Nusra dan Khadijah punya ikatan sebagai saudara sepupu dan sama-sama tinggal di kota kecil di Darfur Barat. Sekarang mereka sama-sama punya ikatan yang lebih suram: keduanya adalah penyintas kekerasan seksual dalam konflik di Sudan.
Beberapa peneliti Human Rights Watch berbicara dengan kedua saudara sepupu itu di Chad timur, sambil mendokumentasikan sejumlah pelanggaran terhadap puluhan orang yang selamat dari kekejaman yang dilakukan oleh Pasukan Pendukung Cepat (RSF) dan milisi Arab yang bersekutu dengan mereka di kota El Geneina, Darfur Barat, Sudan.
Kepada kami, Nusra dan Khadija, keduanya berusia dua puluhan tahun, mengaku diperkosa – dalam selang waktu tiga minggu – ketika para pejuang RSF dan milisi Arab menggeledah rumah demi rumah untuk mencari laki-laki, anak laki-laki, dan senjata di daerah El Geneina yang didominasi etnis Massalit. Kami menggunakan nama samaran untuk melindungi identitas mereka.
Meski Human Rights Watch dan beberapa organisasi lain telah melaporkan pembunuhan terhadap sejumlah pria asal Massalit oleh pasukan RSF dan milisi Arab di Darfur Barat, lebih sedikit lagi yang didokumentasikan tentang dijadikannya perempuan dan anak perempuan sebagai sasaran kekerasan seksual.
Para pemantau HAM telah melaporkan puluhan kasus pemerkosaan di El Geneina antara bulan Mei hingga akhir Juni. Sudan memiliki sejarah panjang dan menyedihkan tentang kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan selama konflik bersenjata yang tidak pernah diselesaikan. Pihak berwenang Sudan dan sekutu milisi mereka menggunakan pemerkosaan dan kekerasan seksual sebagai strategi yang disengaja untuk melawan komunitas non-Arab di Darfur pada awal tahun 2000-an dan setelahnya.
Nusra menceritakan penggerebekan oleh RSF dan milisi di rumahnya. “Pria itu [anggota RSF] mengatakan saya harus berbaring. Saya berkata, 'Saya tidak akan memberikan diri saya kepada Anda....' Dia menodongkan pistol ke kepala saya. Kemudian dia memperkosa saya.”
Menurut cerita seorang pekerja sosial yang juga melarikan diri ke Chad, beberapa penyintas mengakses dukungan darurat, tetapi serangan yang meluas terhadap fasilitas kesehatan, termasuk penjarahan besar-besaran terhadap fasilitas kesehatan, sangat membatasi akses ke perawatan yang sensitif terhadap waktu.
Kedua saudara sepupu ini tinggal di sebuah pemukiman sementara di Chad timur, di mana bantuan bagi para penyintas sangat terbatas. Keduanya berjuang dengan luka fisik, mental, dan emosional yang mengerikan. “Sampai dua hari lalu saya tidak bisa bangun dari tempat tidur,” kata Nusra enam minggu setelah diserang.
Khadijah, orang tua tunggal dari tiga anak yang masih kecil, mengatakan kepada kami, “Saya tidak mau hamil lagi, tolong bantu saya menemukan solusinya.” Kami merujuknya ke pusat medis utama di kamp; beberapa hari kemudian dia mengetahui bahwa dirinya hamil. Khadijah membutuhkan perawatan reproduksi yang seharusnya terjamin untuk para penyintas dalam situasi krisis yang dikenal dengan Paket Layanan Awal Minimum (MISP).
Dewan Keamanan PBB, yang secara umum gagal menanggapi pecahnya konflik bersenjata di Sudan pada bulan April, seharusnya segera meminta pengarahan dari perwakilan khusus sekretaris jenderal untuk kekerasan seksual dalam konflik. Dewan Keamanan seharusnya memberlakukan rezim sanksi Darfur PBB kepada para komandan yang anak buahnya memperkosa Khadijah dan Nusra.
Pihak donor seharusnya menyediakan lebih banyak sumber daya untuk memastikan agar para penyintas di Darfur dan Chad bagian timur menerima perawatan yang berarti, termasuk perawatan darurat, perawatan psikososial jangka panjang dan perawatan kesehatan lainnya, serta bantuan jika para penyintas ingin menuntut ganti rugi terhadap para pihak yang bertanggung jawab.
Dunia seharusnya tidak lagi merasa nyaman untuk mengabaikan beban fisik dan mental yang dihadapi Nusra, Khadijah, dan para penyintas lain yang tak terhitung jumlahnya di Sudan.