Dalam perjalanan pertama saya ke Myanmar untuk Human Rights Watch pada tahun 2012, saya menemui aktivis dan penulis Kyaw Min Yu (dikenal sebagai Ko Jimmy), yang saat itu baru saja dibebaskan dari penjara. Itu adalah masa harapan bagi Myanmar – negara tersebut memulai eksperimen “demokrasi terkelola” dan ratusan tahanan politik telah dibebaskan.
Sepuluh tahun kemudian, militer sepenuhnya kembali berkuasa dan Ko Jimmy meninggal.
Pihak berwenang Junta mengeksekusi dirinya dan seorang rapper yang menjadi politisi Phyo Zeya Thaw pada 23 Juli menyusul hukuman mati yang dijatuhkan setelah tuduhan terorisme yang dibuat-buat dan bermotif politik. Dua pria lainnya juga dieksekusi, diduga karena membunuh seorang informan militer. Keempatnya dihukum setelah pengadilan militer tertutup yang tidak memenuhi proses hukum yang adil.
Pada pertemuan menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pekan ini di Phnom Penh, para pemimpin dalam perhimpunan itu perlu bergerak dari sekadar pengecaman dan mengambil tindakan yang berarti.
Human Rights Watch telah berkampanye atas nama Ko Jimmy dan lebih dari 2.000 tahanan politik lainnya selama bertahun-tahun. Tapi kasusnya benar-benar melekat di pikiran saya. Dia dulu pernah menjadi pemimpin Mahasiswa Generasi 88 yang berada di barisan terdepan pemberontakan mahasiswa melawan rezim militer pada 1988. Karena itu, dia dijebloskan ke penjara pada usia 19 tahun. Dibebaskan pada 2005, dia menikah dengan sesama aktivis dan mantan tahanan politik, Nilar Thein. Mereka memiliki seorang putri. Tapi Ko Jimmy dipenjara lagi pada 2007 dan Nilar Thein pada 2008 menyusul apa yang disebut Revolusi Jingga, aksi unjuk rasa yang dipimpin para biksu dan direspons dengan tindakan keras.
Dari 2007 hingga 2012, ketika kami melakukan advokasi di Washington atas nama para tahanan politik, kami menunjukkan kepada para pejabat foto penuh senyum dari Ko Jimmy, Nilar Thein dan bayi mereka yang baru lahir. Saya membayangkan bayi itu tumbuh tanpa orang tuanya. Namun pada Januari 2012, pasangan suami istri tersebut dibebaskan.
Saat saya bertemu dengan mereka, bersama sejumlah Mahasiswa Generasi 88 lainnya, pada Mei 2012, mereka penuh harap dan optimistis. Mereka saat itu sedang membuat rencana untuk Myanmar yang benar-benar demokratis.
Sampai di tahun 2022 dan kekuasaan junta yang menindas terasa seperti sebuah mimpi buruk. Eksekusi terhadap Ko Jimmy dan lainnya adalah yang pertama di Myanmar dalam beberapa dekade. Eskalasi ini jelas dirancang untuk menimbulkan ketakutan dan menunjukkan bahwa junta tidak akan berhenti untuk menghilangkan segala ancaman yang mereka rasakan mengganggu kekuasaan mereka. Nilar Thein dan putrinya sedang dalam persembunyian.
Banyak pemerintah dari negara-negara, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dan ASEAN secara tegas mengecam eksekusi ini. Pada April 2021, ASEAN menyusun “Lima Poin Konsensus” atau 5PCs di mana sembilan pemimpin ASEAN dan kepala junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, bersepakat untuk segera mengakhiri kekerasan di negara itu; dialog antara semua pihak; penunjukan utusan khusus; bantuan kemanusiaan oleh ASEAN; dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak.
Dalam 15 bulan sejak kesepakatan itu dibuat, utusan telah ditunjuk tetapi Min Aung Hlaing mengabaikan sisa perjanjian sambil mengawasi tindakan keras yang brutal yang terjadi secara nasional terhadap para penentang kekuasaan militer. Pelanggaran yang meluas dan sistematis oleh junta, termasuk pembunuhan massal, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang dan serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil, merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Pasukan keamanan telah membunuh lebih dari 2.000 orang dan secara sewenang-wenang menangkap lebih dari 14.000 orang.
Tidak seperti biasanya para pemimpin ASEAN secara terbuka mengkritik sesama anggota ASEAN. Pemerintah Kamboja, sebagai Ketua ASEAN, mengeluarkan pernyataan yang berbunyi “sangat terganggu dan sangat sedih” dengan eksekusi terhadap Ko Jimmy dan tiga aktivis oposisi lainnya, yang tetap dilanjutkan meski ada permintaan pribadi dari Perdana Menteri Hun Sen untuk mempertimbangkan kembali hukuman tersebut. Presiden Indonesia Joko Widodo menyatakan “kekecewaannya”, dan menyebut hal tersebut sebagai tanda “tidak adanya kemajuan signifikan dalam implementasi 5PCs”. Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah menggambarkan eksekusi tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan mengatakan bahwa “junta mengolok-olok Lima Poin Konsensus”.
Negara-negara anggota ASEAN perlu mengambil langkah-langkah yang lebih keras. Sementara itu, pemerintah di negara-negara demokratis termasuk Quad (Australia, India, Jepang, dan Amerika Serikat) dan Uni Eropa telah bersembunyi di balik “sentralitas ASEAN” sebagai alasan untuk membenarkan kelambanan mereka. Pendekatan itu sebenarnya turut andil dalam melindungi junta untuk bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran yang dilakukannya.
Dewan Keamanan PBB, meski dengan suara bulat mengecam eksekusi dan menyerukan diakhirinya kekerasan, telah gagal mengambil tindakan yang berarti. Negara-negara di ASEAN dan di seluruh dunia yang peduli seharusnya mendesak Dewan Keamanan PBB agar memberlakukan embargo senjata dan merujuk situasi di Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Jika Rusia dan Tiongkok memvetonya, kedua negara itu harus menjelaskan alasannya kepada negara-negara anggota PBB.
Sementara itu, semua pemerintah seharusnya menggunakan setiap mekanisme yang ada untuk secara finansial mengisolasi junta dan kepemimpinannya. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, 76 tahanan bakal dijatuhi hukuman mati di Myanmar. Nyawa mereka dalam bahaya.
Kata-kata tidaklah cukup. Junta hanya akan menanggapi bila ada tindakan.