu mengecewakan para pendukung privasi yang memperkuat program pengumpulan biodata pemerintah yang wajib dan secara luas ini, MA memberlakukan pembatasan penting pada penyebaran penggunaan identifikasi Aadhaar secara luas. Keputusan mayoritas empat banding satu itu melarang perusahaan swasta menuntut Aadhaar dan juga menyatakan bahwa sekolah, bank, dan perusahaan telekomunikasi tidak boleh menjadikan Aadhaar sesuatu yang wajib untuk mendapatkan layanan mereka.
Seorang hakim yang tidak setuju itu mengatakan bahwa seluruh program Aadhaar sejak 2009 telah mencuatkan keprihatinan konstitusional dan melanggar hak-hak dasar dan menyebut hukum tersebut secara keseluruhan tidak konstitusional. Pemerintah pusat India menyambut baik keputusan itu dan Menteri Informasi dan Teknologi menyebutnya sebagai sesuatu yang “bersejarah.”
Proyek Aadhaar dijalankan oleh Otoritas Identifikasi Unik India (UIDAI), sebuah badan hukum pemerintah India yang dibentuk pada 2009. Lembaga ini mengumpulkan data pribadi dan biometrik seperti sidik jari, foto wajah, dan pemindaian iris, dan mengeluarkan 12-digit nomor identitas individual. Aadhaar awalnya tidak dimaksudkan untuk wajib, bertujuan untuk menghapus penipuan dalam program kesejahteraan pemerintah dan memberikan sebuah bentuk identifikasi pada masyarakat.
Namun, Undang-Undang Aadhaar tahun 2016 dan pemberitahuan serta perjanjian pemberian lisensi yang hadir setelahnya secara dramatis meningkatkan cakupan proyek, mewajibkan pencatatan Aadhaar bagi masyarakat agar bisa mengakses berbagai layanan dan manfaat penting termasuk subsidi pemerintah, pensiun, dan beasiswa. Ini juga terkait dengan layanan seperti perbankan, asuransi, telepon, dan internet.
Akses ke Layanan Penting
Sejumlah laporan media, para peneliti, dan kelompok hak asasi menemukan bahwa toko-toko yang menyediakan bahan makanan biji-bijian bersubsidi sebagai bagian dari sistem distribusi publik pemerintah untuk orang-orang yang hidup dalam kemiskinan menolak menyalurkannya untuk keluarga yang memenuhi syarat tapi tidak memiliki nomor Aadhaar atau tidak terhubung dengan kartu ransum mereka, atau karena gagalnya otentikasi data biometrik mereka seperti sidik jari. Media dan kelompok hak asasi manusia lokal telah melaporkan beberapa kasus di mana orang-orang mati kelaparan. Buruknya koneksi internet, mesin yang tak berfungsi baik, dan sidik jari aus seperti yang dimiliki manula atau pekerja kasar telah memperparah masalah autentikasi biometrik.
Para aktivis Negara Bagian Rajasthan melaporkan bahwa antara September 2016 hingga Juni 2017, setelah autentikasi Aadhaar diwajibkan, setidaknya 2,5 juta keluarga tidak dapat mendapat jatah makanan. Pada Oktober 2017, pemerintah pusat menginstruksikan negara-negara bagian untuk tidak menolak menyalurkan bahan makanan biji-bijian bersubsidi kepada keluarga yang memenuhi syarat semata-mata karena mereka tidak memiliki nomor Aadhaar, atau tidak terhubung dengan kartu ransum mereka. Namun, laporan tentang penolakan untuk mendapatkan subsidi terus berlanjut.
Pengadilan mengatakan pihak berwenang seharusnya menyelidiki kasus-kasus di mana terjadi kegagalan autentikasi dan mengadopsi metode alternatif untuk identifikasi. Otoritas India seharusnya memastikan agar masalah otentikasi biometrik atau kelambatan birokrasi tidak menghalangi masyarakat untuk mengakses hak-hak fundamental mereka, kata Human Rights Watch.
Dalam keputusannya yang berbeda, Hakim D. Y. Chandrachud mengatakan: “Jaminan konstitusional tidak dapat tunduk pada perubahan teknologi. Penolakan mendapatkan manfaat yang timbul dari skema jaminan sosial apa pun yang mempromosikan hak-hak sosio-ekonomi warga negara adalah melanggar martabat manusia dan tidak diizinkan berdasarkan skema konstitusional kita.”
Hak Atas Privasi
Pemerintah mengatakan telah mengeluarkan 1,1 miliar nomor Aadhaar untuk penduduk India, tidak terbatas pada warga negara, menjadikannya salah satu database biometrik terbesar di dunia. Dorongan pemerintah untuk pencatatan wajib dan upayanya untuk menghubungkan nomor Aadhaar dengan berbagai layanan menimbulkan kekhawatiran serius bahwa ini bisa secara tidak proporsional mengganggu hak privasi jutaan orang. Ini juga mendorong kekhawatiran pada meningkatnya pengawasan negara, dengan konvergensi berbagai basis data sehingga memudahkan pemerintah untuk melacak informasi tentang individu, dan untuk mengincar perbedaan pendapat.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa sistem Aadhaar juga rentan terhadap pembobolan dan kebocoran data. Pada 2017 dan 2018, situs web pemerintah menerbitkan jutaan nomor Aadhaar, bersama dengan informasi pribadi masyarakat, termasuk informasi rekening bank,.. Pada Januari, surat kabar Tribune melaporkan bahwa akses tidak terbatas ke data pribadi orang yang terdaftar di Aadhaar dapat dibeli dengan harga murah kurang dari US $ 10 atau Rp 150.000 dari para pemeras. Pada Februari 2017, UIDAI mengajukan gugatan pidana terhadap tiga perusahaan yang diduga melakukan transaksi ilegal menggunakan data biometrik yang mereka simpan.
Pada Agustus 2017, Mahkamah Agung menyatakan bahwa hak atas privasi adalah bagian dari hak konstitusional untuk hidup dan kebebasan pribadi, menjungkirbalikkan argumen pemerintah bahwa privasi bukanlah hak fundamental.
Keputusan tanggal 26 September menyatakan bahwa Aadhaar tidak terlalu melanggar privasi atau menciptakan keadaan pengawasan. Menanggapi kekhawatiran soal privasi dan pengawasan yang disuarakan para pembuat petisi mengenai masalah pengumpulan metadata yang memungkinkan pelacakan waktu sebenarnya (real time), pengadilan mengatur bahwa catatan autentikasi atau log transaksi tidak boleh disimpan lebih dari enam bulan.
Parlemen India seharusnya memberlakukan kerangka privasi yang kuat dan undang-undang perlindungan data yang sesuai dengan standar internasional, kata Human Rights Watch. Pemerintah seharusnya memberikan perlindungan memadai terkait penyimpanan dan perlindungan data yang disimpan secara terpusat di bawah Aadhaar.
UU Aadhaar ini juga mencegah siapapun selain UIDAI untuk mendatangi pengadilan jika terjadi kasus pembobolan atau pelanggaran hukum. Namun, keputusan pengadilan sekarang memungkinkan seorang individu yang haknya telah dilanggar untuk mengajukan gugatan.
Meski mempertahankan ketentuan yang memungkinkan pengungkapan informasi berdasarkan Aadhaar untuk kepentingan keamanan nasional, untuk mencegah penyalahgunaan, pengadilan menambahkan persyaratan untuk pengawasan yudisial dalam kasus-kasus semacam itu.
“Keputusan pengadilan untuk membatasi aktor-aktor swasta dalam mengakses informasi di bawah Aadhaar dan membatasi perluasannya sangat membantu pada saat ada kekhawatiran serius akan pelanggaran data, profil dan pengawasan,” kata Ganguly. "Tapi ada kekhawatiran serius kalau pemerintah melampaui batas saat menyandera masyarakat dalam 12-digit nomor dalam program yang penuh dengan kekurangan, membuat mereka beresiko menghadapi pengawasan yang mengganggu, pencurian identitas, atau penolakan atas hak-hak dasar mereka.”