Skip to main content
Filep Karma, seorang aktivis Papua terkemuka, divonis 15 tahun penjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2004 di Abepura. Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang memutuskan bahwa penahanan atas Filep melanggar hukum internasional, dan menyerukan pembebasannya. Pemerintah Indonesia membebaskan Filep pada tahun 2015. Ia meninggal dalam kecelakaan saat menyelam pada 1 November 2022. © 2015 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Pada Desember 2008, saya mengunjungi penjara Abepura di Jayapura, Papua Barat, untuk memverifikasi laporan yang ditujukan kepada Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penyiksaan yang menuduh adanya kekerasan di dalam penjara, serta kurangnya pasokan makanan dan air.

Setelah sipir penjara memeriksa tas saya, kemudian saya melewati detektor logam menuju aula penjara, bergabung dalam acara kebaktian Minggu bersama sekitar 30 tahanan. Seorang pria duduk di dekat saya. Ia berjanggut tebal dan memakai bendera Bintang Kejora kecil di dadanya. Bendera tersebut, simbol kemerdekaan Papua Barat, dilarang oleh otoritas Indonesia, jadi saya sedikit terkejut melihatnya dipakai di dalam penjara.

Dengan sopan, ia memperkenalkan diri, "Filep Karma."

Saya segera mengenalinya. Filep ditangkap pada tahun 2004 setelah berpidato tentang nasionalisme Papua Barat, dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan "makar." Ketika saya bertanya padanya tentang korban penyiksaan di penjara, dia memperkenalkan saya kepada beberapa tahanan lain, sehingga saya bisa memverifikasi berbagai tuduhan tersebut.

Itulah awal dari banyak wawancara saya dengan Filep. Dan saya mulai memahami apa yang menjadikannya pemimpin yang begitu berani.

Lahir pada tahun 1959 di Jayapura, Filep dibesarkan dalam keluarga elite sekaligus terpelajar. Pada tahun 1998, ketika Filep pulang ke tanah air setelah belajar di Asian Institute Management di Manila, ia mendapati Indonesia dikepung berbagai aksi unjuk rasa yang dipimpin mahasiswa menentang pemerintahan otoriter Presiden Soeharto. Pada 2 Juli 1998, ia memimpin upacara pengibaran bendera Bintang Kejora secara damai di Pulau Biak. Peristiwa itu memicu serangan mematikan oleh militer Indonesia yang menurut pihak berwenang menewaskan sedikitnya delapan orang asli Papua, tetapi orang asli Papua sendiri menemukan ada 32 mayat. Filep ditangkap dan dijatuhi hukuman 18 bulan penjara.

Filep pelan tapi pasti muncul sebagai pemimpin yang berkampanye secara damai tetapi tanpa kenal lelah atas nama hak-hak Orang Asli Papua. Ia juga bekerja sebagai pegawai negeri, melatih pegawai baru pemerintah.

Ia selalu lugas dan teliti. Ia menyodorkan data terperinci, termasuk nama, tanggal, dan tindakan penyiksaan dan penganiayaan lainnya di penjara Abepura. Human Rights Watch menerbitkan investigasi ini pada Juni 2009. Dampaknya cukup besar, hingga memunculkan tekanan media yang memaksa Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki berbagai tuduhan tersebut.

Pada Agustus 2009, Filep sakit parah lantas dirawat di RSUD Dok II. Dokter memeriksanya beberapa kali, dan akhirnya, pada bulan Oktober, merekomendasikan agar ia menjalani operasi yang hanya dapat dilakukan di Jakarta. Namun birokrasi, baik yang secara sengaja maupun karena ketidakmampuan, terus-terusan menunda perawatannya. “Saya sendiri dulu seorang birokrat,” kata Filep. "Tapi saya tidak pernah mengalami [penggunaan] birokrasi berbelit-belit seperti ini pada orang sakit."

Masalah kesehatannya pun menarik perhatian publik. Sejumlah aktivis Papua mulai mengumpulkan uang untuk membayar tiket pesawat dan biaya operasi di Jakarta. Saya membantu menulis proposal penggalangan dana. Para penyumbang menyetorkan sumbangan langsung ke rekening banknya. Saya terkejut ketika mengetahui jumlah keseluruhan sumbangan, termasuk dari beberapa gereja, hampir mencapai Rp1 miliar. Jumlah itu juga cukup untuk membiayai ibunya, Eklefina Noriwari, seorang paman, seorang sepupu, dan seorang asisten untuk bepergian bersamanya. Mereka menyewa sebuah guest house di dekat rumah sakit.

Sebagian orang bertanya-tanya mengapa ia bepergian dengan rombongan begitu besar. Jawabannya adalah bahwa Orang Papua Asli tidak percaya pada pemerintah Indonesia. Banyak pemimpin politik mereka yang meninggal secara misterius saat menerima perawatan medis di Jakarta. Mereka ingin memastikan keamanan Filep Karma.

Ketika ia dirawat di RS PGI Cikini, di bangsalnya dipasang garis polisi berukuran kecil. Saya melihat banyak petugas keamanan Indonesia, termasuk empat penjaga penjara, menjaga kamarnya, dan juga utusan gereja yang mengunjunginya. Beberapa mahasiswa Papua, sebagian besar menunggu di halaman bagian dalam, mengatakan mereka ingin memastikan, "Pemimpin kami baik-baik saja."

Setelah menjalani operasi selama dua jam, Filep pulih dengan cepat, mengundang saya dan istri untuk mengunjunginya. Ibu serta kedua putrinya, Audryn dan Andrefina, juga mengunjungi apartemen saya di Jakarta. Pada Juli 2011, setelah 11 hari perawatan di rumah sakit, ia dianggap cukup sehat untuk kembali ke penjara.

Pada Mei 2011, Freedom Now yang berkantor di Washington mengajukan petisi kepada Kelompok Kerja PBB untuk penahanan sewenang-wenang atas nama Filep. Enam bulan kemudian, Kelompok Kerja tersebut memutuskan bahwa penahanan terhadap Filep melanggar standar internasional, dengan mengatakan bahwa pengadilan Indonesia “secara tidak proporsional” menggunakan pasal makar, dan menyerukan agar Filep segera dibebaskan. Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak untuk bertindak, sehingga memicu kritik di forum PBB tentang diskriminasi dan pelanggaran terhadap orang Papua.

Saya sering mengunjungi Filep di penjara. Ia mengambil kuliah jarak jauh di Universitas Terbuka, mempelajari ilmu kepolisian. Ia rajin membaca. Ia belajar soal gerakan tanpa kekerasan dan keberanian moral yang dicanangkan Mahatma Gandhi dan Martin Luther King. Ia juga menggambar, menggunakan pensil dan arang. Ia memberi kejutan berupa potret wajah saya yang ia gambar di kotak biskuit Jacob.

Namanya mulai mendunia. Seniman Tiongkok Ai Weiwei menggambar sejumlah tahanan politik, termasuk Filep, dalam sebuah pameran di penjara Alcatraz dekat San Francisco. Amnesty International membuat video tentang Filep.

Menariknya, ia juga membaca buku saya terbitan tahun 2011 tentang jurnalisme, “Agama” Saya Adalah Jurnalisme, yang sepertinya memberi inspirasi pada dirinya untuk menulis bukunya sendiri. Ia menggunakan perekam audio untuk mengekspresikan pikirannya, meminta teman-temannya untuk mengetik dan mencetaknya di luar, yang kemudian ia sunting. Buku setebal 137 halaman itu diterbitkan pada bulan November 2014, berjudul, Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua. Buku itu menjadi buku yang sangat penting tentang rasisme terhadap Orang Asli Papua di Indonesia.

Pemerintah Indonesia, di bawah Presiden Joko Widodo saat itu, akhirnya membebaskan Filep pada November 2015, dan setelah itu secara bertahap membebaskan lebih dari 110 tahanan politik asal Papua Barat dan Kepulauan Maluku.

Ratusan aktivis Papua menyambut Filep, membawanya dari penjara ke sebuah lapangan untuk merayakannya dengan menari dan bernyanyi. Ia menelepon saya malam itu, dan bilang bahwa dalam dirinya ada “perasaan aneh” yaitu kerinduan pada penjara Abepura, teman-teman narapidana, kebun sayurnya, serta klub tinju yang dikelolanya. Ia menghabiskan 11 tahun hidupnya di dalam penjara Abepura.

“Tapi senang rasanya kembali ke rumah,” katanya sambil tertawa.

Perlahan ia membangun kembali aktivismenya, bepergian ke banyak perguruan tinggi di seluruh Indonesia, juga di luar negeri, dan bicara tentang pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan hidup di Papua Barat, serta advokasinya untuk Papua Barat yang merdeka. Mahasiswa sering mengundangnya untuk bicara tentang bukunya.

Di Jakarta, ia menyewa sebuah studio di dekat apartemen saya sebagai tempat persinggahannya. Kami bertemu secara sosial, juga bersama-sama menghadiri berbagai acara publik. Saya menyelenggarakan pesta ulang tahun untuknya pada Agustus 2018. Ia membeli perlengkapan baru untuk menyelam. Istri saya, Sapariah, yang juga meggemari olah raga menyelam, bilang bahwa Filep adalah penyelam ulung: "Ia berenang seperti ikan."

Kami bertemu secara sosial, dan juga bersama-sama menghadiri pertemuan publik. Saya menyelenggarakan pesta ulang tahunnya pada bulan Agustus 2018. Dia membeli peralatan baru untuk menyelam. Istri saya, Sapariah, yang juga menggemari selam, mengatakan bahwa Karma adalah penyelam yang hebat: “Dia berenang seperti ikan.”

Perlawanan orang Papua di Indonesia terhadap diskriminasi memasuki sebuah dimensi baru setelah serangan pada 17 Agustus 2019 oleh aparat keamanan terhadap sebuah asrama mahasiswa Papua di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, di mana para mahasiswa menjadi sasaran penghinaan rasial. Serangan itu menghidupkan kembali diskusi tentang diskriminasi rasial anti-Papua dan kedaulatan bagi Papua Barat. Mahasiswa Papua dan lainnya bergerak melalui gerakan media sosial, yang disebut Papuan Lives Matter, yang terinspirasi oleh Black Lives Matter di Amerika Serikat, ikut ambil bagian dalam gelombang protes yang bermunculan di banyak wilayah Indonesia.

Semua orang membaca buku Filep Karma. Filep memprotes ketika para aktivis muda ini, yang banyak di antaranya ia kenal secara pribadi, seperti Sayang Mandabayan, Surya Anta Ginting, dan Victor Yeimo, ditangkap dan didakwa dengan tuduhan makar. “Melakukan protes terhadap rasisme tidak boleh dianggap sebagai makar," katanya.

Pemerintah Indonesia menanggapinya dengan menahan ratusan orang. Papuans Behind Bars, sebuah organisasi nonpemerintah yang memantau penangkapan politis di Papua Barat, mencatat ada 418 kasus baru dari bulan Oktober 2020 hingga September 2021. Sedikitnya 245 dari mereka didakwa, divonis bersalah, dan dipenjara karena bergabung dengan berbagai aksi unjuk rasa, di mana 109 orang dinyatakan bersalah atas tindakan “makar.” Namun, meski di masa lalu orang Papua yang didakwa dengan pelanggaran politik biasanya dijatuhi hukuman penjara bertahun-tahun - dalam kasus Filep, 15 tahun, dalam berbagai kasus baru-baru ini, mungkin karena perhatian internasional dan nasional, berbagai pengadilan Indonesia menjatuhkan hukuman yang jauh lebih ringan, sering kali sudah dijalani bila dipotong masa tahanan.

Pandemi Covid-19 menghentikan aktivismenya pada tahun 2020-2022. Ia punya banyak waktu untuk menyelam dan memancing dengan tombak. Suatu kali ia mengunggah di Facebook saat seekor hiu mencoba mencuri ikannya, ia memukul moncong sang hiu.

Pada 1 November 2022, teman baik saya Filep Karma ditemukan tewas di Pantai Base G Jayapura. Ia tampaknya menyelam sendirian. Saat ditemukan ia mengenakan pakaian selam.

Ibunya, Eklefina Noriwari, menelepon saya pagi itu, memberi tahu saya bahwa putranya telah meninggal. “Saya tahu kamu ini teman dekatnya,” katanya kepada saya. "Jangan bersedih. Ia meninggal saat melakukan apa yang paling disukainya... laut, berenang, menyelam."

Warga Papua Barat sangat tersentak. Lebih dari 30.000 orang menghadiri pemakamannya, mengibarkan bendera Bintang Kejora, sebagai penghormatan terakhir mereka kepada seorang pria pemberani. Para pelayat mendengar para pembicara merayakan kehidupan Filep Karma, dan kemudian pulang dalam keheningan.

Suasananya damai. Dan persis inilah pesan Filep Karma.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country