Presiden AS Joe Biden dijadwalkan untuk bertemu dengan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. di Gedung Putih pada 1 Mei. Pertemuan tersebut dibayangi pertanyaan tentang bagaimana catatan hak asasi manusia yang problematik di negeri tersebut akan ditangani.
Sejak pemilihan Marcos Mei lalu, pertanyaan kuncinya adalah apakah pemerintahannya akan mencerminkan pemerintahan ayahnya, mendiang Ferdinand Marcos Sr., yang pemerintahan autokratiknya sejak tahun 1965 hingga 1986 ditandai dengan kebrutalan dan korupsi, atau mengikuti jejak pendahulu Marcos Jr., Rodrigo Duterte. Duterte bersahabat dengan Tiongkok yang melakukan pelanggaran HAM, berusaha untuk menghancurkan atau mengabaikan institusi demokrasi Filipina, dan menghasut aparat kepolisian untuk melakukan ribuan pembunuhan terhadap sebagian besar warga miskin perkotaan di bawah panji “perang melawan narkoba.”
Sejumlah warisan kelam ini masih terus membayangi. Sejauh ini, Marcos menunjukkan sedikit ketertarikan untuk menangani masalah HAM yang masih terjadi di Filipina atau mengejar keadilan atas kejahatan masa lalu.
Pada bulan Maret, di pinggiran Manila, saya bertemu dengan para pemain dan kru dari sebuah kelompok teater yang sedang mempersiapkan sebuah pertunjukan di kampus Notre Dame di Manila. Kelompok itu, yang terdiri dari beberapa anggota keluarga korban “perang narkoba” yang dilancarkan Duterte, mengatakan kepada saya bahwa pertunjukkan tersebut adalah sebuah bentuk terapi guna mengatasi kesedihan dan menerima hilangnya orang-orang yang mereka cintai.
Selama istirahat latihan, saya bertemu dengan seorang pemeran perempuan yang menceritakan dengan berlinang air mata bagaimana suaminya ditembak mati oleh polisi pada tahun 2017: “Ketika saya melihat, saya melihat semua luka tembak—di kepalanya, di lehernya,” katanya. “…Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain berteriak. Anak-anak menangis. Saya bilang, ayo bawa dia pulang.”
Dia mengatakan polisi menanam narkoba pada suaminya dan mengklaim bahwa mereka menembaknya untuk membela diri, meskipun sang suami tidak memiliki senjata. Perempuan itu terlalu takut untuk melaporkan pembunuhan itu kepada pihak berwenang.
“Saya ingin katakan pada pemerintah Filipina untuk menghentikan kekerasan,” katanya kepada saya. “Sekarang ada anak-anak yang tumbuh tanpa ayah.”
Saya juga bertemu dengan Randy, paman dari Kian delos Santos yang berusia 17 tahun, salah satu dari dua korban kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan polisi—di antara ribuan kasus lain—yang berhasil diadili sejak 2016. Kasus tersebut baru bisa terungkap karena polisi yang bertanggung jawab tertangkap basah melakukan pembunuhan itu terlihat di CCTV, sesuatu yang memicu kemarahan banyak orang.
Randy mengatakan bahwa Duterte membuat pembunuhan itu seakan-akan dapat diterima: “Orang-orang terbiasa dengan kekerasan. Tidak ada yang benar-benar berubah. Pembunuhan tetap terjadi. Apakah pemerintah Filipina benar-benar menyelidiki? Berapa banyak lagi kasus seperti ini yang akan terjadi?”
Human Rights Watch telah mewawancarai puluhan anggota keluarga korban, dan ketiadaan keadilan hanya menambah kepedihan keluarga. Karena kurangnya akuntabilitas domestik, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sedang mempertimbangkan untuk mengajukan tuntutan kejahatan terhadap kemanusiaan atas pembunuhan dalam “perang melawan narkoba”, serta beberapa pembunuhan sebelumnya oleh apa yang Duterte sebut Pasukan Kematian Davao sejak tahun 2011 hingga 2016.
Pembunuhan tidak berhenti ketika masa jabatan Duterte berakhir. Sejak Marcos menjabat Juli lalu, kepolisian diduga telah melakukan setidaknya 262 pembunuhan terkait narkoba, menurut Pusat Studi Dunia Ketiga Universitas Filipina, yang telah meneliti sejumlah pelanggaran yang dilakukan polisi.
Para pemberani di Filipina, yang telah berbicara menentang pembunuhan, telah membayar mahal—dan terus menghadapi sejumlah konsekuensi di bawah pemerintahan Marcos. Misalnya, peraih Hadiah Nobel Perdamaian asal negeri itu Maria Ressa demikian juga Rappler media tempatnya bekerja, yang dianiaya di bawah kekuasaan Duterte. Mereka masih menghadapi pidana pencemaran dan tuduhan lain serta penyelidikan penggelapan pajak karena liputan mereka tentang berbagai pelanggaran yang dilakukan Duterte.
Mantan Menteri Kehakiman dan senator Leila de Lima masih berada dalam tahanan polisi setelah lebih dari enam tahun atas tuduhan palsu karena penentangannya terhadap pembunuhan tersebut. Ketika saya mengunjunginya di tahanan pada bulan Maret, dia tetap bertekad untuk melihat keadilan ditegakkan melalui pengadilan Filipina dan membersihkan namanya. “Saya harus percaya pada keadilan,” katanya.
Banyak pengkritik pemerintah lainnya menghadapi ancaman, pelecehan, dan intimidasi.
Biden seharusnya dengan jelas mengkomunikasikan hal ini kepada Marcos bahwa tuduhan bermotif politik terhadap para pembela hak asasi manusia harus dicabut. De Lima seharusnya dibebaskan. Mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan dalam “perang melawan narkoba” perlu dimintai pertanggungjawaban.
Biden seyogianya memperjelas bahwa tanpa investigasi dan keadilan sejati atas pembunuhan di luar hukum di masa lalu, pemerintahannya akan mempertimbangkan sanksi yang ditargetkan pada mereka yang terlibat. Kongres AS telah menunjukkan kesediaan untuk membatasi bantuan keamanan ke Filipina atas dasar hak asasi manusia.
Tidak diragukan lagi, Marcos sangat menginginkan kunjungan ke Gedung Putih ini untuk merehabilitasi nama keluarga—yang tetap identik dengan kediktatoran, darurat militer, dan korupsi tanpa batas. Tetapi jika Marcos ingin keluarganya dipertimbangkan kembali, dia perlu melakukan perubahan nyata di Filipina. Biden seyogianya memastikan dia tahu hal ini.