“Tempat perlindungan.” Apa maknanya bagi Anda?
Mungkin bukan penampungan massal yang terbuat dari bambu dan terpal dengan jalan berlumpur, terkena hujan lebat dan penyakit. Namun, bagi lebih dari 650.000 pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari upaya pembersihan etnis Burma sejak Agustus lalu, kamp-kamp kumuh di Bangladesh ini mungkin adalah tempat yang mendekati tempat perlindungan yang bisa mereka dapatkan.
Ketika mengunjungi kamp-kamp ini pada bulan Oktober, saya mewawancarai perempuan dan anak perempuan yang telah melarikan diri dari pembantaian, pembakaran massal desa-desa, dan kekerasan seksual yang meluas oleh tentara berseragam. Pemerkosaan brutal beramai-ramai mengakibatkan para korban mengalami pendarahan di vagina, infeksi, dan trauma. Pemerkosaan adalah alat pembersihan etnis yang hebat: tidak hanya mengusir korban yang ketakutan dari rumah mereka tapi juga membuat mereka takut untuk kembali. “Bagaimana mungkin saya kembali?” tanya seorang korban selamat.
Sementara komunitas internasional telah memberikan bantuan cukup besar bagi para pengungsi Rohingya, perawatan kesehatan reproduksi yang memadai masih kurang, termasuk rendahnya tanggapan terhadap kekerasan seksual yang meluas. Kelompok Kerja Antar-Lembaga untuk Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat (IAWG), di mana Human Rights Watch juga tercatat sebagai anggotanya, mengeluarkan sebuah pernyataan pada hari ini yang mencatat bahwa lima bulan setelah warga Rohingya melarikan diri, hanya “sebagian kecil” pengungsi yang memiliki akses terhadap perawatan pascapemerkosaan.
Mengapa? Salah satu alasannya, menurut sejumlah lembaga yang bekerja di sana, adalah bahwa pemerintah Bangladesh, yang layanan kesehatannya sudah mencapai batas kemampuannya, lamban dalam mendaftarkan lembaga non-pemerintah baru yang ingin mulai bekerja. Dan sejumlah lembaga non-pemerintah yang terdaftar harus berjuang agar program barunya disetujui.
Kedua, alat kontrasepsi yang diinginkan para perempuan, terutama alat kontrasepsi yang punya efek jangka panjang seperti suntik atau spiral, seringkali kurang pasokannya, kata lembaga-lembaga itu. Selain itu, pemerintah Bangladesh membatasi alat kontrasepsi yang punya efek jangka panjang, dan hanya mengizinkan dokter dan petugas medis senior lainnya memberikan alat kontrasepsi ini bagi perempuan yang terdaftar dan punya alamat jelas (pengungsi tak punya alamat jelas). Dan banyak orang Rohingya tidak tahu bahwa aborsi adalah adalah sesuatu yang legal menurut hukum di Bangladesh, dan penyedia aborsi sulit ditemukan.
Alasan ketiga di balik tidak memadainya perawatan kesehatan reproduksi bagi pengungsi Rohingya adalah pendanaan.
Negara-negara donor seharusnya terus mendanai upaya bantuan dan memberikan perhatian khusus terhadap hak reproduksi dasar, jika mereka ingin memberikan tempat perlindungan nyata bagi orang Rohingya yang jadi korban pemerkosaan. Bangladesh perlu menyadari bahwa memperlakukan orang Rohingya secara manusiawi berarti beralih dari pendekatan jangka pendek menuju pendekatan jangka panjang. Perempuan dan anak perempuan yang menderita trauma parah seharusnya tidak diperlakukan sebagai masalah sementara.